Aku terperanjat dengan sebuah suara dari arah luar kamar. Terdengar seperti suara benda jatuh. Tapi, kurasa benda jatuh itu cukup besar karena suara yang dihasilkan bisa membuatku terbangun dari tidurku.
Mataku mengerjap. Rasanya itu seperti mimpi. Aku masih bingung apakah suara itu berasal dari luar kamar atau hanya dari otakku yang memang sedang kelelahan saja.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar. Tidak ada yang berubah selain menghilangnya sosok Bian. Secarik kertas di atas nakas menarik perhatianku saat kuputuskan bangkit dari tidurku. Di atasnya adalah tulisan tangan Bian yang menuliskan bahwa dirinya perlu ke kantor sebentar untuk mengurus beberapa hal penting. Sebagai gantinya, Mas Indra, supir Kak Sam yang akan menjagaku sementara sebelum Kak Rio tiba.
Kakiku melangkah keluar kamar, ingin memastikan keberadaan Mas Indra. Mungkin saja suara benda jatuh sebelumnya juga karena pria itu. Sayangnya, tidak terlihat satu orang pun dalam jarak pandangku yang sedang berdiri di ambang pintu kamar.
"Mas Indra," panggilku, berharap sosok familiar itu akan muncul dan menawarkan bantuan seperti biasa. Tapi, tidak ada jawaban. Mungkin dia sedang di kamar mandi? "Mas? Mas Indra?" Aku mengetuk pintu kamar mandi yang terletak tidak jauh dari kamar. Masih tidak ada jawaban.
Hatiku gelisah. Aku tidak terbiasa dengan keadaan hening seperti ini sejak kembali tinggal di rumah orang tuaku. Setidaknya, selalu ada suara asisten rumah tangga yang sedang bersenandung ketika kedua kakakku pergi ke kantor.
Setelah proses pencarian seisi apartemen beberapa saat, aku mematung berdiri di ruang tengah menatap sosok pria terbaring di lantai. Sebuah pisau menancap di perutnya. Darah segar mengalir keluar menggenang di sekitarnya. Pria itu hampir tak sadarkan diri, tapi masih berusaha mengatakan sesuatu padaku. Aku tahu ada yang salah, tapi aku masih menunggu kalimat yang ingin diucapkan Mas Indra padaku.
"Cepat lari, Mbak." Suara Mas Indra terdengar sangat jelas walaupun dia mengatakannya dengan cukup lirih.
Refleksku tidak cukup cepat saat seseorang dari belakang membekapku. Aku berusaha melepaskan tangan itu. Meronta-ronta melepaskan diri dengan air mata yang mengalir di sudut mataku.
Ini buruk. Kesadaranku sedikit demi sedikit menghilang. Tubuhku pada akhirnya tidak bisa kukendalikan dan menyerah.
***
Pikiran sadarku berangsur-angsur pulih. Aku bisa membuka mataku kembali dan mencoba memahami situasi saat ini. Otakku dengan cepat memutar rekaman ingatan sebelum kesadaranku menghilang. Seperti ada dorongan adrenalin yang besar, aku segera bersikap waspada untuk mengantisipasi kemungkinan hal buruk lain.
Menyadari aku sedang berada di atas ranjang di dalam sebuah kamar dengan pencahayaan remang-remang, aku memutuskan untuk bangkit. Aku begitu terkejut saat menyadari sesosok pria sedang duduk di sebuah sofa yang terletak tidak jauh dari ranjang. Aku bisa melihatnya sedang menatapku. Tubuhnya yang tidak memakai atasan, memperlihatkan otot-otot yang cukup terbentuk, membuatku semakin terintimidasi. Aku segera mengambil posisi siaga, menarik tubuhku ke sisi ranjang yang berlawanan untuk memperlebar jarak di antara kami.
"Kamu sudah bangun." Ada sunggingan senyuman di wajah pria bernama Irvin itu. Dia berdiri dan berjalan mendekati ranjang.
Irvin tidak lebih besar dari pria-pria yang kukencani sebelumnya, tapi tubuhku memberikan reaksi berbeda. Tanganku gemetar. Aku mencoba menguatkan diriku agar dapat bangkit dan berlari ke arah pintu terdekat. Tapi sebelum itu terjadi, tangan Irvin sudah lebih dulu menarik kakiku.
Aku berteriak. Kakiku menendang-nendang tanpa arah. Tanganku juga bereaksi sama, memukul Irvin agar dia menjauh dariku. Kulakukan semua hal yang bisa menghalangi pria itu untuk melakukan sesuatu padaku. Aku bahkan sempat menggigit lengannya. Sayangnya, semua itu tidak membuahkan hasil sama sekali.
Tubuh Irvin kini berada di atasku. Kedua tanganku diikat dengan tali yang tampaknya sudah disiapkan sebelumnya. Tali itu terhubung dengan dipan ranjang, membuatku tidak bisa menggerakkan tanganku.
"Lepaskan!" teriakku.
Wajah Irvin berjarak cukup dekat dengan wajahku. Dia kembali tersenyum dan menatapku. "Kamu menjadi sangat cantik. Kamu jauh lebih cantik daripada di foto-foto itu."
Apa?
"Aku meminta seseorang untuk selalu mengirimkan foto-fotomu padaku. Melihatmu tumbuh semakin besar dan sangat cantik, aku semakin tidak sabar untuk menemuimu." Wajah Irvin berubah. Matanya terlihat sangat menakutkan. "Tapi, aku sangat marah pada semua pria-pria itu! Mereka mencurimu dariku!" Tiba-tiba saja dia memukul dipan ranjang.
Sangat takut, aku tidak berani menatap Irvin. Mungkin saja aku yang akan menjadi sasaran pukulan berikutnya.
"Aku juga dengar kamu menjalani perawatan." Nada suara Irvin turun. "Kamu pasti tidak bisa melupakanku." Dia berbisik di telingaku lalu tertawa kecil.
"Kenapa kamu melakukan ini padaku?" tanyaku dengan suara bergetar. "Kenapa aku!?" Aku merasakan air mataku mengalir.
Irvin kembali tertawa. "Tentu saja karena aku mencintaimu."
Aku terperangah mendengarnya. "Ini bukan cinta. Kamu cuma mencari pembenaran dari kelakuan bejatmu!"
Tawa Irvin menghilang. Dia tiba-tiba mencium bibirku dengan kasar. Tangannya menarik pakaian tidurku hingga robek. Pria itu bersikap liar dan kasar, mengabaikan teriakan makian keputusasaanku.
Irvin menyingkirkan semua kain di tubuhku dan berkata, "Setiap jengkal tubuhmu adalah milikku." Dia menurunkan celananya.
Tanpa aba-aba, sebuah benda panjang memasuki tubuhku. Tanpa pelumas, benda itu masuk semakin dalam secara kasar, meninggalkan rasa sakit luar biasa. Rasa sakit itu sangat familiar bagiku karena pria bejat itu melakukan hal yang sama saat merenggut keperawananku. Yang tidak kuperkirakan adalah rasa sakit itu berangsur-angsur menghilang. Kupikir tubuhku mulai beradaptasi walaupun hatiku masih terus menolaknya.
"Sepertinya, tubuhmu mengenali pemiliknya." Irvin tertawa menyambut kemenangannya.
Aku menggigit bibirku, tidak ingin suara apapun keluar dari mulutku yang akan membuat Irvin semakin menjadi. Mataku pun tertutup rapat, berharap semua ini akan segera berakhir.
Sayangnya harapanku sama sekali tidak terjadi. Irvin tanpa berhenti terus melakukan semua keinginannya. Dia bahkan mencekik leherku, membuatku terpaksa membuka mulut karena sulit bernapas. Mataku pun ikut membelalak karenanya.
"Lihat aku!" seru Irvin. Jelas sekali dia sengaja melakukan pencekikan itu padaku. "Ketakutan di matamulah yang membuatku semakin bergairah!"
Tidak ada makian yang bisa keluar dari mulutku. Aku hanya bisa mengerang. Air mataku terus mengalir di sudut mataku. Seperti yang dia katakan sebelumnya, itu membuat intensitas gerakannya semakin menggila seperti kerasukan setan.
Entah sudah keberapa kalinya Irvin membuatku hampir tidak bernapas. Setiap kali aku kehabisan napas, Irvin akan melepaskan tangannya di leherku, lalu akan kembali mencekikku beberapa saat kemudian. Seluruh tubuhku terasa sakit. Kepalaku semakin terasa berat karena asupan oksigen yang terus berkurang. Tidak kupungkiri, aku sempat berharap Tuhan mencabut nyawaku saat ini juga. Aku menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...