Bab 24

5K 145 3
                                    

Beberapa waktu lalu, tiba-tiba saja Mika mengajakku bertemu di sebuah restoran mewah di hotel bintang lima yang berlokasi di tengah kota. Itu sangat jarang terjadi, karena biasanya kami lebih banyak menghabiskan waktu di kafe yang sedang viral atau ke tempat hiburan malam. Tentu saja aku menanyakan alasan dibaliknya. Tapi, Mika hanya memberikan alasan klise yang membuatku semakin mencurigainya. Ada sesuatu yang terjadi.

Walaupun rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal, aku memutuskan untuk tetap menghadiri pertemuan itu. Aku harus tahu apa yang sedang dirahasiakan Mika. Dia adalah sahabatku. Bahkan jika dia mengajakku bertemu di tempat teraneh di dunia, aku akan tetap datang. Beruntung, Kak Sam mengijinkanku dengan beberapa syarat tambahan, seperti jam malam serta antar-jemput akan dilakukan oleh supir pribadi Kak Sam.

Karena tempat pertemuan kali ini cukup berbeda, aku memutuskan untuk memakai gaun yang lebih kasual. Lagipula, aku tidak ingin kakak-kakakku panik melihatku memakai gaun seksi tanpa bra. Bisa saja Kak Sam akan membatalkan ijin keluarnya karena hal itu.

Aku menatap diriku di cermin. Cukup lama aku tidak memakai gaun berwarna ungu gelap itu. Gaun itu memiliki potongan midi dengan belahan yang cukup tinggi hingga memperlihatkan pahaku. Kerah lehernya berbentuk persegi dengan lengan tangan yang menerawang. Kupikir, kakak-kakakku tidak akan keberatan melihatku memakai gaun ini.

"Kakak dengar harga saham perusahaan Mika turun drastis. Sepertinya mereka sedang mencari investor baru karena beberapa investor besarnya mundur. Kakak pikir dia membutuhkanmu untuk menghiburnya," kata Kak Sam saat aku berpamitan hendak pergi.

"Benarkah?" Apa karena itu Mika mengajakku makan malam?

"Ya. Kakak dengar dari beberapa teman kakak yang bekerja di sana."

"Baiklah. Aku pergi dulu, Kak." Aku berjalan keluar rumah dan masuk ke dalam mobil milik Kak Sam. Mas Indra, supir pribadi Kak Sam, sudah menungguku di balik kemudi. Mobil pun segera melaju keluar dari halaman rumah.

Perjalanan memakan waktu cukup lama. Terjadi kemacetan di beberapa titik yang berdekatan dengan pusat keramaian. Untungnya, aku sudah memperkirakan hal ini sebelumnya dan berangkat lebih awal. Aku tidak ingin Mika menungguku.

"Pak Samuel menyuruh saya menunggu Mbak Ellen di tempat yang tidak terlalu jauh. Jadi, saya akan menunggu di lobi setelah memarkir mobil," kata Mas Indra. Umur Mas Indra tidak terpaut jauh denganku. Dia hanya lebih tua beberapa tahun. Jadi, alih-alih memanggilku dengan panggilan 'Ibu', aku selalu menyuruhnya untuk memanggilku dengan panggilan 'Mbak'. Lagi pula, aku bukanlah atasannya. Aku hanya adik perempuan bosnya.

"Ok." Aku keluar dari mobil dan berjalan memasuki restoran, tempat pertemuanku dengan Mika.

Seorang pelayan berseragam rapi menyambutku dengan ramah. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan senyuman yang tersungging di wajahnya.

"Reservasi atas nama Mikaila Yosephine."

"Baik. Mari saya antar." Pelayan itu berjalan mendahuluiku memasuki deretan meja-meja yang tersusun rapi. Sebagian dari meja-meja itu sudah terisi dengan beberapa orang yang sedang menikmati makan malam mereka. Kami pun berhenti di sebuah meja di dekat jendela besar menghadap taman belakang.

Aku cukup terkejut dengan penataan meja yang tidak wajar. Berbeda dengan meja lain, hanya meja ini yang dihiasi lilin cukup banyak. Tidak mungkin ini hanya sekedar makan malam biasa. Sebenarnya, apa yang direncanakan Mika?

Aku duduk menunggu Mika. Feelingku mengatakan ada hal lain yang akan terjadi di sini. Jika tebakanku benar, bukan Mika yang akan muncul dan makan malam bersamaku.

Benar saja. Beberapa saat kemudian, muncul sosok pria yang tidak asing datang dan duduk di kursi di seberangku. Dia adalah Adam Margo.

"Sedang apa kamu di sini?" tanyaku tanpa basa basi.

Adam tersenyum menatapku. "Bukankah seharusnya kita saling menyapa terlebih dahulu?"

"Dimana Mika?"

"Dia tidak akan datang. Aku yang memintanya untuk menyiapkan makan malam bersamamu."

Aku berdiri dari dudukku dan bersiap untuk melangkah pergi.

"Apa kamu tahu bahwa perusahaan Mika sedang mencari investor baru?" Pertanyaan itu menggangguku dan membuatku terdiam di tempat. "Aku akan berinvestasi di perusahaannya dengan syarat dia akan membantuku mendekatimu. Jadi, pikirkan lagi apakah kamu akan tetap pergi atau duduk manis menikmati makan malam ini bersamaku."

Kutatap pria di hadapanku itu. Dia tampak sangat menikmati drama yang baru dibuatnya ini. Sebenarnya, aku bisa saja meminta Kak Sam bahkan Bian untuk menjadi investor di perusahaan Mika. Hanya saja, aku ingin menghargai usaha Mika kali ini. Aku yakin saat ini dia kebingungan dan tidak dapat berpikir rasional hingga mengorbankanku seperti ini. Padahal, jika dia menceritakan permasalahannya padaku, semuanya akan berakhir dengan cepat. Aku akan memarahinya setelah semua ini selesai.

Aku memilih untuk duduk kembali. Mataku masih terpaku pada Adam yang kali ini tersenyum cukup lebar. "Kenapa kamu pikir bisa memanfaatkan Mika?"

"Dia yang duluan memanfaatkanku. Jadi, tidak ada salahnya aku melakukannya juga padanya. Kamu pikir kenapa dia tidak meminta bantuan Fabian langsung?" Pria itu meletakkan kedua tangannya di atas meja. Dia memangku kepalanya dengan salah satu tangannya, membalas tatapanku.

Aku yakin ada alasan kenapa pria itu tampak sangat percaya diri. Dia bersikap seakan-akan telah memenangkan pertarungannya dengan Bian. Tapi, aku hanya diam. Kesal berlebihan pada pria semacam Adam hanya akan membuang energiku sia-sia. Cukup diikuti alurnya dan ditanggapi biasa saja.

"Pasti karena Bayu, kan?" Mika memang sedang jatuh cinta dengan teman dekat Adam dan dia memang lemah jika menghadapi pria. Kupastikan ini semua tidak hanya tentang investasi semata. "Kamu pasti tahu bahwa Mika tidak bisa menolak Bayu."

Pria itu mengangguk sambil tertawa kecil. "Kamu harus melihat bagaimana bucinnya dia pada Bayu."

Seorang pelayan menghampiri meja dan menyiapkan makanan pembuka di hadapan kami. Semangkuk sup hangat berwarna jingga dengan garnish di atasnya disajikan di atas meja. Makanan itu terlihat cukup menggugah selera, hanya saja moodku sedang tidak begitu baik saat ini. Tapi, aku harus tetap melahapnya untuk menghargai sang koki yang telah susah payah membuatnya.

"Aku suka wanita yang makan dengan lahap," kata Adam saat melihatku menghabiskan sup di depanku. "Kupikir karena tubuhmu kecil, kamu seperti lainnya yang selalu enggan makan karena alasan diet."

"Kamu pikir kenapa para wanita diet?" tanyaku. "Mereka diet bukan karena suka, tapi karena semua pria sepertimu yang selalu melihat fisik. Aku yakin jika berat badanku di atas 60 kg, kamu tidak akan melirikku sedikitpun."

Adam kembali tertawa. Sepertinya perdebatan kami adalah obrolan seru baginya. "Tentu saja. Di pertemuan pertama, tidak hanya pria, wanita pasti melihat pria secara fisik. Apalagi jika isi kantongnya tebal. Bukan begitu? Hanya orang-orang munafik yang tidak mengakui semua itu. Kamu juga pasti mendekati Fabian dengan alasan yang sama."

"Lalu, apa masalahnya? Itu urusanku dengan Bian."

"Itu urusanku juga. Karena aku akan membuatmu berpaling darinya dan menjadi milikku."

Sex Games with A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang