Mataku melirik benda persegi berwarna hitam di atas meja. Jelas sekali Irvin sangat percaya diri meninggalkan ponselnya berada di dekatku. Dia tahu aku tidak akan bisa membukanya dengan password yang tepat.
Secara kebetulan, ponsel itu bergetar. Sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal. Refleks, mataku beralih ke arah pintu kamar yang masih tertutup, mencoba menebak keberadaan Irvin. Walaupun sangat tipis kemungkinannya, aku bisa mengambil kesempatan ini untuk meminta bantuan.
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung menyambar ponsel Irvin dan menjawab panggilan. Terdengar suara seorang wanita yang memperkenalkan diri sebagai pegawai dari salah satu provider telepon seluler di Indonesia. Dia menawarkan beberapa layanan baru yang bisa digunakan untuk upgrade fasilitas telekomunikasi dengan harga promosi.
Aku berjalan menjauhi pintu kamar. Aku tidak ingin Irvin mendengar suaraku dan curiga dengan apa yang sedang kulakukan. "Mbak, bisa bantu saya?" tanyaku dengan suara pelan.
"Ya, silahkan. Apa yang perlu saya bantu, Bu?" Sang operator menjawab ramah.
"Saya minta tolong untuk hubungi kakak saya atau polisi. Saya korban penculikan. Tolong saya."
Operator wanita itu terdiam. Aku tahu dia pasti ragu. Mungkin saja dia pikir sedang diprank pelanggan menyebalkan yang tidak menghargai pekerjaannya. Sayangnya, aku tidak punya waktu untuk menjelaskan detail penculikan yang terjadi karena Irvin bisa masuk kamar kapan saja.
"Saya mohon, Mbak. Saya benar-benar diculik. Setidaknya tolong hubungi nomor ini." Aku menyebutkan nomor ponsel Kak Sam tanpa ragu seperti sudah di luar kepala. Setelah penculikan pertama terjadi, Kak Sam menyuruhku untuk menghapal nomor ponsel semua anggota keluarga untuk berjaga-jaga. Pada akhirnya, strategi itu berguna saat ini. "Mbak bisa pastikan langsung kalau saya lagi nggak bercanda."
"Mungkin seba-" Suara operator wanita itu terputus. Irvin yang muncul tiba-tiba di belakangku menarik kasar ponselnya di tanganku. Dia melempar ponsel itu ke seberang ruangan seakan-akan benda itu tidaklah berharga.
Aku tersentak saat melihat wajahnya. Aku tahu bahwa aku akan mendapatkan perlakuan buruk lagi. Seperti sudah mengantisipasinya, aku berjalan mundur untuk menghindari amukan Irvin. Tapi, lengan Irvin yang panjang langsung mencekik leher dan mendorong tubuhku hingga membentur cermin. Aku bisa merasakan pecahan cermin mulai melukai kepalaku.
Tanganku mencoba menarik tangan Irvin yang semakin ketat di leherku. Saluran udara di kerongkonganku benar-benar tertutup. Aku tidak bisa mengambil oksigen di udara. Dadaku sesak. Mulutku megap-megap. Mataku berair dan kepalaku terasa sangat sakit. Mungkinkah dia akan benar-benar membunuhku kali ini?
Di tengah kesadaranku yang mulai hilang, terdengar suara pintu terbuka dengan sangat nyaring. "Saudara Irvin, angkat tangan!" Aku bisa melihat dari sudut mataku, beberapa pria berseragam masuk dan menodongkan senjata ke arah Irvin.
Wajah Irvin seketika berubah. Raut wajahnya yang awalnya terlihat sangat marah, seketika terkejut, lalu berubah menjadi dingin. Dia menatapku yang masih berusaha melepaskan tangannya di leherku selama beberapa saat sebelum akhirnya membebaskanku.
Aku terjatuh di atas pecahan-pecahan kaca. Tapi, aku tak peduli karena prioritas utamaku adalah menghirup udara sebanyak-banyaknya. Aku bahkan tidak memperhatikan kejadian di sekitarku hingga beberapa orang tenaga medis membantuku.
Suasana menjadi riuh. Apartemen sunyi yang dulu kutinggali, sekarang menjadi ramai dan penuh dengan polisi. Para penghuni apartemen pun tampaknya diungsikan keluar gedung. Selain itu, terlihat juga beberapa wartawan mencoba mendapatkan berita dengan meliput di sisi area luar yang telah diamankan garis polisi.
"Ellen!" Seorang pria memanggilku saat para petugas medis memindahkanku dari tandu ke atas brankar di dekat mobil ambulans. Bian tampak jauh berbeda dari biasanya. Rambut wajahnya dibiarkan tumbuh tipis. Matanya berkantung dan dia berpakaian asal-asalan. Entah apa yang terjadi padanya selama aku diculik.
"Bi." Aku mengusap pipi Bian, merasakan kerinduanku yang meluap-luap karena masih bisa melihatnya.
Bian menggenggam tanganku. "Maafkan aku meninggalkanmu. Ini tidak akan terjadi jika aku tidak pergi." Untuk pertama kalinya aku melihat pria itu menangis. Dia menyentuh bekas cekikan di leherku. "Dia melakukan semua ini padamu?"
"It's okay, Bi. Aku nggak apa-apa." Aku mengusap air mata di pipi Bian.
"El!" Kak Sam dan Kak Rio menghampiriku. Tampaknya mereka baru tiba dan tergesa-gesa. Mereka berdua terlihat shock saat mengetahui kondisiku dari para tenaga medis.
"Bagaimana bisa--" Kak Sam mengepalkan tangannya. Dia mengalihkan pandangannya ke arah area depan apartemen yang dipenuhi dengan polisi.
Mataku juga ikut terpaku pada Irvin yang sedang berdiri di samping dua orang polisi berseragam bertubuh besar. Tangannya di borgol. Yang menjadi perhatianku adalah sunggingan senyum aneh dari wajahnya. Dia seperti mengatakan bahwa penangkapannya sama sekali tidak memengaruhinya. Entah apa yang sedang direncanakannya di dalam otaknya.
Beberapa detik kemudian, tiba-tiba saja terjadi hal yang mengejutkan semua orang. Seseorang berlari menerjang kerumunan polisi dan menusuk perut Irvin. Sebelumnya tidak ada yang menyadari kehadiran pria bertopi baseball itu datang mendekat membawa pisau. Kini, semua orang panik. Polisi langsung bergerak cepat menangkap sang penikam. Petugas medis di sekitarku pun segera beralih untuk membantu Irvin yang mengeluarkan banyak darah.
"Apa yang terjadi?" gumamku.
***
Dokter melakukan prosedur pemeriksaan setelah surat perintah visum dikeluarkan dari pihak kepolisian. Proses ini berlangsung cukup lama karena pihak rumah sakit juga diharuskan memeriksan kesehatan mentalku pasca penculikan. Ini juga kulakukan pasca penculikanku yang pertama. Tapi, kali ini tidak ada amnesia, tidak ada serangan panik, tidak juga dengan emosi yang meledak-ledak.
Kak Sam, Kak Rio, Bian, serta kedua orang tuaku terus menemaniku dengan setia. Mereka pasti merasa sangat cemas dengan kondisiku. Walaupun penculikan hanya terjadi kurang lebih selama satu hari, banyak ditemukan luka-luka trauma di tubuhku. Ibuku bahkan tidak berhenti menangis.
"Sudah, Bu. Aku nggak apa-apa," kataku setelah prosedur visum berakhir dan kini aku ditempatkan di sebuah kamar rawat inap kelas VVIP. Aku berpura-pura baik-baik saja agar kedua orang tuaku tidak terlalu sedih. Padahal, aku masih lemas karena benturan di kepalaku.
"Yah, Bu, malam ini di antar Rio pulang duluan, ya? Biar aku sama Bian yang jaga Ellen," bujuk Kak Sam.
"Sebaiknya begitu. Ellen pasti ingin istirahat," kata Ayah. Pria paruh baya itu menatapku. Walaupun tidak menangis seperti Ibu, mata beliau tampak berkaca-kaca. Beliau mengecup keningku cukup lama. "Ayah bangga anak perempuan Ayah adalah wanita kuat."
Sejak tadi, aku sama sekali tidak menangis. Bahkan saat aku merasakan kelegaan yang luar biasa pasca penangkapan Irvin, tak ada satupun air mata yang mengalir. Setelah aku sadar tidak hanya diriku yang menderita, tapi keluargaku juga mengalaminya, air mataku pun akhirnya tak terbendung lagi. Aku bersyukur memperjuangkan kebebasanku dan tidak memilih jalan pintas. Aku bersyukur banyak orang yang menyayangiku yang tidak pernah menyerah mencariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...