Mimpi buruk membangunkanku. Aku terperanjat. Jantungku berdetak sangat cepat dan kurasakan hormon adrenalin mengalir sangat kuat. Perasaanku semakin buruk setelah kurasakan nyeri di seluruh tubuhku. Itu memperjelas bahwa kenyataan yang sedang kujalani saat ini juga merupakan mimpi buruk.
Pergelangan tanganku sudah tidak terikat lagi. Tapi, bekas gesekannya cukup parah hingga membuatnya terluka. Leherku juga sepertinya mengalami memar akibat cekikan yang dilakukan terus menerus. Paling parah, di perut bagian bawahku terasa sangat nyeri setiap aku bergerak.
Aku bangkit dan melihat ke sekelilingku. Melalui tirai jendela yang dibiarkan terbuka, ruangan disinari banyak cahaya matahari. Otakku segera mengolah informasi yang kutangkap dari penglihatanku. Ruangan kamar ini nampaknya sangat tidak asing bagiku.
Kutarik selimut untuk menutupi tubuhku yang tidak lagi berbusana saat turun dari ranjang. Aku sama sekali tidak menemukan pakaian yang telah dirobek Irvin tadi malam. Sepertinya, pria itu membereskan semua kekacauan yang dilakukannya, membuatku semakin tidak mengerti dengan jalan pikirannya.
Aku meringis di setiap langkahku berjalan ke arah jendela. Mataku membelalak melihat pemandangan luar. Pemandangan itu sama persis dengan yang kulihat selama bertahun-tahun sebelumnya. Apartemenku? Bagaimana bisa?
Terakhir kali yang kuingat, Kak Rio menjual apartemenku seminggu setelah kepindahanku kembali ke rumah orang tuaku. Kak Rio dengan jelas bilang bahwa pembelinya adalah seorang wanita berdarah Perancis.
"Indah sekali." Suara pria di belakangku, refleks membuat sekujur tubuhku merinding. Pria itu memeluk pinggangku. Aku sama sekali tidak menyadari kehadiran Irvin. Dia seperti hantu yang tiba-tiba muncul dan pergi tanpa suara. "Aku tahu kamu masih sangat menyukai apartemen ini. Jadi, aku membelinya."
Tubuhku semakin menegang saat hembusan napas Irvin menyentuh kulitku. Nyaliku semakin ciut mengingat semua perbuatannya pada malam sebelumnya. Aku tidak siap mendapatkan perlakuan kasar lagi, terutama ketika dia mendapat penolakan dariku.
"Wanita Perancis itu adalah wanita simpanan ayahku. Tentu saja Samuel dan Rio tidak mencurigai tentangnya karena hanya beberapa orang yang mengetahui hubungan itu. Bagiku, setidaknya dia sedikit berguna." Irvin berbisik, "Jadi, tidak akan ada orang yang menyadari keberadaanmu saat ini."
Lidahku kelu. Berada di dekat Irvin semakin membuatku bergidik ngeri. Pria itu benar-benar seorang psikopat.
"Tapi, tenang saja. Aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi. Jadi, kita akan segera pergi dari negara ini," lanjut Irvin.
Apa?
Irvin melepaskan pelukannya dan berdiri di depanku. Tangannya menaikkan daguku, memaksaku menatap matanya. Tanpa peringatan, dia mencium bibirku. Aku gelagapan dan refleks melepaskan selimut di tangan untuk mendorong tubuh besar Irvin.
Secara tak terduga, ciuman itu terasa lembut. Anehnya, itu membuatku teringat bagaimana terjadi pemerkosaan sebelumnya. Aku semakin panik dan melakukan semua hal yang bisa agar terlepas dari ciuman Irvin.
Penolakanku lagi-lagi tidak bisa diterima Irvin. Ciuman itu berubah menjadi kasar. Pria itu mendorongku cukup jauh hingga tubuhku terpojok di dinding. Tangannya pun kini mulai mencekikku. Napasku tercekat dan air mataku mulai mengalir. Saat aku merasa berada di ambang batasku, secara tiba-tiba Irvin melepasku.
Aku terjatuh ke lantai sambil terbatuk-batuk. Aku mengabaikan dinginnya lantai yang menyentuh tubuh telanjangku karena nyeri di sekujur tubuhku jauh terasa lebih menyakitkan.
"Basuh tubuhmu. Lalu kita akan bicara lagi." Langkah kaki Irvin menjauhiku. Disusul dengan bantingan pintu yang cukup keras, menandakan penolakanku benar-benar membuat perasaannya menjadi sangat buruk.
Cukup lama aku terkapar di lantai. Mataku kembali sembab setelah menangis beberapa waktu. Entah berapa lama aku harus merasakan penderitaan ini. Padahal aku belum sehari bersama Irvin, tapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun berada di nerakanya.
Aku meringkuk, menatap kosong udara. Pikiranku dipenuhi dengan semua hal tentang bunuh diri. Akan lebih baik lagi jika bisa kulakukan tanpa menambah rasa sakit di tubuhku.
Bagaimana perasaan semua orang saat aku benar-benar bunuh diri nantinya? Bagaimana dengan Bian? Tanganku menyentuh sebuah kalung di leherku. Bian memberikan kalung itu sebelumnya agar aku tidak merasa takut selama sesi terapi. Benda kecil itu cukup menenangkanku.
Aku harus kuat. Bagaimanapun, aku yakin Bian akan menemukanku. Aku harus percaya padanya.
***
Berendam air hangat cukup membantu menghilangkan rasa nyeri di sekujur tubuhku. Setidaknya, aku bisa memulihkan diri dengan cara seperti ini sebelum harus kembali menghadapi kekerasan yang kemungkinan besar akan terulang. Aku hanya harus bertahan dan menunggu seseorang menemukanku. Itu tidak mudah, tapi aku yakin bisa melakukannya.
Aku melangkah keluar dari bak mandi. Sebelumnya, Irvin sudah menyiapkan semua pakaianku beserta alat mandi lengkap. Aku tidak lagi terkejut melihat semua merk perlengkapan mandi disiapkan sesuai dengan yang kugunakan sehari-hari. Gaun tidur serta pakaian dalamnya pun memiliki merk dan model yang sama dengan yang kumiliki. Selama ini, Irvin pasti menguntitku walaupun sedang berada di balik jeruji besi.
Aku menatap pantulan diriku di cermin wastafel. Gaun tidur panjang berlengan berwarna nude dengan potongan leher rendah, kini sudah menutup tubuhku yang sebelumnya memakai underwear set berwarna sama. Sayangnya, bekas cekikan serta gigitan-gigitan kecil di sekitar leherku terlihat mulai membiru. Itu terlihat sangat kontras dengan kulitku, membuatku semakin menyadari bagaimana berbahayanya Irvin.
Prioritasku saat ini adalah bagaimana membuat perasaan Irvin tidak memburuk. Semakin keras penolakan yang kuberikan, semakin buruk perasaannya, semakin kejam juga dia akan menyiksaku. Pria itu memang tidak akan membunuhku, tapi jika dia terus menerus menyiksaku hingga ambang batas, bukan tidak mungkin pikiran bunuh diri akan kembali menyerangku.
Lelah dan sakit. Tapi, itulah harga yang harus kubayar agar bisa bertemu keluargaku kembali. Aku juga ingin bertemu Bian.
Kakiku melangkah keluar dari kamar mandi. Aku berhenti dan menatap Irvin yang sudah duduk di sofa dengan nampan berisi makanan di meja di hadapannya. Pria itu membalas tatapanku sekilas, lalu kembali sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Duduk," perintah Irvin tegas saat aku hanya berdiri menatapnya. Kali ini dia meletakkan ponselnya dan fokus kepadaku. "Makan ini." Dia mendorong nampan di depannya agar lebih dekat denganku.
Aku menurut. Aku duduk dan makan dalam diam.
"Besok kita akan pergi dari negara ini. Semua dokumen telah siap."
Tanganku terhenti. Mataku menatap kosong bubur putih di depanku. "Kamu pikir bisa membawaku pergi dengan mudah?" Jelas, akan ada banyak kesempatan untukku kabur selama dalam perjalanan.
Irvin tersenyum sinis. "Tidak. Karena itu aku mendaftarkanmu sebagai penumpang berkebutuhan medis." Pria itu mendekat. "Menurutmu, treatment apa yang akan didapatkan oleh seorang pasien sakit jiwa?"
Aku tahu jawabannya. Irvin akan membawaku terbang dalam keadaan tidak sadar. Mengingat latar belakang orang tuanya yang bekerja di pemerintahan, tentu saja semua itu menjadi sangat mudah. Dia hanya perlu menyuruh orang yang tepat untuk melakukan pekerjaan kotor.
Kuputuskan untuk tetap diam dan melanjutkan makan. Walaupun begitu, aku memacu otakku untuk mencari jalan keluar sebelum pria gila di dekatku itu berhasil membawaku tak terjangkau dari keluargaku. Aku harus memberitahu seseorang tentang keberadaanku saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...