"Kita mau kemana?" Walaupun jalan sangat lengang dan gelap, aku tahu mobil yang dibawa Bian tidak mengarah ke rumah orang tuaku.
"Ke rumahku. Aku sudah mengabari kakakmu beberapa saat lalu."
"Kak Sam?" Kupikir Bian masih terintimidasi dengan kakak sulungku itu.
Bian mengangguk. "Ya. Aku berbicara dengannya langsung kemarin."
"Apa yang kamu katakan?" tanyaku penasaran. Aku tidak mengira Bian melakukan hal yang kupikir tidak akan pernah dia lakukan.
Sebuah senyuman tersungging di wajah Bian. "Itu rahasia. Aku tidak akan memberitahumu."
Tampaknya itu salah satu alasan kenapa dia muncul dengan tenang saat di pantai. Biasanya dia akan menunjukkan kekesalannya dan bersikap kasar. Mungkin, Kak Sam tidak lagi mempersulitnya.
Beberapa menit kemudian, mobil tiba di depan sebuah rumah besar. Pintu pagar otomatis terbuka saat Bian menekan sebuah remote yang dia ambil dari door pocket. Aku bisa melihat rumah bertingkat tiga di balik pagar itu dengan lebih jelas. Desainnya sangat minimalis dengan teras sederhana serta halaman depan kecil.
Mobil berhenti di atas carport tepat setelah memasuki pagar. Aku dan Bian melepaskan seatbelt sebelum turun dari mobil. Bian kemudian mengambil koperku yang diletakkan sebelumnya di bagasi belakang mobil.
Aku melihat Bian dengan mudah mengangkat koperku saat berjalan menaiki anak tangga di teras hingga di depan pintu. Kuikuti pria itu berjalan masuk ke dalam rumahnya yang cukup besar untuk dihuni oleh satu orang. Desain interiornya minimalis dengan penggunaan lampu pencahayaan yang membuatnya terlihat mewah. Sangat berbeda dengan rumah orang tuaku yang terkesan hangat dengan banyak furniture kayu, Bian memilih memakai barang-barang dengan aksen kaca dan metal. Rumahnya sangat Bian sekali.
"Kopermu akan kuletakkan di sini untuk sementara. Aku ingin mengajakmu ke taman belakang." Bian meletakkan koperku di dekat tangga. Lalu, dia menggandeng tanganku melewati ruang tamu dan ruang keluarga hingga menemukan pintu kaca yang menghubungkan langsung ke halaman belakang.
Halaman itu tampak gelap. Tidak ada penerangan selain sinar bulan dan sedikit cahaya dari dalam rumah. Aku hanya samar-samar menyadari keberadaan kolam renang yang cukup besar dan gazebo. Lalu, seketika tempat itu menjadi terang benderang dengan lampu hias dimana-mana.
Aku semakin terkejut saat melihat dua orang pria sedang menunggu kami di gazebo, di mana ada sebuah meja dengan lilin-lilin yang baru saja dinyalakannya. Salah satu pria itu berpenampilan seperti koki--dia mulai memasak sesuatu di meja panjang di sisi luar gazebo, sedangkan pria lainnya berdiri dengan setia di sisi meja dengan pakaian seperti pelayan.
"Aku tahu kamu hanya sempat makan salad tadi. Jadi, aku menyiapkan makan malam ini untukmu," kata Bian. Dia membimbingku berjalan melewati pinggir kolam hingga tiba di gazebo. Si pelayan pun dengan sigap membantuku duduk di salah satu kursi.
"Bagaimana kamu bisa tahu aku hanya makan salad?" tanyaku saat Bian sudah duduk di seberangku.
"Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi aku juga ada di restoran itu. Walaupun langit di sini tidak begitu indah seperti di sana, aku harap kamu menyukainya."
Aku menatap Bian terpesona. Pria itu tiba-tiba saja bersikap romantis seperti saat pertemuan pertama kami setelah beberapa kali membuatku tertekan dengan sifat kekanak-kanakannya. Dia seperti memiliki beberapa kepribadian.
"Karena kakakmu bilang kamu dilarang minum minuman beralkohol, jadi kita hanya akan minum soda saja." Bian menganggukkan kepalanya ke arah si pelayan.
Ya. Padahal, aku hampir saja minum wine saat bersama Theo sebelumnya. Aku merasa sedikit tidak nyaman menolaknya karena perasaan bersalahku padanya.
Aku mengikuti Bian yang mengangkat gelas berisi soda untuk bersulang. "Terima kasih," kataku. Kata-kata itu kuucapkan dengan tulus padanya. Aku meneguk isi gelas itu.
Pelayan menghidangkan makanan yang telah selesai dimasak oleh koki satu persatu ke atas meja. Pasta aglio olio, steak daging sapi, serta tumis sayuran. Bian membantuku memotong steak milikku sebelum aku melahap makanan-makanan itu. Aku sangat menikmatinya hingga tanpa sadar telah mengosongkan piringku dengan cepat.
"Aku yakin kokinya akan sangat bahagia melihat betapa bersihnya piringmu."
"Ini enak sekali." Aku tersenyum dan mengalihkan pandanganku ke arah sang koki yang masih berdiri di dekat meja panjang. Koki itu menunjukkan rasa terima kasihnya dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.
***
Bian memberiku kamar terpisah tepat di samping kamarnya. Dia menunjukkan isi kamar itu dan mengijinkanku memakai apapun di dalam lemari pakaian. Kulihat banyak pakaian wanita dari brand-brand ternama. Aku juga tahu sebagian besarnya dijual limited oleh desainernya.
Selain pakaian, hampir semua aksesoris wanita ada di lemari itu, seperti tas dan sepatu. Sama halnya dengan pakaian, aksesoris-aksesoris itu sangat langka. Aku tidak tahu berapa uang yang dihabiskan untuk membeli semua barang itu. Pertanyaan utamanya adalah kepemilikan semua barang itu yang masih belum kuketahui.
"Aku membelikan semua ini untukmu." Bian menatapku. "Kalau mau, tidak hanya untuk liburan, kita bisa tinggal bersama."
Aku tertegun. "Kak Sam tidak akan mengijinkannya."
"Sebenarnya, aku juga sudah meminta ijin soal ini darinya. Dia bilang itu terserah padamu."
Bagaimana bisa? Rasanya tidak mungkin Kak Sam melakukan itu.
"Kamu bisa menanyakannya langsung padanya," lanjut Bian, saat melihatku menatapnya sangsi. "Sementara itu, istirahatlah." Dia berjalan keluar. "Kalau ada apa-apa, aku ada di kamar sebelah," katanya sebelum menutup pintu kamar.
Kutatap kembali pakaian-pakaian di dalam lemari. Mungkin seperti ini rasanya memiliki kekasih milyarder. Walaupun hubungan di antara kami belum pasti. Aku masih menggantung statusnya dan Bian tahu itu.
Ponselku berbunyi. Ini sudah sangat larut bagi seseorang meneleponku. Aku ragu mengangkat telepon dari Theo itu. Mungkin dia akan mulai berharap lagi setelah mendengar suaraku. Bisa jadi terjadi sesuatu padanya setelah aku meninggalkan hotel.
"Halo?" Akhirnya, aku memilih menjawabnya.
"Kamu tahu seberapa besar perasaanku padamu?" tanya sebuah suara di ujung telepon lainnya. "Sangat besar. Sangat sangat sangat sangat besar. Rasanya penuh sekali di dadaku ini hingga tidak bisa membendungnya."
"Kamu mabuk?" tanyaku.
"Setelah kamu membawaku berjalan-jalan terbang naik ke langit, kamu juga yang membuatku terjatuh. Itu sangat sakit." Theo tertawa. "Tidak ada wanita yang melakukan itu padaku. Tapi, aku membiarkanmu melakukannya."
"Pak, sebaiknya Anda kembali ke kamar." Terdengar suara laki-laki lain bersama Theo. "Pak, Pak!" Laki-laki itu terus memanggilnya, tapi aku tidak mendengar respon apapun dari Theo. Sudah dipastikan bahwa Theo sudah tidak sadar.
Aku menutup telepon dan menghela napas panjang. Semuanya salahku, membuat pria itu terlalu banyak berharap padaku. Aku sudah sering mencampakkan pria, tapi tidak pernah merasa semenyesal sekarang. Mungkin, karena dia adalah salah satu rekan kerjaku. Hubungan kami pasti akan sangat canggung di kantor nanti.
Kuputuskan untuk mengganti pakaianku dengan pakaian tidur milikku. Aku masih tidak ingin menyentuh pakaian-pakaian pemberian Bian di dalam lemari. Aku takut semua ini tidak seindah kelihatannya. Kita tidak tahu jika suatu saat dia menuntutku untuk membayar semua pakaian-pakaian itu sebagai balasan. Bisa saja aku membayarnya dengan uang, walaupun dipastikan jumlahnya tidak kecil. Bagaimana jika Bian menginginkan hal lain yang akan sulit kukabulkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...