Bab 7

53.6K 1.3K 48
                                    

Sudah beberapa kali ponselku bergetar karena panggilan masuk. Aku hanya terus menatap layarnya yang berkedip-kedip di sisi tubuhku. Alin tampaknya sudah menyerah untuk kembali meneleponku setelah panggilan ke tujuhnya tidak kujawab, sedangkan Theo dan Bian seperti sedang berlomba-lomba mencari perhatianku.

Aku menarik selimutku kembali. Aku ingin menghabiskan hari ini dengan terlelap di tempat tidur tanpa memikirkan hal lainnya. Mungkin, jika nanti aku merasa lelah karena terlalu banyak tidur, aku akan memulai mengetik surat pengunduran diriku.

Kutekan remote CD player. Lagu-lagu kesukaanku mulai menyeruak ke seluruh ruang tidurku. Kutinggikan volume-nya, berharap aku bisa menghilangkan suara-suara aneh dalam pikiranku saat ini, hingga aku terlelap kembali dalam mimpi.

***

Aku terbangun dengan penuh keringat dingin. Mimpiku buruk sekali. Kenapa pria bernama Bian itu bisa muncul dimana-mana?

Jarum jam dinding menunjuk angka satu. Matahari sudah begitu tinggi saat aku membuka tirai jendela. Aku bisa melihat kepadatan lalu lintas jalan raya dari atas sini. Mungkin untuk beberapa hari ini aku harus membiasakan diriku menjadi pengangguran. Tapi itu masih lebih baik daripada aku harus kembali bertemu Bian.

Alunan lagu jazz masih memenuhi kamar tidurku saat aku membuka pintu. Sayup-sayup aku mendengar suara pria dari arah dapur. Kakiku pun membawaku berjalan hingga menemukan dua orang pria yang tidak asing bagiku di mini bar dapur.

Pria bermata coklat segera menghampiriku dengan khawatir. Dia meletakkan telapak tangannya di dahiku dan terdiam sejenak. "Demammu masih belum turun."

"Kakak kenapa ke sini?"

"Aku tadi dihubungi Bian. Kamu nggak masuk kerja dan sama sekali nggak bisa dihubungi. Aku dan Bian khawatir, jadi kami langsung ke sini. Untung password kunci apartemenmu belum berubah." Kak Rio menyunggingkan senyum teduhnya. "Kenapa kamu nggak bilang kalau sakit? Demammu cukup tinggi." Lagi-lagi tangan Kak Rio menekan lembut dahiku.

Ternyata aku memang sedang sakit. Pantas saja rasanya sangat lelah. Sejujurnya, aku memang merasakan suhu tubuhku agak berbeda, tapi tidak kusangka aku sedang demam.

Kulirik pria lain yang sedang duduk di mini bar. Wajahnya begitu serius melihat ke arahku. Entahlah. Mungkin hanya halusinasiku saja.

"Adikku pasti belum makan. Aku lihat di lemari pendingin tidak ada makanan, jadi aku beli makanan dan obat." Kak Rio menggandengku untuk duduk di samping Bian. Dia meletakkan segelas air hangat dan sepiring makanan kecil kesukaanku, kue cubit. "Aku sudah menyiapkan makanan di meja makan. Habiskan kue cubitmu, lalu makan nasi. Aku harus menghadiri rapat. Setelah itu, aku akan segera kembali."

"Rapat?" Aku mengernyitkan dahi. "Kak Sam--"

"Dia belum tahu. Jangan khawatir, aku tidak akan mengatakan padanya. Selama aku pergi, Bian yang akan mengawasimu makan. Jadi, jangan lupa minum obatmu dan kembali istirahat." Kak Rio mengecup pipiku. "Aku akan segera kembali adikku." Kakinya yang panjang melangkah cepat ke arah pintu dan meninggalkanku seorang diri dengan Bian.

Aku masih termenung menatap kue cubit di depanku. Bahkan makanan kesukaanku tidak membangkitkan semangatku kali ini.

Bian secara tiba-tiba menempelkan dahinya ke dahiku. Aku bahkan tidak punya tenaga untuk terkejut, hanya muncul sedikit rasa marah yang masih kurasakan padanya.

"Jangan sentuh aku."

Bian sama sekali tidak bergerak dari posisinya. Mata kami saling bertatapan, berjarak sangat dekat. "Kepalamu terasa pusing? Demamnya memang cukup tinggi."

Sex Games with A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang