Bab 22

5K 155 1
                                    

Beberapa kali Mika mengirimku pesan bahkan mencoba menghubungiku via telepon serta panggilan video. Aku mengabaikannya karena saat ini aku sedang rapat dengan salah satu klien paling penting. Sepenting apapun informasi yang akan kudapat dari Mika, klien ini jauh lebih penting untuk keberhasilan proyek besar berikutnya yang akan dijalankan perusahaan.

Rapat selama hampir dua jam itu pun berakhir. Aku masih mengabaikan beberapa pesan masuk dari Mika dan segera menelepon wanita itu. "Kamu tahu kan ini hari Senin? Aku sedang di kantor," kataku segera setelah nada tunggu berhenti.

"Kamu sudah buka link yang kukirimkan?" tanya Mika.

"Link apa?"

"Buka dulu. Baru telepon aku lagi." Mika menutup teleponnya dengan cepat.

Aku mengernyitkan dahiku. Terkadang, aku tidak mengerti wanita itu walaupun dia sahabatku. Seperti yang dikatakan Mika, aku membaca pesan-pesan yang dikirimkan olehnya. Salah satu pesan itu berisi tautan yang langsung membawaku ke salah satu media sosial berbentuk video. Itu adalah channel tentang seorang vlogger yang sedang mengunjungi tempat tinggal seseorang yang cukup terkenal di Indonesia. Tertulis di sana si vlogger bernama Benu, dia adalah salah satu artis ibu kota.

Benu baru saja tiba di depan sebuah rumah besar dengan pagar yang sangat tinggi. Dia disambut oleh seorang bagian keamanan yang tampaknya menjaga rumah itu. Penjaga keamanan itu mengantarkan Benu hingga di depan pintu rumah yang sepertinya tidak kalah tinggi dengan pagarnya.

Seseorang muncul dari balik pintu setelah beberapa saat Benu mengetuknya. Pria itu terlihat sangat tidak asing, tapi aku masih berusaha mengingatnya.

"Ini dia sang pemilik rumah yang kita kunjungi kali ini! Siapa, sih, yang nggak kenal dengan Adam Margo!? Pelukis terkenal yang baru-baru saja memenangkan kompetisi seni internasional." Kamera menyorot langsung ke arah sang pemilik rumah. Dia terlihat cukup berbeda dengan penampilannya yang kasual. Mungkin karena itu aku sempat tidak mengenalnya.

Entah apa isi video itu hingga membuat Mika panik. Aku mencoba melihatnya dengan seksama hingga Adam menunjukkan sebuah lukisan yang baru saja selesai dibuatnya. Itu adalah lukisan wajah seorang wanita. Mataku melebar saat lukisan itu disorot dengan jarak dekat.

"Siapa wanita ini?" tanya Benu sang vlogger. "Jangan-jangan, ini pacarmu?" Dia menatap Adam dengan tatapan menyelidik.

Adam tertawa. "Aku menyukainya. Aku bertemu dengannya beberapa waktu lalu. Sejak saat itu, aku tidak bisa melupakan wajahnya sama sekali."

"Wah! Jadi, cinta pada pandangan pertama?" Benu bertepuk tangan senang. "Kamu sangat hebat bisa melukis hanya dengan ingatan saja. Kuharap, wanita di lukisan ini bisa melihat lukisan wajahnya di video ini."

Tanganku menghentikan video itu. Aku segera kembali menelepon Mika. Mika segera melemparkan semua pertanyaan di otaknya padaku. "Itu kamu kan? Itu jelas sekali kamu! Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Adam menyukaimu? Malam itu, kalian tidur bersama? Apa yang sebenarnya terjadi di hotel? Apa yang kalian lakukan?"

"Tidak ada," kataku.

"Serius?"

"Ya. Aku serius. Kamu tahu sendiri dia bukan tipeku. Malam itu aku bersama Bian."

"Kamu yakin itu Bian, bukan Adam?"

"Tentu saja," kataku mulai kesal. Yang kutakutkan adalah kemungkinan besar, Kak Rio bahkan Kak Sam juga pasti melihat video itu. Mengingat jumlah penontonnya beberapa saat lalu sudah menembus lebih dari satu juta views, semua orang akan cepat mengetahui bahwa wanita di lukisan itu adalah aku.

"Pasti sebentar lagi jadi viral. Aku yakin fans fanatiknya akan mencoba mencari tahu tentangmu. Sebaiknya kamu hati-hati, karena hubungan Adam dengan beberapa wanita yang dekat dengannya tidak berjalan mulus karena campur tangan fans fanatiknya itu."

"Aku tidak tahu seorang pelukis bisa memiliki fans fanatik." Itu terdengar terlalu berlebihan.

"Kamu sudah lihat sendiri bagaimana tampannya dia, kan?" Mika terdengar kesal. "Semua orang tampan yang terkenal pasti punya fans fanatik."

"Aku tidak peduli dengan itu. Aku hanya ingin lukisan itu tidak disalahgunakan lebih jauh. Bisakah kamu mencari tahu bagaimana mendapatkan lukisan itu? Aku akan membelinya."

"Entahlah. Aku akan bertanya ke beberapa orang. Nanti, aku akan mengabarimu lagi. Jaga dirimu baik-baik, ok? Pastikan kamu tidak berada di dekat orang-orang yang bersikap mencurigakan. Jangan lupa membawa semprotan merica!" kata Mika sebelum menutup telepon.

Aku memutar bola mataku. Rasanya sangat tidak mungkin aku akan bertemu dengan orang-orang itu, terutama di saat aku sedang dalam mode 'pingit' seperti sekarang. Aku bahkan belum diperbolehkan mengemudi sendiri.

Apa Bian sudah melihat video itu?

Sejak kemunculan Adam di hotel saat itu, aku tahu dia akan menjadi masalah di kemudian hari. Entah bagaimana reaksi Bian saat mengetahuinya. Mungkin dia akan kesal dan melampiaskannya padaku seperti sebelumnya. Aku harus menyiapkan mental mulai saat ini.

Pintu ruanganku tiba-tiba diketuk seseorang. Theo muncul dari balik pintu itu, membuat rasa bersalahku padanya kembali muncul.

"Aku ke sini untuk berpamitan denganmu," kata pria itu, masih berdiri di dekat pintu. Tampaknya dia enggan mendekatiku.

Apa maksudnya?

"Aku mengajukan diri untuk pindah ke cabang," lanjut Theo sambil memaksakan senyumnya. "Kupikir, itu akan lebih baik untuk kita berdua, terutama untukku. Aku tidak akan berhenti mengejarmu jika terus seperti ini."

"Maafkan aku."

"Tidak. Sudah cukup kamu meminta maaf padaku." Ada kesedihan dan kekecewaan di mata pria itu. "Kuharap, situasi kita bisa lebih baik dari ini jika bertemu lagi. Jaga dirimu." Theo menatapku cukup lama. "Sampai jumpa." Theo berjalan keluar dari ruanganku. Dia sama sekali tidak menunggu balasan dariku.

Aku masih terdiam menatap pintu itu. Aku membuat Theo mengambil keputusan sulit. Tentu saja dia tidak akan merasa nyaman jika harus bertemu denganku setiap hari. Mungkin, aku akan melakukan hal yang sama jika berada di posisinya saat ini.

Padahal dulu aku memutuskan untuk tidak memasukkan perasaan di dalam hubungan yang kujalin. Entah itu pacaran atau hanya sekedar seks, aku tidak membiarkan para pria itu mengganggu kehidupan pribadiku. Saat ini rasanya aku menjadi berubah. Aku membiarkan Theo masuk ke kehidupanku. Bian bahkan sudah masuk sangat dalam saat ini. Apa yang kulakukan? Tanpa sadar, aku selalu mengandalkan Bian akhir-akhir ini.

Telepon kantor berdering. Aku segera mengangkat gagang telepon itu dan mendengar suara serak pria di seberangnya. "Siang, Bu Ellen. Saya Edwin dari resepsionis. Ada paket yang cukup besar dikirimkan untuk Ibu. Pengirimnya atas nama Adam Margo."

"Bawa saja langsung ke ruangan saya," kataku.

Ada satu pria lagi yang mulai mengusik hidupku. Pria satu ini benar-benar tidak bisa ditebak. Sejak awal, aku sudah mendorongnya menjauh, tapi entah bagaimana efeknya berkebalikan dari yang kuharapkan.

Sex Games with A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang