Mataku terpaku pada pemandangan langit biru melalui pintu kaca balkon di samping ranjang. Aku termenung. Mimpi buruk itu tidak menghampiriku tadi malam. Kenapa? Apa karena fokusku teralihkan tadi malam? Faktanya, kejadian tadi malam memang membuatku sama sekali melupakan bahwa aku masih merupakan pasien sakit jiwa.
Tangan Bian bergerak memeluk pinggangku. Aku bisa merasakan hembusan napasnya di tengkuk leherku. Hangat dan sangat tenang. Aneh rasanya berada di samping seorang pria saat bangun di pagi hari. Biasanya aku akan pergi menjelang pagi dan meninggalkan pasangan seksku sebelum mereka menyadarinya. Tapi, tidak kali ini. Aku ingin tidur lebih lama. Rasanya senang sekali mimpi itu tidak kembali datang.
"Selamat pagi." Bian berbisik di telingaku, lalu mengecup lembut pipiku. "Bagaimana tidurmu?"
"Untuk pertama kalinya tidak ada mimpi buruk yang datang." Kuakui itu.
"Ya. Aku tahu. Kamu bahkan tertidur saat aku hampir klimaks."
"Benarkah?"
Aku mencoba melakukan reka adegan tadi malam di otakku. Aku ingat saat bibir Bian menyentuh vaginaku. Sudah cukup lama aku tidak berhubungan seks dan sepertinya efek pengobatan yang kujalani masih ada. Tubuhku terasa sangat lelah saat aku mencapai klimaks keduaku. Kurasa tanpa sadar aku tertidur setelahnya.
"Kurasa kamu tidak memerlukan perawatan lagi. Menurutku perawatan dan obat yang kamu konsumsi membuatmu semakin sakit."
Aku menghela napas panjang, menatap gumpalan awan bergerak perlahan di langit. "Entahlah. Tanpa perawatan dan obat mungkin saja aku akan menusukmu lagi." Kuputar tubuhku hingga berhadapan dengan Bian.
Bola mata Bian tampak sangat indah. Kupikir aku mempunyai rasa padanya. Dia kadang begitu kasar dan kejam, tapi selalu ada sikap lembut dan perhatian dibalik sikap kekanak-kanakannya itu. Mataku berpindah ke arah bawah, di lengannya tampak bekas luka baru.
"Bukankah seharusnya kamu menjauhiku?" Kusentuh bekas luka itu. "Bagaimana jika aku tiba-tiba kembali menjadi wanita gila?"
"Gila atau apapun itu, kamu tetap milikku."
Aku tertawa. "Aku bahkan tidak paham tentang obsesimu padaku. Entah hubungan apa yang selama ini kita lakukan. Teman seks?"
Bian menggeleng.
"Bukankah aku sudah mengatakannya saat pertemuan pertama kita?" Bian tampak serius kali ini. "Kamu tidak ingat?" Dia tampak kesal.
Mataku mengerjap. "Entahlah."
"Aku mencintaimu."
"What? Are you serious? Kupikir itu cuma kata-kata rayuanmu agar gairah kita naik."
"That's true. I love you. I mean it. Aku tidak mengatakannya ke semua orang hanya karena seks."
Aku terpana menatap Bian. "Karena itu kamu sangat marah padaku saat aku meninggalkanmu?" Rasanya aku mulai mengerti kenapa pria di depanku sangat ingin balas dendam padaku. Walaupun, kurasa sikapnya sangat kekanak-kanakan dengan bersikap seperti pasangan pencemburu ke semua orang.
Sama sekali tidak terpikirkan untukku memiliki perasaan cinta pada orang lain. Aku bisa memaafkan dan memaklumi perbuatan Bian yang konyol itu, tapi beda cerita jika aku harus membalas perasaannya. Kuakui Bian tipeku, sebelum mengetahui sikap cemburunya yang diumbar kemana-mana. Aku pikir Bian sangat berlebihan dengan perasaannya padaku. Menakutkan awalnya, tapi setelah kuingat kembali peristiwa 'balas dendam' itu hingga saat ini dimana dia kembali menyatakan perasaannya, semua itu sangat lucu dan manis.
Aku tidak bisa menahan tawaku.
"Kenapa?" Bian tampak bingung.
"Kamu tampan, seksi, pintar dan kaya raya. Tapi, sikapmu sangat buruk saat sedang cemburu. That's cute." Aku tersenyum. "Masalahnya adalah aku tidak tahu apakah aku memiliki perasaan yang sama denganmu. Aku juga tidak bisa berjanji hanya berhubungan seks denganmu."
"Why? I can give you everything. Sex? Money? Time?"
"Tidak. Ini bukan masalah apa yang bisa kamu beri, tapi apa yang bisa aku beri. Tidak masalah jika yang kamu butuhkan adalah rekan seks, aku bisa melakukannya. But, a relationship? I'm sorry. Aku tidak bisa janji dengan itu."
Bian tersenyum. Dia tampak senang seakan-akan memenangkan sesuatu. "Aku akan membuatmu tergila-gila padaku." Dia mencium bibirku. "Karena kamu sudah mengatakannya dan sekarang aku membutuhkan seorang rekan seks."
Sebuah benda menyentuhku di bagian bawah tubuhku. Aku memutar bola mataku. "Kita baru saja membicarakan hal serius."
"Pembicaraan serius tanpa pakaian?"
"Keluargaku pasti sedang mencariku." Aku bangkit dari tidurku dan mengacuhkan Bian.
"Aku sudah memberi tahu kakakmu bahwa kamu bersamaku sejak tadi malam."
Yang benar saja! Aku berbalik dan menatap Bian tidak percaya. "Kenapa tidak sekalian saja kamu mengirimkan video seks kita?" Aku tidak percaya beberapa menit lalu kami sedang melakukan pembicaraan serius yang membuatku sedikit membuka pintu hatiku padanya.
"Aku yakin mereka akan senang mendapat menantu tampan, seksi, pintar, dan kaya raya."
"Dan juga gila." Aku berdiri, berjalan menuju kamar mandi tanpa sehelai kain di tubuhku. Aku merasa sangat bodoh sekali. Entah penjelasan apa yang harus kukatakan pada keluargaku, terutama Kak Sam.
Kubiarkan air dari shower menyiram tubuhku dari atas kepalaku. Aku perlu mendinginkan kepala sebelum membuat rencana untuk pulang. Tentu saja aku harus mampir ke toko pakaian terlebih dahulu. Tidak mungkin aku memakai pakaian tadi malam. Aku yakin kedua orang tuaku akan kena serangan jantung saat melihatnya.
Saat menikmati sentuhan air di tubuhku, Bian sudah berdiri di belakangku, memeluk pinggangku. Dia berbisik di telingaku. "Apa yang aku inginkan, akan aku dapatkan." Tangannya mulai meraba tubuhku dan bibirnya memilih tetap di tengkuk leherku.
Bian pasti tahu aku tidak bisa menolak sentuhannya. Apalagi setelah beberapa waktu aku terkungkung dengan pengaruh obat, gairah yang tertahan tiba-tiba saja meninggi. Aku tidak bisa menyembunyikan eranganku, walaupun tersamarkan dengan suara air yang mengalir.
"Lihatlah. Bagaimana bisa aku menahan nafsuku jika yang kulihat seperti ini." Rupanya Bian memutar tubuhku menghadap kaca pembatas. Di seberang kaca pembatas yang hampir dipenuhi uap air, sebuah cermin besar memantulkan bayangan kami berdua.
Tangan Bian menyentuh area sensitif. Setelah melakukan foreplay beberapa lama di area kewanitaanku dengan jarinya, dia memutar lagi tubuhku. Kali ini berhadapan dengannya. Bian memelukku, mencium bibirku seakan ini kali pertama melakukannya. Tanganku dibawanya melingkari lehernya, sama sekali tidak membiarkanku menyentuh benda tegang miliknya.
Bian mengangkat tubuhku dengan mudah. Kulingkarkan tungkai kakiku di tubuhnya saat penis miliknya masuk ke dalam tubuhku. Dia merapatkan tubuhku ke dinding sebelum mulai menggerakkan tubuh bagian bawahnya.
Erangan demi erangan keluar dari mulut kami berdua setelah Bian melepaskan ciumannya. Dia mempercepat gerakannya. "Bi--" panggilku tercekat di tengah eranganku. "Bian," teriakku sambil menjambak rambut basahnya saat kurasakan sensasi klimaks.
Aku merasa lelah. Tapi, milik Bian masih tegang di dalam tubuhku. Dia mematikan aliran air shower. Dengan posisi seperti sebelumnya, Bian membawaku keluar dari kamar mandi dan merebahkanku di ranjang.
"Ini belum berakhir." Leherku kembali menjadi sasaran Bian.
Kurasa Bian memberikan kiss mark ke seluruh tubuhku. Dia menelusuri tubuhku dengan bibirnya hingga di area pangkal paha. Lidahnya kini berada di bibir vaginaku. Aku terkejut saat Bian kembali melakukan foreplay. Dia ingin membangkitkan gairahku kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...