Bab 8

45.5K 1K 73
                                    

Aku sudah merapikan semua pakaianku ke dalam dua koper besar. Hari ini Kak Rio akan menjemputku untuk pulang ke rumah orang tuaku. Rasanya sangat gugup setelah beberapa tahun aku menghindari untuk tidak bertemu kakak sulung dan kedua orang tuaku.

Sebuah amplop di atas meja kerja, menarik perhatianku. Hampir satu minggu ini aku begitu sibuk dengan konseling dan cek kesehatan jiwaku, hingga melupakan surat pengunduran diriku. Mungkin seharusnya aku mampir sebentar untuk menyerahkannya pada Alin dan berpamitan pada beberapa orang. Walaupun aku enggan bertemu Bian, tapi sejujurnya aku ingin melihat keadaannya setelah peristiwa tempo hari.

Ponselku bergetar. Kak Rio sudah sampai di tempat parkir dan akan segera menjemputku. Aku mulai mengeluarkan semua barang bawaanku dan meletakkannya di dekat pintu.

Ponselku kembali bergetar, getaran yang berbeda. Nomor ponsel Theo muncul di layar sentuh ponselku. "Halo?"

"Halo?" Suara berat khas Theo menyapaku. "Bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik-baik saja."

Aku teringat bagaimana Theo mencemaskanku sejak hari pertama aku tidak muncul di kantor. Dia meneleponku terus menerus bahkan di saat aku tahu di kantor sedang jam sibuk. Aku mengabaikan panggilan teleponnya untuk beberapa hari hingga di hari itu, hari saat penyakitku kembali kambuh. Kak Rio tampak terusik dengan panggilan itu dan menyuruhku untuk menerimanya.

Bukan tidak mungkin Kak Rio akan mengomel dengan hal sepele walaupun kondisiku tidak fit. Perasaanku sudah begitu buruk, aku tidak ingin menambah buruk lagi dengan mendengarkan omelan Kak Rio.

Posisiku sangat tidak nyaman saat itu ketika harus menjawab telepon dari Theo. Berhari-hari aku mengabaikannya dan aku hanya mengeluarkan alasan mudah agar rasa bersalahku tidak terlalu mendalam.

"Apa aku benar-benar tidak boleh menjengukmu?" Ada nada kecewa di dalam sana yang membuatku tidak nyaman.

"Maaf. Mulai hari ini aku harus tinggal bersama orang tuaku. Mereka tidak bisa meninggalkanku sendiri. Jadi, agak sulit."

"Apa semua baik-baik saja? Kesehatanmu memburuk?"

"Tidak, tidak. Aku hanya dalam masa pemulihan dan aku sedikit agak ceroboh jika harus sendirian. Jadi, kakakku membawaku pulang bersamanya untuk sementara."

"Oh, begitu. Hati-hati di jalan."

"Iya. Terima kasih. Sampai jumpa." Aku memutus sambungan telepon. Aku berharap Theo tidak benar-benar punya perasaan padaku, karena mungkin suatu saat aku akan membuatnya terluka.

***

Kak Rio menghentikan mobilnya di sebuah tempat parkir bawah tanah berukuran sangat luas. "Kamu yakin? Aku sudah membicarakan tentang pekerjaanmu. Mereka menerimanya dengan syarat kamu harus diantar jemput setiap hari."

"Bukan masalah itu, Kak. Hanya saja aku mulai tidak nyaman bekerja di sini."

Mata Kak Rio menatapku sedih. Dia hanya terdiam dan mengangguk. Entah apa dia mengerti keresahanku atau tidak.

"Aku akan segera kembali." Aku membuka pintu mobil dan berjalan ke arah lift di bagian ujung lain tempat parkir. Kutekan tombol angka delapan dan benda kotak itu mengantarku cepat ke atas hingga ke lantai gedung yang kuinginkan.

Aku berjalan di sepanjang lorong. Semua mata menatap ke arahku, mencoba mengenaliku yang lagi-lagi berpenampilan beda. Skinny jeans biru tua, tank top berleher rendah berwarna merah, kemeja kanvas kotak-kotak, sneakers, dan sebuah sling bag menghiasi penampilanku hari ini. Sangat tidak cocok dengan suasana perkantoran yang begitu kental.

Sebuah ruangan bertuliskan nama Alinka Natalie Hermanto di daun pintunya membuatku terhenti. Aku mengetuk pelan dan menunggu seseorang menjawab dari arah dalam ruangan.

Kubuka pintu di depanku dan menemukan Alin sedang sibuk dengan sambungan teleponnya. Dia tampak sedikit terkejut dan mengangguk padaku. Tak lupa dia menunjuk sebuah sofa panjang di sebelah kanan ruangan, mengisyaratkan untuk menunggunya di sana.

Tidak berapa lama, Alin menutup teleponnya. Dia bangkit dan berjalan menghampiriku. "Kamu sudah keluar dari rumah sakit?"

Aku tersenyum. Aku tidak tahu kabar apa yang menyebar di kantor hingga Alin mengira aku seharusnya berada di rumah sakit. "Aku sudah lebih baik."

"Tapi kamu nggak memaksakan diri masuk kerja kan?"

"Nggak. Aku cuma mau menyerahkan ini." Aku mengeluarkan sebuah amplop putih dari dalam tasku dan menyerahkannya pada Alin.

Alin membuka dan membacanya. Dia tampak sangat terkejut kali ini. "Apa ini, Ellen? Surat pengunduran diri? Kamu serius?"

"Iya. Terima kasih atas bantuanmu selama ini. Tolong sampaikan maafku pada semua karyawan." Aku tersenyum. "Sampai jumpa."

Aku berjalan ke arah pintu, meninggalkan Alin yang masih terpana menatap secarik surat di tangannya. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Tapi, aku bisa melihat sangat jelas rasa frustasi di matanya.

Pintu di depanku tiba-tiba terbuka tepat setelah aku hendak membukanya. Sosok pria di baliknya membuatku sangat terkejut. Bian muncul di balik pintu seakan-akan dia mengetahui keberadaanku.
Bagaikan film, kejadian-kejadian bersama Bian sejak bertemu pria itu pertama kali kini terputar ulang di kepalaku.

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Apa maksudmu?" Aku menyadari suaraku bergetar. Ada rasa takut yang tiba-tiba muncul dari dalam diriku sesaat setelah mendengar suara Bian.

Bian mendekati Alin yang terpana melihat kami. Direbutnya kertas pengunduran diriku dari tangan Alin dan dirobeknya begitu saja. "Alin, keluar!" serunya.

Alin tersentak dan segera menuruti apa kata bosnya. Dia bahkan tidak berpikir dua kali untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di meja.

"Apa alasanmu?" Bian bersuara. "Kamu takut denganku?"

Kuberanikan diri menatap mata Bian. Sebenarnya aku bisa saja pergi keluar dari ruangan ini, meninggalkan pria itu sendirian. Tapi, aku bahkan hampir tidak bisa bergerak. "Aku sudah muak denganmu dan dengan semua permainan konyolmu."

"Bukankah kamu yang melakukannya pertama kali padaku?"

"It's just one night stand!" Aku berteriak. "Semua orang melakukannya. Memangnya kamu rugi apa?"

Bian memicingkan matanya. "Jadi, menurutmu pria tidak merasa rugi dengan one night stand?"

Aku tidak suka dengan perdebatan ini. Berdebat masalah untung dan rugi karena hubungan seks di masa lalu sama sekali tidak membuatku senang.

"Kamu merayuku, kita berhubungan seks, dan kemudian meninggalkanku begitu saja? Menurutmu apa semua pria akan senang dengan apa yang kamu lakukan? Itu sangat menghancurkan harga diriku."

"What? Harga diri?"

"Ya. Harga diriku sangat mahal."

"Masa bodo dengan harga dirimu." Aku kembali berjalan mendekati pintu dan membukanya. Tapi dengan segera Bian menutupnya kembali. Berdiri tepat di depanku.

"Aku belum mengizinkanmu keluar dari sini. Kamu masih karyawanku. Aku akan memberimu izin cuti istirahat karena aku tahu kamu belum benar-benar sehat. Tapi, bukan berarti aku membebaskanmu dari balas dendamku. Aku sudah bilang harga diriku mahal. Sangat mahal."

Tubuhku gemetar. Aku mundur selangkah ke belakang, memberi jarak lebih antara aku dan Bian, seperti seekor herbivora yang sudah menjadi target predatornya. "Jangan mendekat."

Bian mengunci pintu. Tanpa mengacuhkan seruanku, dia maju mendekatiku.

"Aku akan teriak jika kau macam-macam padaku."

Belum sempat aku melangkah lebih jauh, tangan panjang Bian meraih tubuhku dan mendaratkan ciuman di bibirku. Tubuhku sama sekali tidak berkutik di pelukannya. Ini sangat membuatku frustasi hingga air mataku pun meleleh.

Sex Games with A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang