Mataku tidak bisa berhenti menatap kilau cincin berlian di jari manisku. Aku yang tidak terlalu tertarik dengan aksesoris, tidak tahu akan langsung jatuh hati dengan benda kecil itu. Mungkin karena tahu harganya sangat mahal? Aku bisa memperkirakan uang yang dihabiskan Bian untuk membeli cincin berlian satu ini, karena aku pernah melihat Mika memamerkan cincin dengan merk yang sama beberapa bulan lalu.
"Aku senang kamu menyukainya. Aku akan membelikan yang lebih besar nanti." Bian membiarkanku bersandar padanya.
"Apa kamu membelinya karena aku kemarin melamarmu?"
"Tidak. Aku sudah membelinya cukup lama. Karena kamu tidak ingin terikat hubungan serius denganku, jadi aku menyimpannya."
Aku menatap Bian. "Kenapa? Padahal, mungkin saja aku akan mencampakkanmu. Ya, walaupun aku sudah pernah melakukannya satu kali dan tidak berhasil."
"Sudah kupastikan kamu tidak akan bisa melakukannya untuk kedua kali."
Kepercayaan dirinya yang tinggi itu kadang menyebalkan. "Ini hanya permisalan saja. Mungkin saja kan aku memilih bersama pria lain. Kita kan tidak pernah tahu," kataku.
"Siapa?"
"Entahlah, Theo mungkin." Aku berpura-pura tidak mengetahui raut wajah Bian yang mulai sedikit masam. Pria itu tampak tidak senang dengan arah pembicaraan ini. Tapi, aku ingin sedikit menggodanya.
"Kamu menyukainya?"
"Sedikit." Tentu saja aku tidak akan membiarkan orang yang tidak kusukai menciumku, Adam Margo contohnya. Tapi, aku tidak akan mengatakannya pada Bian tentang hal itu. Mungkin saja dia akan mengamuk dan mencari Theo yang sudah tenang dengan kehidupan barunya di kantor cabang.
"But, in the end, you chose me. Jadi, aku tidak akan berkomentar tentang hal itu."
Bian benar. Di sinilah aku sekarang, bergelayut manja di atas ranjang bersamanya. Kami bahkan cukup lama tidak berhubungan seks, tapi kami tetap nyaman bersama. Terkadang aku lupa bahwa dia adalah sosok yang sama dengan pria kekanakan egois penuh emosi beberapa waktu lalu.
Aku menelusuri wajah Bian dengan jariku. Kusentuh alisnya, hidungnya, pipinya, lalu ke dagunya yang sudah tercukur rapi. "Kemana perginya Bian yang suka marah-marah?"
"Dia akan kembali jika kamu nakal."
Tanganku mencubit pipi Bian dengan keras. Aku sedikit kesal setelah mengingat semua perbuatannya dulu padaku. "Ih, aku gemas sekali dengan pria ini!" Walaupun begitu, raut wajah Bian sama sekali tidak berubah. Dia tampak santai dengan semua yang kulakukan dengan wajah tampannya.
"Aku ingin menciummu," kata Bian setelah menatapku cukup lama.
"Biasanya kamu langsung melakukannya." Aku tahu Bian masih sangat berhati-hati untuk menyentuhku. "Kemarin kita juga berciuman." Aku, sih, yang mulai duluan agar boleh makan nasi padang.
Ada kesedihan di mata Bian saat menatapku. "Aku takut menyakitimu."
"Sudah kubilang, aku baik-baik saja. Aku bahkan merasa jauh lebih baik daripada sebelum penculikan itu. Jadi, kamu boleh menciumku kapanpun kamu menginginkannya." Setelah penculikan itu, trauma memang tidak bisa dihindarkan. Aku beberapa kali terkena serangan panik ringan saat pria asing menyentuhku, termasuk para dokter. Pihak keluargaku pun akhirnya meminta secara khusus agar hanya dokter dan perawat wanita yang mengurusku. Tapi, aku merasa sangat aman bersama Bian.
Tangan Bian menyentuh wajahku. Aku baru menyadari tangannya cukup besar hampir seukuran wajahku. Hangat dan canggung. Dia mencium bibirku dengan lembut. Itu bukan ciuman nafsu seperti yang biasanya dia berikan padaku. Ciuman itu seperti pengungkapan perasaannya saat ini. "I love you," kata Bian pada akhirnya. Dia menarik tubuhnya setelah cukup lama bibir kami bersentuhan, seperti sedang menahan diri.
Jujur saja, aku merasa ciuman ringan itu tidaklah cukup. Tanpa sadar, aku mendorong tubuh Bian dan merangkak di atasnya.
Bian terkejut. "Apa yang--"
"Ssstt!" Aku menutup mulut Bian dengan jari telunjukku. "Jangan berisik kalau nggak mau ketahuan kakakku." Tanganku mulai melepaskan kancing kemeja kasual hitam Bian satu persatu.
"Bukan itu." Bian menghentikan tanganku sebelum melepaskan kancing terakhir.
"Lalu apa?"
"Luka-lukamu--" Bian mengusap bekas memar yang masih belum memudar di leherku.
"Sudah tidak terasa sakit." Aku terdiam. Walaupun aku masih mengingat rasa sakit ketika Irvin mencekikku, anehnya aku merasa sedih dengan hal lain, overthinking. "Apa penampilanku seburuk itu?" Tanpa kusadari, aku mulai sensitif dengan hal-hal tidak jelas.
Aku hendak menarik tubuhku dan mundur untuk menjauh. Tapi, Bian mencegahnya. Kali ini pria itu yang mendorongku hingga kami kini bertukar posisi. "Penampilanmu sama sekali tidak buruk. Kamu selalu cantik bagiku. Aku--" Bian tercekat. Matanya menjadi berkaca-kaca. "Aku hanya takut menyakitimu."
"Bi, kamu bukan dia. Aku tahu kamu tidak akan menyakitiku."
Bian masih tampak ragu beberapa saat sebelum dengan pelan tangannya membuka kancing pertama piyamaku. Dia berhenti. Matanya tertuju pada bekas luka lain di sekitar payudaraku. Tangannya mengusap luka itu dengan lembut, lalu dia mengecupnya.
Setiap kancing yang dilepas, memperlihatkan satu persatu luka gigitan di seluruh tubuhku. Setiap itu pula Bian akan melakukan hal yang sama, yaitu mengusapnya lalu mengecupnya. Tapi, dia kembali ragu sebelum menurunkan celanaku. "Kamu yakin? Bukankah vaginamu juga lecet parah?"
Aku mengangguk. "Aku sudah baik-baik saja."
Kuangkat pinggulku saat Bian menarik turun celanaku. Dia sangat terkejut dengan bekas luka di sekitar pahaku. "Bagaimana kamu bisa menahan semua luka ini?"
"Aku tidak tahu." Saat itu aku terlalu fokus berjuang menghadapi cekikan tanpa henti. Aku tidak sadar dengan luka-luka gigitan di sekujur tubuhku. "Tubuhku mati rasa saat itu karena kesulitan bernapas."
Bian tidak pernah menanyakan luka-lukaku secara detail sebelumnya. Dia hanya mendengarkan penjelasan dari dokter. "Katakan jika terasa sakit, ok?"
"Ok."
Wajah Bian turun ke antara pahaku. Awalnya, bibirnya menelusuri area sekitar paha. Dia melakukannya dengan sangat hati-hati hingga ke pangkalnya. Giliran lidahnya yang kini bermain-main di klitorisku. Aku tersentak, bukan karena rasa sakit, tapi area itu terasa sangat sensitif hingga membuatku tiba-tiba orgasme singkat.
Cukup memalukan sebenarnya, karena aku tidak pernah orgasme secepat itu. Untung saja tidak ada komentar apapun dari Bian. Dia bahkan menjilat cairan yang keluar dari tubuhku.
"Aku akan memasukkannya," kata Bian, memberikan peringatan. "Kita akan berhenti jika terasa sakit." Walaupun sedari tadi pria itu gelisah dan selalu ragu, benda panjang miliknya bahkan tanpa malu menegang dengan cepat.
"Ya."
Bian mulai memosisikan dirinya. Kami saling bertatapan saat kepala penisnya mulai memasuki vaginaku. "Sakit?" Pertanyaan itu selalu keluar setiap beberapa detik hingga benda itu masuk sepenuhnya di dalam tubuhku.
"Berhentilah bertanya, Bi. Aku tidak apa-apa. Aku sedang menikmatinya. Jadi, nikmatilah."
"Aku akan menikmatinya." Bian berbisik dan mengecup leherku. Pinggulnya bergerak, membuat penis miliknya bergerak naik turun. Dia bergerak dengan cukup lambat, menepati janjinya untuk berusaha tidak menyakitiku.
Rasanya menyenangkan. Hormon endorfinku sepertinya meningkat. Aku tidak bisa berhenti mengecup bibir Bian karena merasa sangat bahagia. "I love you, Fabian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...