Bab 14

9.8K 361 10
                                    

Theo masih menatapku, membaca reaksiku. Sejujurnya, aku masih sangat bersalah tidak membalas satu pesan pun yang dikirimkannya padaku. Aku hanya tidak ingin membuatnya berharap lagi padaku, jadi kuputuskan untuk bersikap seperti gadis jahat. Tapi, setelah bersikap seperti itu pun, dia masih mengkhawatirkanku seperti ini. Aku tidak tahu perasaannya sedalam itu padaku, walaupun Theo tidak mengatakannya langsung padaku.

"Aku baik-baik saja. Terima kasih." Aku tersenyum.

Pria itu mengangguk, menyetujuinya. "Ya. Aku bisa lihat itu. Kamu sangat cantik hari ini."

Mata itu tampak sangat tulus. Bertahun-tahun aku mengenalnya, pancaran matanya kepadaku tidak pernah berubah. Bertahun-tahun pula aku mengabaikannya karena kupikir akan sangat sulit bagiku untuk berhubungan dengan pria baik sepertinya. Banyak wanita yang mengejarnya, tapi dia memilih untuk terus mengejarku. Aku tidak cukup layak untuknya.

Aku mendorong tubuh Theo dengan pelan. "Sebaiknya kita luruskan saat ini. Karena aku bekerja mulai besok, jadi kuanggap masalah pribadi kita akan kita selesaikan sebelum hubungan profesional kita kembali."

"Maksudmu, kamu menolakku?"

"Aku bukan wanita yang seperti kamu pikirkan. Aku buruk. Banyak wanita yang mengejarmu, kurasa mereka lebih baik dariku."

"Tidak. Kamu menilai dirimu sendiri sangat rendah. Kamu wanita hebat dan aku tahu apa yang kuinginkan." Theo tampak yakin. "Cobalah berkencan denganku selama dua minggu. Jika kamu masih tidak menginginkanku, aku akan menerima penolakanmu."

"Kencan?" Aku merasa tidak yakin. Akan sulit bagiku untuk mengatur jadwal ketat dari Kak Sam dan kuyakin Bian juga akan marah jika mengetahuinya. "Entahlah. Semenjak aku sakit, Kakakku memberikan jadwal yang cukup ketat padaku. Dia juga memberlakukan jam malam."

"Aku akan meminta izin pada kakakmu."

Theo mengejutkanku. Tampaknya dia benar-benar serius dengan kencan kami. Kupikir jika memberikan alasan yang cukup, dia akan mundur perlahan. Sungguh, kesabarannya patut kuacungi jempol.

Itu berarti hanya sisa keputusan dari Kak Sam saja. Walaupun Bian akan marah, aku yakin dia tidak akan berkutik jika menyangkut keputusan Kak Sam. Kusadari sifat Bian dan Theo sebenarnya sangat berbanding terbalik.

"Baiklah."

***

Theo mengantarkanku pulang. Sebelumnya, aku sudah memberitahukan tentang kedatangan Theo pada Kak Sam via telepon. Kak Sam ternyata dengan mudah menyetujuinya. Kini mereka sedang duduk berhadapan di ruang tamu dengan aku di sisi Kak Sam.

"Jadi, Theo, apa yang ingin kamu bicarakan denganku?" Seperti biasa Kak Sam selalu mengabaikan basa basi. Kak Sam kemudian menyesap teh hangat di tangannya yang baru disajikan oleh Bibi Zainab.

"Saya ingin mengajak Ellen berkencan. Tapi, dia menolak saya karena Anda memberinya jadwal ketat selama di luar rumah." Theo pun langsung ke inti pembicaraan.

Aku melirik Kak Sam. Dia hanya menatap Theo dengan wajah datar. Kuharap Kak Sam menolak permintaan Theo agar aku tidak harus bersusah payah menolaknya lagi.

"Baiklah."

Aku terkejut, tidak menyangka Kak Sam menyetujuinya semudah itu.

"Aku akan membebaskan jam malam dan jadwal Ellen selama berkencan denganmu, dengan satu syarat. Syaratnya, kalian harus konfirmasi keberadaan kalian selama berkencan. Jika aku tahu kamu membohongiku, tidak akan ada kesempatan kedua. Bagaimana?"

Theo tersenyum. "Saya setuju." Dia tampak sangat yakin.

Kak Sam mengangguk. "Sekretarisku akan menghubungimu nanti. Baiklah, jika tidak ada lagi yang dibicarakan, aku akan kembali ke ruang kerjaku." Kak Sam meletakkan cangkir kosong di tangannya. "Masih ada yang harus kukerjakan."

Theo ikut berdiri saat Kak Sam berjalan meninggalkan ruang tamu. Sedangkan aku hanya duduk terdiam, masih memikirkan keputusan Kak Sam yang dengan mudah mengizinkanku dan Theo berkencan. Kutatap Theo yang tersenyum padaku. Diaterlihat sangat bahagia.

"Aku akan menjemputmu besok pagi. Aku ingin mengajakmu sarapan bersama sebelum ke kantor."

Kupaksakan senyum di wajahku. "Iya."

"Sebaiknya aku pulang." Theo berjalan ke arah pintu. "Beristirahatlah. Selamat malam." Dia melangkah ke luar pintu.

"Selamat malam."

Aku menatap punggung Theo saat dia memasuki mobilnya. Beberapa menit kemudian, mobil itu melaju melewati pagar dan dengan segera ditutup kembali oleh Bibi Zainab.

Aku berjalan masuk ke dalam rumah dan ingin segera kembali ke kamar. Namun, sosok Kak Sam yang sedang berdiri bersandar pada meja dapur, meminum segelas air di tangannya, menghentikan langkahku. "Kenapa Kakak melakukannya?"

"Menurut Kakak, dia pria yang cukup baik. Dia bahkan meminta ijin. Kakak rasa dia jauh lebih baik dari pada Bian. Lagipula, tidak masalah kan? Toh kamu dan Bian tidak pacaran."

Secara rasional, aku sangat paham dengan alasan yang diberikan Kak Sam. Theo jauh lebih baik daripada Bian, aku setuju akan hal itu. Tapi, aku sendiri bahkan bukan wanita baik dan cocok untuknya.

Tak ada pertanyaan selanjutnya. Aku kembali berjalan ke kamarku. Kuperiksa ponselku yang dengan sengaja kutinggal di atas nakas. Ada puluhan panggilan tidak terjawab dari Bian dan beberapa pesan menghiasi layar ponsel. Pesan itu hanya kubaca dan tidak ada niat dariku untuk membalasnya. Rasanya terlalu lelah untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan diberikan Bian padaku. Malam ini kurasa aku akan mengabaikannya demi kesehatan mentalku.

***

Beberapa pasang mata tampak terkejut sekaligus penasaran saat Theo dan aku datang bersama ke kantor. Aku tahu tidak akan perlu waktu lama untuk rumor menyebar ke seluruh gedung. Tapi, kurasa itu bukan bagian terburuknya. Bagian terburuknya adalah menghadapi Bian.

Telepon berdering. Aku mengangkatnya dan sama sekali tidak mengejutkan mendengar suara Bian dari seberang telepon. "Ke ruanganku sekarang." Suaranya terdengar dingin.

Kuhibur diriku dalam hati, memberikan kepercayaan bahwa semua akan baik-baik saja. Walaupun tidak, kurasa aku bisa menghadapinya. Dengan yakin aku berjalan ke ruangan Bian dan mengetuk pintu. Aku membukanya setelah samar-samar mendengar suara Bian menyuruhku masuk.

Kubuka pintu di depanku. Bian sedang berdiri di dekat jendela besar yang mengarah langsung ke jalan raya. Aku bisa dengan jelas melihat gedung bank di seberang jalan. Dia berdiri membelakangiku dengan kedua tangan di dalam kantong celananya.

"Sepertinya kemarin dan tadi pagi kamu bersama dengan Theo. Kamu bahkan tidak menjawab telepon dan tidak membalas pesanku." Tidak ada pertanyaan, hanya pernyataan yang kudengar.

"Theo mengajakku berkencan."

Bian membalikkan tubuhnya. Dia tampak sangat marah. "Lalu? Kamu menyetujuinya?"

"Tidak. Kak Sam yang menyetujuinya. Theo datang ke rumahku dan minta izin padanya."

Dahi Bian berkerut, bingung. "Bukankah kakakmu tahu tentang kita?"

Aku sekilas menggigit bibirku, ragu. "Kak Sam tahu kita tidak pacaran dan kurasa dia berpikir bahwa Theo lebih baik darimu."

Tiba-tiba Bian tertawa. "Kalian berdua memang jago sekali menghancurkan harga diriku."

"Ini hanya dua minggu. Setelah itu, aku akan kembali menolaknya. Lagipula kami hanya akan berkencan bukan menikah." Kurasa tidak terlalu buruk berkencan selama dua minggu dengan orang yang sama. Bahkan beberapa bulan terakhir, aku hanya berhubungan dengan Bian walaupun tidak bisa dibilang kami 'berkencan'.

Bian berjalan mendekatiku. "No sex, no kissing, and no touching." Terdengar suara gemeretak gigi Bian. Dia sungguh sedang mencoba meredam amarahnya. "Terakhir, selalu jawab panggilan teleponku."

Sex Games with A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang