Bab 3

87.2K 1.6K 19
                                    

File yang harus kukerjakan sudah menumpuk di atas mejaku. Aku benar-benar benci saat para karyawan itu sengaja menumpukkan pekerjaanku di akhir bulan. Aku yakin sebenarnya bisa saja mereka memberikan berkas-berkas ini di pertengahan bulan.

Aku mendengus. Kuperbaiki letak kacamataku yang sedikit turun dan kembali memeriksa berkas di depanku.

"Bu Ellen." Suara ketukan pintu mengalihkanku. Tampak seorang pria berperawakan tinggi dan berkulit putih muncul. "Kita semua dipanggil ke ruangan meeting."

"Kenapa?"

"Entahlah. Saya juga tidak tahu. Lebih baik kita segera ke sana." Pria bernama Robi itu pun keluar dari ruanganku.

Aku menutup berkas di depanku dengan sedikit kesal. Sepertinya semua karyawan di sini sedang senggang kecuali aku. Kenapa selalu saja ada yang menggangguku menyelesaikan pekerjaan?

Aku melewati lorong hingga menemukan sebuah pintu besar di ujungnya. Di ruangan di balik pintu itu, sudah berkumpul begitu banyak orang dari berbagai divisi. Ruangan rapat ini sama sekali tidak di desain sebagai aula. Tidak semua orang mendapatkan kursi. Sebagian besar karyawan lebih memilih berdiri di deretan belakang.

"Ini adalah anak saya." Samar-samar aku bisa mendengar suara sang pendiri perusahaan, suara yang sangat familiar bagi para karyawannya. Aku tidak dapat melihat dengan jelas 'anak' di tengah kerumunan seperti ini. Sayangnya, aku hanya menggunakan flat shoes, membuatku kesulitan dengan tinggi tubuhku yang standar.

Saat aku menemukan celah untuk melihat keadaan di depan, aku menemukan tatapan 'anak' itu terpaku padaku secara tidak sengaja. Aku yang terkejut dengan sosoknya pun hanya dapat mematung, berharap dia sama sekali tidak menyadari bahwa dia mengenalku.

Refleks, aku mundur, berjalan keluar dari ruang meeting. Aku setengah berlari di lorong hingga ke ruang kerjaku. Entah sadar atau tidak, aku mengunci pintu kaca dan menutup semua tirai di ruanganku.

Hal yang kupikirkan saat ini adalah menekan nomor telepon Mika dan segera mendengar suaranya.

"Tumben nelpon jam kerja begini?" tanya suara di ujung telepon.

"Mika, kenapa kamu nggak ngasih tau kalau Bian itu anak Bos tempat aku kerja?" Tanpa pikir panjang, aku masuk ke inti percakapan. Aku tidak bisa bertele-tele, karena kemungkinan besar ini akan memengaruhi karirku.

Mika terdengar menjerit. "Ya ampun! Aku lupa kalau dia anaknya Om Irwan! Dia ke kantor?"

"Bukan ke kantor lagi, Mika. Dia lihat aku!" Aku berjalan mondar mandir mengelilingi ruangan, berusaha menenangkan diri. "Gimana nih? Aku ninggalin dia malam itu. Duh! Pasti nanti satu kantor bakalan tahu aslinya aku!"

"Kita berpikir positif aja," kata Mika. "Semoga dia nggak sadar kalau itu kamu. Penampilanmu kan beda."

"Ya, dia pasti tahu, Mika. Namaku pasti sudah sangat jelas tertera di arsip karyawan. Gimana sih?"

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Aku terkejut. Cepat-cepat, aku mematikan panggilan dan membenahi penampilanku. Jika Bian yang muncul di balik pintu itu, aku harus bersikap seakan-akan tidak mengenalnya.

Sangat hati-hati aku membuka pintu. Jantungku berdebar keras dan merasa sangat lega menemukan Robi berdiri di baliknya. Pria itu menatapku aneh dan berdehem kecil. "Bu Ellen disuruh ke ruangan Pak Fabian."

Apa?

"Kenapa?" tanyaku berpura-pura tenang.

"Saya kurang tahu, Bu. Saya cuma disuruh menyampaikan saja." Robi pun berjalan berlalu dari depan pintu ruanganku.

Tidak salah lagi! Pasti dia mengenaliku.

Aku menutup pintu. Aku berjalan berputar-putar di sekitar meja kerjaku, berharap mendapat secercah ide agar terbebas dari keadaan ini. Mungkin aku harus mencari cara untuk bisa mengulur waktu dan tidak bertemu dengan Bian. Haruskah aku ijin pulang saja hari ini?

Beberapa ide terlintas di pikiranku. Sebagian besar sangat konyol dan sebagian lagi akan berdampak negatif padaku. Aku tidak mungkin mengorbankan pekerjaanku hanya karena aku tidur dengan anak Bos.

Lagi-lagi, pintu ruanganku diketuk seseorang. Aku terperanjat. Bisa saja aku langsung kabur melalui jendela, walaupun aku tahu di sini adalah lantai 6. Tapi, itu ide yang paling konyol yang pernah kupikirkan. Lebih baik aku jadi pengangguran dari pada harus mati konyol.

Suara ketukan di pintu menyadarkan lamunanku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku sama sekali tidak ingin mengetahui siapa yang kini berdiri di balik pintu. "Siapa?" tanyaku dengan gagap.

Aku menunggu beberapa lama dan tidak ada jawaban. Lalu, knop pintu pun bergerak membuka. Seorang bertubuh tinggi dan tegap muncul. Tubuhku membeku saat pria itu menatapku. Dia tersenyum dan tanpa sungkan masuk ke dalam ruanganku.

Bian menutup pintu di belakangnya, lalu melihat ke sekeliling ruanganku. Setelah cukup puas, dia pun menghempaskan tubuhnya ke sofa panjang dan kembali menatapku.

"Jadi, apakah seisi kantor hanya tahu tentang 'Bu Ellen'? Bukan Ratu Ellena Prayogo? Sepertinya tidak ada yang mengetahui tubuh seksimu di sini. Tanpa riasan dan baju longgar seperti itu tidak akan menutupi kecantikanmu."

"Aku di sini bekerja, bukan untuk berkencan. Jadi, aku merasa tidak perlu untuk berpenampilan berlebihan di sini."

Bian tertawa kecil, tawanya sama persis dengan yang dilakukannya saat bersamaku tadi malam. Dia berdiri dan berjalan mendekatiku. "Aku tidak terlalu mempermasalahkan bagaimana penampilanmu. Toh, ternyata tanpa riasan apa pun dan tampilan yang sangat biasa, kecantikanmu masih sangat terlihat. Sejujurnya, hanya satu hal yang tidak kusukai." Wajah Bian hanya berjarak beberapa centimeter dari wajahku. "Kamu mencampakkanku."

Refleks, kakiku berjalan mundur dan terhenti tepat di depan meja kerjaku. Serangan panik melandaku saat Bian meletakkan kedua tangannya di pinggulku.

"Jujur, aku tidak pernah dipermainkan wanita seperti ini. Harga diriku sangat tinggi, Nona Ellen." Jari-jari Bian melepaskan kacamataku. Dia menatap lekat-lekat di mataku.

"Ini kantor. Kumohon jangan melakukan sesuatu yang akan lebih menjatuhkan harga dirimu."

Bian tersenyum. Sebuah senyuman licik di wajahnya membuatku takut. Dia melumat bibirku. Kucoba untuk mendorong tubuh tinggi Bian, tapi tidak berhasil. Itu hanya semakin membuatnya lebih berani melecehkanku. "Aku punya videonya," bisiknya di telingaku.

"Kamu bohong." Aku sama sekali tidak mempercayainya.

Dia pun mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam kantong jasnya. Dengan lincah, jari-jari tangannya menekan layar touchscreen di ponselnya. Sebuah video menampakkan aku yang sedang menikmati permainan jari di putingku hampir membuatku histeris.

"Tidak ada untungnya kamu menyimpan video itu. Tidak ada hal yang bisa kuberikan padamu, walaupun kamu memerasku seperti ini."

"Tentu saja ada. Selalu ada harga untuk sebuah jasa. Aku tidak akan menyebarkannya jika kamu mengikuti keinginanku. Aku ingin kamu jadi budakku."

Bian berjalan menjauh.

"Aku akan mengirimkan sebuah paket setiap pagi ke apartemenmu. Kamu harus menjalankan semua perintah yang ditulis di dalam paket itu. Pekerjaanmu ada di tanganku. Dan kuperingatkan, selalu ada hukuman di setiap kesalahan. Semoga beruntung, Cantik."

Bian membuka pintu ruanganku dan berlalu begitu saja.

Sex Games with A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang