Satu persatu kabar baik berdatangan. Aku dipersilahkan untuk menjalani rawat jalan setelah tiga hari opname. Disusul dengan kabar bahwa Mas Indra akhirnya sadar setelah empat hari pasca operasi. Kemudian, pihak kepolisian mengumumkan bahwa kasus pembunuhan dan anak hilang dengan tersangka Irvin dibuka kembali.
Selain kasus penculikan dan penganiayaan dengan aku sebagai korban baru-baru ini, jaksa penuntut rupanya berhasil mendapatkan bukti baru. Jaksa menemukan bekas pakaian para korban di salah satu koper yang rencananya akan dibawa kabur bersamaan dengan penculikanku. Sayangnya, walaupun operasi sebelumnya berhasil, sampai saat ini kondisi Irvin masih kritis. Hal ini membuat proses hukum menjadi tertunda.
Sejujurnya, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku masih menunggu keadilan, di sisi lain aku berharap tidak ingin bertemu dengan Irvin untuk selamanya. Hidupku sudah sangat kacau dibuatnya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Kak Sam yang tampaknya sudah cukup lama berdiri di ambang pintu kamarku yang terbuka.
Aku mengalihkan pandangan dari layar ponsel di tanganku. "Kenapa sudah pulang?" Matahari masih bersinar sangat terang di luar jendela. Biasanya, kakak sulungku itu akan pulang ketika bulan sudah tampak di langit.
"Kakak akan mengantar Ayah dan Ibu kembali ke desa. Jadi, Kakak minta Fabian untuk menjagamu." Kak Sam menepuk lembut kepalaku. "Rio akan segera pulang setelah selesai rapat bersama klien nanti malam. Kakak juga akan naik penerbangan tercepat besok pagi. Jadi, jangan takut, ok?"
Walaupun penculikan sudah berakhir dan Irvin pun masih berada di kondisi kritis, kuakui diriku masih cukup takut sendirian. Meninggalnya dua orang penjaga serta Mas Indra yang sempat berada di ambang kematian membuatku trauma. Akhirnya, Kak Sam pun mengatur jadwal agar selalu ada seseorang yang menemaniku.
"Oh, ya!" Kak Sam berbalik setelah kakinya berjalan beberapa langkah meninggalkanku. "Kamu harus menjelaskan pada Kakak tentang hubunganmu dengan Adam Margo setelah Kakak pulang."
Aku terkejut. Mataku terbuka lebar menatap Kak Sam meninggalkan kamarku. Entah informasi apa yang Kak Sam dapat tentang Adam Margo. Mungkinkah Adam melakukan sesuatu?
Ayah dan Ibu memelukku erat sebelum berangkat. Aku terus meyakinkan mereka bahwa kondisiku sudah jauh lebih baik agar kedua orang tuaku itu tidak terus menerus khawatir. Bahkan Bian yang baru saja tiba di rumah, ikut menenangkan mereka dan berjanji akan menjagaku dengan baik. Mereka tampak sedikit lebih lega setelahnya, walaupun mata Ibu masih berkaca-kaca.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanyaku setelah Bian kembali dari mengantar kepergian Kak Sam dan kedua orang tuaku. Kantung di bawah matanya terlihat cukup hitam hari ini.
"Aku baik-baik saja." Bian mengambil tablet dari dalam tasnya.
"Kesini sebentar."
"Kenapa?"
Aku mengernyitkan dahiku. Bian tampaknya sedang mencoba menjaga jarak denganku. "Aku tidak akan menusukmu lagi." Entahlah. "Mungkin," lanjutku ragu-ragu. Dokter kejiwaanku mengklaim diriku masih merasakan trauma yang cukup besar walaupun tidak ada lagi obat yang harus kuminum.
"Bukan itu."
Mataku terpaku pada wajah Bian yang tampak memerah. Ada apa dengannya?
"Aku tidak akan bisa mengendalikan diriku jika kita terlalu dekat. Kak Sam akan membunuhku jika aku melakukannya." Bian memilih duduk di sofa di dekat pintu balkon.
Itu mengejutkanku. "Maksudmu, kamu bergairah denganku yang sedang bertampang seperti orang gila ini?" Aku melihat pantulan diriku di cermin tidak jauh dari ranjang. Penampilanku sama sekali jauh dari kata menggairahkan. Kak Sam melarangku menggunakan baju-baju tidurku dan membelikanku selusin piyama dengan motif beruang.
Rambutku yang biasanya berkilau, saat ini terlihat kusam dan berantakan. Wajahku masih tampak pucat. Lebam-lebam kebiruan juga masih menghiasi leher dan tanganku.
"Bagiku, kamu sangat menggairahkan saat ini." Bian menghela napas panjang. "Saat menciummu kemarin, aku hampir saja menerkammu. Penisku ereksi. Aku bahkan mandi air dingin saat pulang dan sama sekali tidak mempan. Aku tidak bisa tidur."
"Jadi, kantung matamu karena itu?" Entah kenapa aku merasa sia-sia mengkhawatirkan Bian. "Aku tidak melarangmu tidur dengan wanita lain."
"Aku bukan pria semacam itu."
"Ya, aku tahu." Walaupun dia pernah melakukan hal kejam padaku, harus kuakui dia hanya setia pada satu wanita. "Sepertinya itu karma karena kamu pernah mempermalukanku di kantor," kataku sambil mendengus menahan tawa.
"Ya, harusnya aku bersikap lebih baik." Bian menatapku sedih. "Jika aku tahu lebih awal tentang Irvin, aku tidak akan bersikap kasar seperti itu padamu."
Itu bukan respon yang kuinginkan. "Aku hanya bercanda."
Bian bangkit dari duduknya dan mendekat ke arahku. Dia merangkak naik ke atas ranjang, mengambil posisi berbaring di sampingku. Tangannya mendekapku ke dadanya. Suara detak jantungnya terdengar sangat cepat namun menenangkan.
"Aku tidak bisa tidur setiap memikirkan penculikan itu. Aku sangat takut melihatmu menghilang dari pandanganku. Saat ini, kamu segalanya untukku."
Bian sama sekali tidak menahan perasaannya beberapa hari ini. Dia selalu mangungkapkan perasaannya secara terang-terangan padaku, seakan-akan tidak ingin ada penyesalan di masa depan.
"Kamu yakin tidak apa-apa memelukku?" Aku mendongak melihat wajah Bian.
"Untuk sementara, tidak apa-apa kurasa."
Aku tersenyum dan membalas pelukan Bian. Aroma khas tubuhnya membuatku merasa sangat nyaman. Sepertinya, memang inilah tempat yang kucari selama ini. "Maukah kamu bersamaku selamanya?" tanyaku. "Seumur hidupmu?" Kepalaku kembali mendongak.
Mata Bian terbuka lebar menatapku. Dia terdiam beberapa saat dengan wajah kaku. "Apa itu lamaran?"
"Ya."
"Kupikir kamu tidak ingin terikat status denganku."
"Awalnya memang begitu." Aku menggigit bibirku, merasa ragu dengan apa yang sudah kukatakan. "Sebelumnya, aku merasa tidak pantas untuk memiliki hubungan dengan pria manapun. Tidak adil jika mendapatkan barang bekas sepertiku, ditambah dengan gangguan mental ini. Tapi, aku menginginkanmu. Apa aku terlalu egois?"
"Tidak. Tentu saja tidak." Bian mengecup bibirku. "Aku mencintaimu."
***
"Sebenarnya, bagaimana hubunganmu dengan Adam?" Aku masih cukup penasaran kisah dibalik perseteruan antara Bian dan Adam. "Saat melihatmu datang ke pestanya waktu itu, kupikir kalian berteman atau pernah berteman."
Bian menyodorkan sesendok penuh nasi padang ke mulutku. Beberapa saat lalu, aku merengek karena merasa bosan dengan masakan super sehat yang dimasak khusus untukku. Dengan penuh rayuan dan ciuman, barulah akhirnya Bian mengabulkan permintaanku membelikan nasi padang.
"Kami satu angkatan di SMA, tapi aku bukan dan tidak pernah menjadi teman Adam. Tapi--"
"Tapi?" Aku menunggu kalimat berikutnya dengan tegang.
"Aku pernah punya hubungan asmara dengan adiknya. Dia mengundangku, jadi aku datang."
Mantan pacar rupanya. Entah kenapa kisah itu membuatku kecewa. "Jadi, apa kamu akan selalu datang jika dia mengundangmu?"
Bian tertawa kecil. "Sepertinya pertanyaan itu melenceng dari topik pembicaraan kita."
"Sudah, jawab saja!" Aku kesal.
Bian berpura-pura sedang berpikir keras. "Bagaimana ya? Sepertinya, aku akan datang--"
"Apa!?"
"Dengarkan dulu sampai selesai." Bian tertawa nakal. "Aku akan datang bersamamu."
Jawaban itu sama sekali tidak membuatku puas. "Ah, sudahlah. Pastikan kamu menjelaskannya dengan baik pada Kak Sam nanti agar dia tidak berganti pihak selain dirimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...