Pintu kamar tiba-tiba saja terbuka bertepatan saat aku keluar dari kamar mandi. Aku terkejut karena tubuhku belum memakai apapun kecuali lilitan handuk sebatas dada hingga atas lutut. Mulutku langsung saja mengeluarkan umpatan ketika mengetahui sosok itu adalah Mika. "Nggak bisa apa ngetuk pintu dulu?"
Mika hanya cengengesan dan melambaikan tangannya. "Hai!" Dia segera duduk di salah satu sofa dan melihat-lihat toples berisi berbagai macam kue kering di atas meja--yang sengaja disediakan Kak Rio untuk stok camilanku. "Enak sekali, ya, punya kakak-kakak sister complex," kata Mika sambil memasukkan sebuah nastar ke mulutnya.
Aku yang kini sedang berdiri di depan lemari hanya memutar bola mata, lalu kembali fokus pada tumpukan baju. Tanganku mengambil set dalaman berwarna nude dan tentu saja piyama beruang yang dibelikan Kak Sam. Sejujurnya, aku sangat bosan memakai motif piyama yang sama setiap hari, walaupun warnanya berbeda-beda. Namun, hanya itu pakaian ternyaman yang kumiliki saat ini.
"Eh, apa itu!?" seru Mika saat aku sengaja memamerkan cincin di jari manisku dari pantulan cermin meja rias. "Cincin dari Bian?" Dia berjalan mendekat. "Kalian beneran serius, nih?" Sepertinya dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Aku mengangguk. "Sudah kuputuskan bahwa dia pria terakhir di hidupku. Jadi, aku melamarnya. Ternyata dia sudah beli cincin duluan."
Mika menghela napas panjang. "Aku iri sekali."
Sejak dulu, Mika bermimpi bisa menikah muda, menjadi ibu rumah tangga, dan memiliki banyak anak. Tapi, dia sangat tidak beruntung soal pria. Padahal, dia bukan tipe pemilih dan tidak terlalu peduli tentang harta. Mika tidak pernah mempermasalahkan walaupun pria itu hanya orang biasa. Sayangnya, itu sering dimanfaatkan banyak pria dengan niat buruk. Tidak sedikit pria yang mendekati Mika hanya untuk memanfaatkannya.
"Ini." Mika menyerahkan tas kertas besar berlogo merk mewah padaku. Sejak tadi dia membawanya, tapi kupikir dia berbelanja untuk dirinya sendiri sebelum ke sini.
"Apa ini?"
"Buka saja dulu."
Sesaat, aku memberikan tatapan menyelidik pada Mika. Dia berpura-pura tidak melihatnya dan kembali sibuk dengan kue kering di atas meja.
Aku mengeluarkan sebuah dus besar dari dalam tas. Entah apa isinya, tapi aku merasa tidak terlalu excited dengan benda mencurigakan tersebut. Sebuah gaun satin berwarna salem bersama undangan pernikahan serta sebuah kertas lain. Aku membaca nama di undangan, tapi sama sekali tidak mengenal nama-nama itu. "Undangan siapa?"
Mika menunjuk kertas lainnya. "Baca dulu."
Kertas lainnya itu tampak seperti kartu ucapan sederhana. Di sana tertulis beberapa kalimat tulisan tangan.
Aku ingin kamu datang bersamaku ke acara resepsi pernikahan adikku menggunakan gaun ini.
Adam Margo
"What the fuck, Mika!" seruku. "Kamu masih jadi babunya Adam?"
"Aku cuma mau sedikit balas budi aja. Cuma ngantarin ini aja, kok! Nggak aneh-aneh," kata Mika gelagapan. "Kan aku bisa dekat sama Bayu juga karena dia."
Beberapa hari yang lalu, Mika memang bilang bahwa hubungannya dengan Bayu terlihat ada kemajuan walaupun belum resmi jadian. Aku saat itu tidak begitu menanggapinya karena sudah speechless menghadapi kebucinan Mika. Lagipula, permasalahan perusahaan Mika yang dimanfaatkan Adam sebelumnya, sudah diselesaikan berkat bantuan Bian. Jadi, aku tidak terlalu khawatir.
Aku menghela napas panjang. "Kamu yakin si Bayu itu tulus ke kamu?" tanyaku. Baiklah, aku akan mengumpulkan kesabaranku kembali demi sahabatku. Walaupun, sebenarnya aku bisa mengira-ngira endingnya tidak akan jauh berbeda dari kisah percintaan Mika sebelumnya. "Maksudku, mungkin saja dia punya niat terselubung untuk memanfaatkanmu. Bisa saja Adam menyuruh Bayu berpura-pura agar kamu merasa harus balas budi padanya."
Mika mengernyit, tampak tidak suka dengan perkataanku. "Negative thinking banget, sih. Bayu nggak gitu orangnya."
"Gimana nggak nevative thinking kalau kamu selalu jatuh di lubang yang sama? Ketipu sama cowok melulu. Sekarang, malah aku yang keseret-seret kayak beginian." Aku menutup kotak di depanku dan menyerahkannya pada Mika. "Kembalikan pada Adam. Bilang padanya, seandainya jika memang aku datang ke pernikahan adiknya, aku nggak akan pernah datang bersamanya."
Mulut Mika cemberut seperti anak yang sedang diomeli ibunya. Dia memasukkan kotak itu kembali ke tas. "Padahal gaunnya limited edition. Sayang banget," katanya lirih.
Aku tidak mengacuhkan Mika. Isi pikiranku tiba-tiba saja penuh dengan pertanyaan lain. Apa Bian juga diundang oleh mantan pacarnya itu? Jika diundang, apakah dia akan mengatakannya padaku? Atau memilih hanya diam? Apa Bian akan datang? Apa dia akan mengajakku? Mungkin bahkan dia pergi sendiri begitu saja?
"Kamu tahu kalau Bian pernah pacaran dengan adik Adam?" tanyaku pada Mika yang masih bergumam-gumam sendiri. Mika sudah kenal Bian sebelum aku mengenalnya. Mungkin saja dia mengetahui cerita-cerita romansa Bian dulu.
"Hah? Serius?" Mika terkejut. "Aku baru tahu, lho! Aku kenal Bian tuh dari acara-acara formal perusahaan aja. Dia juga nggak pernah cerita-cerita privasi begitu ke aku."
Setelah kupikir-pikir, aku dan Mika memang berbeda circle pertemanan dengan Bian. Salah satu alasannya tentu saja karena perbedaan umur kami. Kami juga alumnus dari sekolah yang berbeda.
"Kamu kenal dengan adik Adam?" tanyaku.
Mika menggeleng. "Nggak."
"Terus kamu tahu tentang pesta Adam waktu itu dari mana?"
"Aku cuma diundang random aja sama teman kuliah. Katanya senior SMAnya ngadain pesta dadakan gitu."
Pertama kalinya di hidupku aku merasa insecure dengan wanita lain. Secara logika pun seharusnya aku tidak perlu cemas karena sang mantan akan menikah dan Bian pun sudah dipastikan bersamaku. Bahkan sepertinya para pria yang mendekatiku sebelum Bian jelas lebih banyak dan lebih toxic. Ada psikopat juga.
"Kamu pernah lihat wajah adiknya? Mungkin dari foto?" tanyaku pada Mika. Sejujurnya, aku sempat penasaran dengan sosok adik Adam itu hingga mencari-cari informasi di search engine. Tidak ada foto, hanya biodata singkat tentang nama lengkap dan tempat tanggal lahir. Walaupun begitu, aku tidak serajin itu untuk menyelidiki lebih lanjut seperti mencari di sosial media atau menggali informasi dari orang-orang yang mungkin mengenalnya. Bukankah itu sudah termasuk menguntit?
"Adam juga tidak pernah post foto adiknya. Tapi, aku pernah melihatnya sekilas di pesta itu. Dia sempat menyapa Bayu, lalu pergi."
Mataku melebar. "Cantik?"
"Cantik. Vibesnya tuh kayak cewek cinta pertama cowok-cowok. Badannya mungil, under 160 kayaknya. Anggun banget. Adam versi cewek, deh. Pokoknya kalau lihat dia, kamu pasti bisa nebak kalau dia pasti adik Adam. Mirip banget."
Cinta pertama? Aku menebak-nebak apakah wanita itu adalah cinta pertama Bian. Bagaimana dengan ciuman pertama? Seks pertama? Aku sangat yakin Bian tipe pria yang setia, tapi pasti banyak wanita yang sudah tidur dengannya jika dia selihai itu.
Tidak bisa kupungkiri, aku merasa sedikit kecewa. Rasanya tidak adil ketika cinta pertamamu memiliki cinta pertama yang bukan dirimu. Hasilnya, seharian aku merasa sangat tidak mood dan bersikap jutek pada Bian di sisa hari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...