Bab 19

5.8K 200 0
                                    

Aku membongkar isi koperku. Hampir semua pakaianku terbuka di bagian leher. Tidak ada scarf atau benda lain yang bisa menutupi leherku--karena kupikir tidak perlu membawanya. Dengan terpaksa, aku harus menyamarkan kiss mark di leherku dengan hanya menggunakan make up. Kupilih memakai midi dress biru dengan leher v-neck bermotif bunga. Setidaknya, aku hanya perlu menutupi kiss mark di area sekitar dada saja.

Kulihat diriku di cermin. Masih sedikit terlihat bekas merah di sekitar belahan dadaku, walau sebagian besar sudah tertutup oleh boob tape di balik dress-ku. Hanya perlu sedikit polesan make up dan kuyakin Theo tidak akan menyadarinya.

Setelah menutup kiss mark dengan make up, aku juga merias tipis wajahku agar terlihat tidak terlalu pucat. Rambut kubiarkan terurai, karena aku khawatir jika ternyata Bian meninggalkan jejak di belakang leherku.

Aku menghela napas panjang saat memikirkan bagaimana sikap Bian beberapa saat lalu. Akhir-akhir ini dia jauh lebih pengertian dan bersikap lembut padaku, walaupun terkadang jika 'kumat', dia bisa kembali bersikap keterlaluan seperti tadi. Jika aku hanya wanita biasa dan lugu, mungkin sudah lama aku memilih bersama Theo.

Pintu kamar diketuk. Aku dengan segera mengambil tas dan ponselku sebelum membukanya. Theo dengan kemeja linen berwarna denim dan celana putih longgar tampak menungguku di balik pintu. Entah bagaimana kami berdua memakai pakaian seperti pasangan couple secara kebetulan.

"Nice dress." Tampaknya Theo pun masih merasa sedikit canggung setelah insiden ciuman itu.

Aku tersenyum. "Thanks."

Kami berdua mengambil jarak saat berjalan melewati lorong hotel. Dia mempersilahkanku jalan terlebih dahulu menuju resto hotel yang berada di rooftop di lantai sepuluh. Setelah keluar dari elevator dan berjalan sedikit, kami disuguhkan pemandangan langit malam yang indah di sini. Sangat sulit bagi orang kota seperti kami bisa melihat ratusan bintang tepat di atas kepala.

Seorang pelayan mengantarku dan Theo ke sebuah meja dengan pemandangan langsung ke arah laut. Pelayan itu memberikan buku menu dan menunggu. "Menu rekomendasi hari ini adalah black angus tomahawk steak dan wagyu beef steak."

"Aku dengar wagyu beef steak di sini sangat enak. Mau mencobanya?" tanya Theo padaku.

"Baiklah. Medium well, please."

"Dua wagyu beef steak medium well dan wine. Masing-masing segelas untuk kami," kata Theo pada pelayan.

Aku dan Theo menyerahkan buku menu di tangan kami pada pelayan itu setelah dia mencatat pesanan kami. "Baik, mohon ditunggu." Dia tersenyum dan berjalan pergi.

Theo menatapku. "Aku tidak akan meminta maaf padamu tentang ciuman tadi, karena itu bukan kesalahan. Aku hanya meminta maaf untuk kecanggungan di antara kita. Seharusnya, aku mengejarmu saat itu. Maafkan aku."

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan pada pria di depanku. Jika aku yang meminta maaf tentang membalas ciumannya, itu pasti akan melukai harga dirinya. Kemungkinan besar, makan malam ini akan berakhir sebelum makanan utamanya datang.

Hidangan pembuka menyelamatkanku. Seorang pelayan menyajikan caesar salad di meja kami. Aku dengan lahap memakan hidangan di depanku, sedikit berharap Theo tidak akan menyinggung lagi tentang ciuman itu. Aku sungguh merasa sangat bersalah padanya.

"Kuharap kamu bisa membuka hatimu untukku pada akhirnya. Aku tahu kamu sangat enggan membahas ciuman itu. Aku juga tahu kamu perlu waktu untuk memikirkannya." Theo melanjutkan ucapannya setelah dia sadar aku tidak memberikan respon sebelumnya.

Aku meletakkan alat makan di tanganku, berhenti menyantap salad milikku dan menatap Theo. "Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu. Tapi, seperti yang pernah kukatakan sebelumnya padamu, aku jahat. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik dariku. Kumohon, berhentilah menungguku."

Theo pun meletakkan alat makannya. Tidak ada satu pun dari kami yang memakan hidangan di atas meja. Makan malam ini sudah gagal. Aku sudah tahu bahwa makan malam ini hanya sia-sia. "Sebaiknya, aku pergi." Aku berdiri dan berjalan meninggalkan Theo yang masih menatap salad di depannya.

***

Sosok di pantulan cermin itu memang terlihat sangat jahat. Dia sakit jiwa dan tidak pantas untuk Theo. Dia seperti kulit kerang yang ditinggal penghuninya. Banyak yang memuji kecantikannya, tapi penghuninya tidak pernah ditemukan dan tidak pernah kembali.

Aku menghela napas panjang. Sudah cukup lama aku menatap diriku di cermin, berharap benda itu punya jawaban pasti kenapa aku melakukan semua ini. Kenapa aku tidak bisa menerima Theo dan melupakan Bian? Itu adalah pilihan terbaik. Tapi, aku menolak pilihan terbaik yang bisa kudapatkan.

Kulepas gaunku. Aku mengganti pakaianku dengan celana jeans dan kaos oblong putih. Malam ini aku harus pulang. Aku tidak bisa bertemu Theo kembali setelah ini. Jadi, aku mencoba menghubungi Mika yang ternyata panggilan telepon itu langsung masuk ke voice mail. Itu berarti dia tidak ingin diganggu malam ini.

Aku menimbang-nimbang untuk menelepon Kak Rio atau Kak Sam. Mereka berdua adalah orang terakhir yang akan kumintai bantuan. Haruskah aku menelepon Bian? Saat ini, mungkin dia sudah tiba di kantor. Aku memeriksa jam di sisi kiri atas layar ponselku. Maukah dia kembali ke sini untuk menjemputku?

Sejauh yang kuingat, aku tidak pernah mengandalkan pria itu selain untuk seks. Terasa sangat aneh untuk meminta bantuan padanya di saat seperti ini. Tapi, hanya dia pilihanku.

Sedikit enggan, aku menelepon nomor ponsel Bian di layarku. Terdengar nada tunggu sebelum akhirnya Bian mengangkat panggilan teleponku. Aku bisa mendengar suara napasnya di ujung sana, menungguku mengatakan sesuatu.

"Maukah kamu menjemputku?" tanyaku.

"Baiklah."

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamarku. Aku terkejut. Mungkin itu Theo yang kembali mengecek keberadaanku. Entah apa yang akan kukatakan saat dia melihatku sudah berganti pakaian dan akan pergi meninggalkannya sendirian di sini.

"Cepat buka pintunya," kata Bian lagi dari seberang telepon.

Mataku melebar. Aku segera bangkit dan membuka pintu kamar hingga menemukan Bian lah yang sedang berdiri di balik pintu. "Kupikir kamu sudah pulang." Aku menutup panggilan teleponku di ponsel.

"Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu bersama pria lain?"

Aku menatap pria bermata biru itu. Dia mengenakan celana jeans belel dengan kaos oblong berwarna kelabu tua. Otot-ototnya tidak bisa dia sembunyikan dari balik pakaian tipis itu, membuat darahku berdesir saat melihatnya.

Kualihkan pandanganku agar tubuhku tidak bereaksi lebih dari ini. Aku segera mengeluarkan koperku. Bian dengan sigap mengambil alih, membantuku membawa koper itu.

"Biar aku saja yang melakukan check out. Kamu tunggu saja di mobil," kata Bian saat kami tiba di lobi setelah berjalan keluar dari lift. Dia memberikan sebuah kunci mobil padaku dan menukarnya dengan kunci kartu kamar hotel di tanganku.

Aku mengangguk menurutinya dan berjalan keluar dari hotel menuju area parkir. Aku menatap langit malam beberapa saat. Pemandangan itu masih sama dengan yang kulihat saat di rooftop beberapa waktu lalu. Mungkin Theo masih di atas sana, juga menatap pemandangan ini seperti diriku. Kuharap pria itu bisa memahami keputusanku menolaknya.

Sex Games with A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang