Bukan sebuah ciuman kasar dan mengintimidasi yang kudapatkan dari Bian. Ciuman itu sangat lembut, sangat berbeda dengan ekspektasiku.
"Tidak akan kubiarkan laki-laki lain menyentuhmu." Bian menatapku. Ada secercah rasa yang berbeda dari biasanya menyergap hatiku. Aku tidak dapat berpikir lagi apakah ini hanya khayalanku atau kenyataan yang sesungguhnya.
"Apa Kak Rio menceritakannya padamu?"
"Dia tidak menceritakan semuanya, tapi aku mencari tahu sisanya sendiri. Maafkan aku."
Aku tercengang sesaat. Tidak kusangka pria di depanku dapat mengeluarkan kata maaf semudah itu. Rasanya seperti berbicara dengan orang yang memiliki kepribadian ganda. "Kak Rio menungguku, aku harus pulang."
Bibir Bian kembali menciumku. Kali ini dia menjelajah mulutku dengan lidahnya. "Aku sudah menyuruhnya pulang," bisiknya di tengah desahan ciuman kami berdua. Dengan pelan dia melanjutkan gerilya di leherku. Sedangkan tangannya mulai meremas payudaraku dari luar tank top.
Entah kenapa aku tidak ingin menghentikan Bian. Badanku terasa panas membuatku enggan untuk bergerak lebih. Mungkin demamku kembali naik. Bahkan ketika Bian menurunkan celana jeans-ku, aku tidak bergeming.
Dengan mudah Bian mengangkat tubuhku ke atas meja kerja Alin. Aku baru menyadari diriku sudah setengah bugil di hadapannya. Aku tidak ingat kapan dia melepaskan kemeja dan menarik tasku. Hanya tertinggal tank top yang sudah hampir terlepas dan satu set dalaman putih sebagai pertahanan terakhirku.
Tak perlu waktu lama hingga Bian membuka pengait braku satu persatu. Tapi dia hanya melepaskan bra. Dia membiarkan tank top merahku tetap terpakai dan tersingkap hingga payudaraku terlihat menggantung di hadapannya.
Wajah Bian kini terbenam di antara payudaraku. Dia mengecup setiap bagiannya, membuat tubuhku merinding tersapu oleh napasnya di kulitku. Tangan kirinya menyentuh puting payudaraku dan aku merasakan tangan kanannya di bawah sana, mencoba memancing sesuatu.
Aku mencengkeram pinggiran meja, menahan desahanku yang semakin nyaring saat jari-jari Bian menjelajah di bawah. "Tolong," desahku saat aku dan Bian saling bertatapan.
"Tidak, Sayang. Ini belum selesai." Bian menggigit kecil putingku, membuatku tersentak. Dia menggerakkan jarinya keluar masuk vaginaku sembari memijat klitorisku dengan ibu jarinya.
"Kumohon." Aku hampir kehabisan napas. Tidak pernah ada pria yang bisa menahan foreplay selama ini hingga membuatku memohon. "Bian," panggilku.
"Hmm..." Kurasakan bibirnya di perutku turun hingga ke bagian dalam pahaku. Celana dalam yang masih kukenakan tidak menyurutkan langkah bibir Bian untuk meraih vaginaku. "I love it..." gumamnya sebelum dengan rakus melahap setiap bagian vaginaku.
Aku menjerit tertahan. Lidah Bian menari-nari di dalam sana dan sangat begitu menikmatinya. Bian sangat mengetahui titik-titik kelemahanku membuatku harus menyerah dari pertahananku. Tubuhku bergejolak saat sensasi nikmat yang familiar menyerangku.
Letih. Tapi lidah Bian sama sekali tidak berhenti dan membuat gairahku kembali dengan cepat.
"Bian," panggilku. "Kumohon." Aku pun merengek.
Tiba-tiba saja sebuah benda masuk ke dalam tubuhku tanpa peringatan. Rasanya seperti tersedak dan membuatku cukup panik. Bian memperlebar jarak antar kakiku dan menghujamkan penisnya dengan kasar.
"Bian," panggilku lagi dengan suara yang sedikit tercekat.
"Ssssttt..."
Aku mencengkeram bahu Bian. Dapat kurasakan otot-otot di balik kemejanya sedang bekerja. Tubuh kami bergerak berirama. Bian memegang pinggulku membuat penisnya masuk lebih dalam. Refleks, aku merangkul leher Bian.
Aroma parfum Bian menguar dan membuatku menjadi semakin tidak terkendali. Desahanku di telinga Bian membuatnya menjadi tidak sabar. Semakin cepat Bian bergerak hingga klimaks itu pun datang bersama.
Tubuhku lemas. Selama menjalani terapi, aku tidak sempat untuk memikirkan seks karena konsumsi obatku membuatku sering cepat lelah. Aku hanya menggelayut di leher Bian sambil mengatur napasku.
Bian, lagi-lagi membuatku terkejut. Kupikir dia akan meninggalkanku begitu saja seperti yang dilakukan sebelumnya padaku. Tapi, tidak. Dia menyeka keringat di dahiku dengan tangannya dan membiarkanku bergelayut padanya.
"Apa kau bisa berdiri?" tanya Bian setelah aku melepaskan tanganku dari lehernya.
"Kurasa bisa," jawabku tidak yakin. Aku menunduk dan melihat tubuh bagian bawahku penuh dengan cairan. Cairan itu bahkan membasahi meja kerja Alin. Untungnya barang-barang Alin termasuk tumpukan berkas file dengan sengaja disingkirkan Bian begitu saja sebelum dia menyetubuhiku.
Bian membungkuk dan menatap vaginaku yang penuh dengan cairan. "Aku akan membersihkannya."
Sebelum aku sempat memahami maksud Bian, lidah Bian sudah dengan giat menyapu area vaginaku. Aku tercekat karena tiba-tiba rasa nikmat itu kembali lagi. "Please, hentikan." Aku mendorong pelan bahu Bian. Aku benar-benar tidak punya tenaga lagi.
"Baiklah." Bian mengambil beberapa lembar tisu untuk membersihkan hasil perbuatannya. "Kupikir karena kamu kelihatan sudah sangat lelah, gairahmu tidak akan naik semudah itu."
Aku mulai memasang kembali pakaianku. Dengan sisa-sisa tenaga, aku merapikan diriku di depan cermin. Bayangan di depanku matanya tampak sayu dan seperti bukan sosok Ellen yang kukenal. Obat yang kukonsumsi mungkin menghilangkan halusinasiku sementara, tapi juga mengambil semu merah di wajahku.
Bian berdiri di belakangku, memeluk pinggangku. Dia meletakkan kepalanya di lekukan leherku dengan matanya menatapku melalui pantulan cermin. Aku tidak bergeming dan hanya membalas tatapannya. "Kalau pria itu muncul lagi di kehidupanmu, aku akan membunuhnya," ucap Bian, membuatku tidak bisa membendung air mata.
***
Tatapan mata itu menatapku. Bibirnya bergerak dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa kudengar. Tangannya menyibakkan rambutku, membuat tatapannya sesaat tampak berkilat. Dia tertawa dan menekan leherku dengan kedua tangannya, mencekikku. Aku berteriak.
Tubuhku terperanjat saat kesadaranku muncul. Bian menahan tubuhku dan melihatku dengan khawatir. "Ellen itu cuma mimpi. Tidak apa-apa aku ada di sini." Dia memelukku.
Kurasakan keringat dingin di dahiku. Mimpi yang sama terus muncul setiap aku memejamkan mata. Rasa takut itu menghantuiku kembali. Tapi, pelukan hangat Bian memberiku sedikit rasa aman.
Aku melihat atap rendah di atasku. Dari balik kaca aku pun melihat banyak kendaraan bermotor berlalu lalang. Aku menyadari diriku sedang di dalam mobil, di sebuah jalan raya entah dimana.
"Ellen, lihat aku." Tangan Bian berada di kedua sisi wajahku. Dia tampak ketakutan.
"Kita mau kemana?" tanyaku lirih, menatap Bian yang menghela napas lega.
"Aku akan mengantarmu pulang." Dia kembali duduk di balik kemudi dan memakai sabuk pengaman. Lalu, tangan kirinya menggenggam tangan kananku saat mobil kembali melaju kembali di jalan raya. "Kamu boleh menyakitiku, tapi tidak menyakiti diri sendiri."
"Apa yang telah kulakukan?"
"Kamu mencekik dirimu sendiri."
Itu terdengar tidak terlalu mengerikan bagiku. Beberapa kali bahkan aku hampir mengiris pergelangan tanganku, sebelum akhirnya dihentikan olah Kak Sam. Saat itu adalah puncak keterpurukan di dalam hidupku. Selain Bian, Kak Sam pun pernah menjadi korban halusinasiku. Walaupun dia dalam kondisi di antara hidup dan mati, dia masih berusaha melindungiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...