Aku tidak tahu jika ide untuk pergi liburan bersama Theo sangat menyenangkan. Theo memperlakukanku dengan sangat baik dan bersikap sangat manis padaku. Sesaat, aku lupa dengan kesulitan-kesulitanku selama ini.
Kami berdua saling menyipratkan air dan tertawa. Bahkan kami bermain kejar-kejaran seperti anak kecil. Hingga sebuah ombak besar tiba-tiba datang menerjang kami. Theo dengan sigap berdiri memunggungi ombak dan melindungiku. Dia memelukku di dadanya.
Betapa dekatnya suara jantung Theo di telingaku membuatku terdiam. Jantungnya berdetak sangat cepat.
Aku mendongakkan kepalaku dan menemukan jarak wajahku dengan wajah Theo sangat dekat. Wajahnya basah dengan air yang terus menetes dari rambutnya. Dia sungguh terlihat sangat menggairahkan saat ini. Bibirnya seperti menarikku untuk mengecupnya.
Sesaat setelah pikiran kotorku berbicara, Theo bergerak terlebih dulu mengecup bibirku. Tidak begitu lama, dia menarik kepalanya, membaca reaksiku. Tapi, aku masih terdiam menatapnya.
Pikiranku dipenuhi dengan mimpi tentang Theo sebelumnya, membuat tubuhku bergerak sendiri. Kali ini, aku yang mengecup bibirnya. Bibir kami pun beradu cukup lama, membuat kami berdua kehabisan napas.
Sebuah ombak besar datang kembali menerjang, membuatku tersadar dengan apa yang sudah kulakukan. Ini tidak benar. Aku berjalan menjauh dari Theo. Aku pergi meninggalkannya ke arah bibir pantai dan terus berjalan walaupun Theo terus memanggilku.
Apa yang telah kulakukan? Aku berhenti saat diriku berjalan cukup jauh meninggalkan Theo. Gara-gara mimpi sialan itu!
Seseorang diam-diam berdiri di belakangku. "Ellen." Suaranya sangat familiar dan membuatku refleks berpaling menatapnya.
"Bian--" Dia tiba-tiba mengecup bibirku dengan serakah. Bian memeluk pinggangku saat tubuhku hampir jatuh menerima serangan ciuman itu. "Hentikan. Banyak orang yang melihat kita." Aku mencoba mendorong tubuh Bian saat bibirnya mulai menelusuri leherku.
"Tidak ada orang di sini," kata Bian di sela-sela ciumannya.
Aku melihat sekitarku. Memang tidak ada satupun orang di sini. Ternyata aku berjalan sangat jauh meninggalkan Theo. "Tetap saja ini tempat umum."
Bian menarik dirinya dan menatapku. "Kamu mencium Theo di tempat umum."
Mataku mengerjap. Kucoba membaca suasana hati pria di depanku, tapi gagal. Biasanya, aku bisa tahu jika Bian sedang marah. Tidak kali ini. Dia hanya memasang wajah datar. "Kamu marah?" Aku benar-benar harus memeriksa suasana hatinya terlebih dahulu.
"Ya. Aku marah." Bian tiba-tiba membopongku dan berjalan lebih jauh dari keramaian. Tampak banyak bebatuan besar di sekitar pesisir yang kami tuju.
"Apa yang mau kamu lakukan?" tanyaku saat Bian menurunkanku di antara dua batu yang sangat besar, seakan dia sengaja menyembunyikanku dari manusia lain.
"Aku akan melakukan ini." Bian kembali mengecup bibirku, sedangkan tangannya mulai menurunkan lengan baju renangku hingga payudaraku menyembul keluar.
"Bagaimana jika ada yang melihat!?" seruku panik saat Bian mengakhiri ciumannya dan fokus melepaskan baju renangku. Kini aku berdiri di hadapannya tanpa memakai apapun.
Bian juga melepas pakaiannya dan kami berdua sama-sama bugil. "Bukankah ini terasa sangat menegangkan?" Dia mendekatiku dan meremas kedua payudaraku. "Sensasinya luar biasa kan? Coba pikirkan bagaimana jika orang melihat kita seperti ini?"
Tubuhku seperti tersetrum saat jari dingin Bian menyentuh putingku. Tanpa sadar, napasku menjadi lebih berat. "Apa kamu melakukan ini karena marah?" tanyaku sedikit tergagap karena tangan Bian lainnya memilih untuk memainkan klitorisku.
"Mungkin sekarang kamu pikir ini adalah hukuman, tapi lihatlah bagaimana tubuhmu merespon jari-jariku." Bian berbisik di telingaku. Suaranya menghanyutkanku. Kini, bibir Bian menyentuh telingaku membuatku harus melingkarkan tanganku di lehernya--karena merasakan kakiku yang mulai lemas.
Bian meletakkan tubuhku di atas pasir pantai dengan lembut. Kami saling bertatapan sesaat sambil mengatur napas. Aku jatuh hati pada mata biru itu berkali-kali. Kusentuh wajahnya yang tampak seperti patung pahatan.
"Kamu hari ini sangat cantik."
"Ya. Aku mendengarnya beberapa kali hari ini."
"Dari Theo?"
Aku mengangguk.
"Sayang sekali dia tidak bisa melihat kecantikanmu saat tanpa pakaian." Bian menelusuri payudaraku dengan bibirnya. Napasnya meninggalkan jejak di tubuhku setiap kali dia melakukannya. Sedangkan, jari-jarinya merayu kemaluanku di bawah sana, membuat pinggulku mengikutinya.
Aku menjerit saat Bian memutuskan untuk menyentuh klitorisku dengan lidahnya. Jari-jarinya yang kini di dalam vaginaku, bergerak-gerak dan menemukan G-spotku. Setelah beberapa kali melakukan seks dengannya, tampaknya Bian mulai mencari area-area sensitifku yang baru.
Jarinya yang terus merangsangku, membuat sebuah sensasi baru di seluruh tubuhku. Tiba-tiba, semprotan cairan keluar bersamaan dengan klimaks yang kudapat. Aku tidak menyangka Bian akan membuatku squirting di tempat terbuka seperti ini.
Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu selama ini. Tampaknya, Bian juga terkejut dengan eksperimen barunya. "Itu sangat seksi." Dia mencium bibirku.
Kurasakan milik Bian sudah tegang dan mulai masuk ke dalam vaginaku. Dia menggoyangkan pinggulnya, membuat miliknya masuk semakin dalam. Refleks, tubuhku pun ikut bergerak.
Bibir Bian turun ke leherku, sedangkan tangannya bermain di payudaraku. Aku tidak peduli lagi jika ada orang lain yang mendengar eranganku. Entah kenapa saat memikirkannya, tubuhku bereaksi lebih dari biasanya.
Bian mempercepat gerakan pinggulnya dan menyemprotkan cairan miliknya di dalam tubuhku. Napasku tersengal-sengal dan merasa sangat lelah sekarang.
"Aku tidak bawa obat kontrasepsiku," kataku.
"Aku akan membelikannya di apotek." Bian kembali menelusuri tubuhku yang berkeringat. Tangannya yang masih berada di payudaraku, memainkan putingnya. Aku merasakan benda kecil itu menegang di sela jari-jarinya. "Kenapa kamu tidak membawanya? Bagaimana jika kamu dan Theo melakukan ini?"
Bian kembali memasukkan miliknya ke dalam tubuhku. Tidak seperti terakhir kali, benda itu dengan mulus masuk hingga kurasakan menyentuh dinding rahimku. Aku takjub betapa cepatnya benda itu kembali tegang setelah mengeluarkan cairan yang banyak di dalam tubuhku beberapa saat yang lalu.
Refleks, aku menjerit karena sensasi menyenangkan itu. "Aku tidak akan melakukan ini dengannya." Napasku tercekat saat Bian dengan cepat bergerak di atas tubuhku. "Bi!" Aku merasakan sesuatu di dalam tubuhku kembali datang.
Tampaknya Bian menyadarinya dan bergerak semakin cepat. Beberapa saat kemudian, Bian kembali mengisi vaginaku dengan cairannya bersamaan dengan klimaks yang kudapat.
Sekarang, aku bisa merasakan pasir-pasir yang menempel di tubuhku. Setelah berpakaian, Bian membersihkan pasir-pasir itu dan membantuku memakai kembali baju renangku. Bian membopongku. "Aku akan membawamu kembali ke hotel."
Kulingkarkan lenganku di leher Bian. Aku merasa sangat nyaman dengan aroma khasnya yang menguar dari tubuhnya. "Aku tidak ingin Theo melihat kita seperti ini," kataku. "Aku merusak liburannya."
"Lalu, bagaimana denganku?"
"Kamu itu menyebalkan, egois, dan sangat kekanakan." Mungkin aku harus menambahkan kata 'brengsek' di belakangnya. "Tapi, kamu adalah rekan seksku yang tampan." Entah apa yang kubicarakan seperti orang mabuk. "Jadi, jangan lupa membelikanku obat kontrasepsi. Lalu, kembalilah ke kantor."
Kusandarkan kepalaku di bahunya dan memejamkan mata. Aku merasa sangat mengantuk. Akan kubiarkan Bian yang mengurus sisanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...