Saat ini aku merasa sangat malu. Tubuhku bersikap sangat jujur. Seakan-akan secuil harga diriku yang tersisa sudah terinjak kakiku sendiri hingga hancur. Aku tampak seperti wanita murahan dan kusadari drama kepura-puraan ini tidak akan berhenti begitu saja.
Aku melihat sebuah tas kertas yang cukup besar menghiasi meja kerjaku, saat aku membuka pintu ruangan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari tahu tanda-tanda seseorang pernah di ruanganku sebelum ini. Tak ada satu pun yang tampak mencurigakan.
Dengan perlahan, aku mendekati meja. Seperti menemukan sebuah bom, aku mencoba hati-hati mengeluarkan sebuah benda dari dalam tas itu. Sebuah sweater tipis berwarna cokelat muda dan sebuah rok span selutut dengan belahan panjang di bagian belakangnya. Secarik kertas jatuh dari lipatan-lipatan baju itu.
Dear, Ellen.
Aku akan memberlakukan peraturan yang sama untuk pakaian ini. Pakai dua kain ini besok. Tak ada kain lainnya. Aku akan menghukummu jika tidak sesuai dengan perintahku.
Salam sayang,
BianAku terpaku. Pria itu benar-benar menyukai permainan ini. Tiba-tiba saja aku teringat kembali kejadian di kantornya tadi pagi. Harga diriku benar-benar dihancurkannya berkeping-keping.
Aku tidak tahu apakah aku akan cukup kuat untuk mempertahankan semuanya. Jika pengorbananku ini tidak sebanding dengan yang kuperjuangkan, aku akan melepaskan pekerjaan ini.
Sebentar lagi jam makan siang. Selera makanku sekarang sudah benar-benar hilang. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di ruanganku hingga pulang nanti. Lebih sedikit interaksiku dengan orang lain, akan lebih baik. Mungkin aku harus mulai membawa bekal sendiri.
Cukup lama mataku terpaku pada layar komputer. Sedangkan jari-jariku menari di atas tuts keyboard hitam di depanku. Pekerjaan ini telah sukses mengalihkan pikiran negatifku dan membuatku fokus pada laporan yang sedang kukerjakan.
Tiba-tiba terdengar suara pintu ruanganku diketuk. Aku mengabaikannya hingga seorang pria pun muncul dari balik pintu.
"Kamu nggak makan?" Suara pria itu berat dan terdengar familiar, membuatku menoleh dan menatap mata biru indahnya. Pria bernama Theo itu pun masuk ke dalam ruanganku tanpa harus menungguku memberi izin.
Theo, kepala divisi design creative, seorang keturunan campuran Turki-Inggris dan Indonesia. Dia tanpa sungkan membalikkan kursi kerjaku, membuatku terpaksa harus melayaninya mengobrol untuk saat ini.
"Saya sedang tidak ingin makan." Aku bersandar di sandaran kursi kerja dan harus lebih mendongak agar dapat melihat wajah tampan Theo. Tubuhnya sangat tinggi jika dibandingkan dengan tubuh pria pribumi umumnya.
Theo merendahkan tubuhnya, membuatku lebih mudah untuk berbicara dengannya. "Kenapa? Aku belikan? Kamu mau makan apa?" tanyanya.
Jika saja aku tidak dalam posisi harus bersikap profesional, mungkin aku akan menggoda pria di depanku dan meminta lebih dari sekedar traktiran. Tapi, di sini posisiku sangat sulit. Bukan hal yang baik untuk mendahulukan kesenangan pribadi di dalam kantor.
"Tidak, Pak Theo. Kebetulan saya memang tidak lapar."
"Kenapa kamu selalu bersikap formal begitu denganku? Kudengar kamu single. Jadi, apa sikapmu ini menunjukkan kalau kamu sama sekali tidak tertarik denganku?"
Kuakui bahwa Theo seorang pria yang pantang menyerah. Dia adalah salah satu orang yang berperan besar hingga aku berada di posisi sekarang ini. Sejak awal berkarir, Theo merupakan salah satu atasan yang mewawancaraiku. Entah apa yang dia lihat. Bahkan dengan penampilanku sebelum ini yang bisa dikatakan sama sekali tidak mencolok, dia mendekatiku seakan-akan hanya aku wanita yang dia lihat.
"Aku penasaran. Jadi, apakah selama ini kamu menyembunyikan wujud aslimu atau dirimu memang sedang ingin berubah?" Theo menyandarkan tubuhnya di sisi mejaku dan melipat tangannya dengan tatapan yang masih terpaku padaku.
"Kalau yang Pak Theo maksud penampilan saya, saya yang dulu dan saya yang sekarang, dua-duanya wujud asli saya. Saya tidak pura-pura dan semua ini bukan akting."
Theo mengerutkan dahinya. "Aku tidak menuduhmu sedang akting. Hanya saja perubahanmu di sini begitu drastis. Kau tahu, sainganku sekarang banyak. Seharusnya kamu tahu bagaimana kami, para pria, melihatmu berpakaian seperti sekarang ini."
Aku terkejut. Banyak hal yang tiba-tiba kupikirkan saat ini. Mungkinkah orang-orang tahu bahwa aku tidak memakai dalaman apapun?
Theo mendekatkan wajahnya ke arahku. Dia mengecup pipi kiriku. "Kamu sangat cantik." Dia tersenyum lebar. "Ya, walaupun sekarang sainganku bertambah banyak. Tidak masalah. Aku akan mendapatkanmu untukku."
Aku mematung. Tidak pernah ada pria yang bersikap begitu manis padaku seperti saat ini. Sejak dulu aku berkomitmen untuk tidak menggubris semua rayuan gombalan Theo karena kuanggap sebagai sebuah candaan.
Kali ini dia berbisik di telingaku. "Your nipples look so hard. Is that okay?"
Bisikannya terdengar seperti sebuah ajakan untukku. Seketika aku bisa merasakan tubuhku merinding, merasakan hembusan napas Theo yang menerpa leherku. Kesadaranku seakan hilang sesaat. Mungkin, aku tidak akan bisa mengembalikan akal pikiranku untuk saat ini.
Seperti orang mabuk, aku seakan tidak bisa mengontrol kata-kata yang keluar dari mulutku. Entah apa yang sudah kukatakan hingga Theo tiba-tiba menatapku terkejut dan kini dia sudah melumat bibirku. Aku bisa merasakan emosinya di setiap gerakan bibirnya. Tapi, dia mengatasi ketidaksabarannya dengan sangat baik, dan tampaknya dia berhasil mengendalikan dirinya sendiri.
"Expert, huh?" Theo melepas pagutannya dan tertawa puas. "Sepertinya banyak hal yang tidak kuketahui tentang dirimu."
Theo membimbingku berdiri. Dia memeluk pinggulku, mengantarkan tubuhku lebih dekat ke arahnya. Satu tangan lainnya menelusuri wajahku, ke leherku, dan dengan sengaja dia menyentuh sisi payudaraku yang menyembul keluar dari potongan leher gaunku yang rendah. Aku memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan pria di depanku saat ini.
"You're very sexy, Hun." Theo memainkan putingku yang mengeras dari luar gaun dengan jari-jarinya. Aku mengerjapkan mata dan kulihat Theo sedang menatapku. Dia nampak kagum dengan apa yang telah diperbuatnya padaku.
Kurasakan penis Theo menegang di dalam celananya. Namun, dia sama sekali mengabaikannya dan tetap melanjutkan ritualnya padaku. Kini bibirnya mengecup mesra leherku. Tangannya tak lagi di pinggangku, melainkan turun agar dia bisa meremas pantatku.
Aku sangat menyukai kesabaran Theo melakukannya sedikit demi sedikit. Sangat tidak heran jika selama ini dia tidak menyerah untuk mendekatiku walaupun penolakanku sudah nampak jelas.
Seperti terbangun dari mimpi, aku terkejut saat dering telepon menyeruak. Theo nampaknya ikut menghentikan aktivitasnya dan kemudian berinisiatif untuk mengangkat telepon itu. Dengan tubuhku yang masih dipeluknya, dia menempelkan gagang telepon itu di telingaku.
"Ya?" Terdengar suara seorang wanita dari ujung telepon menjelaskan bahwa ada beberapa orang client sedang menungguku di lobby. "Tolong antarkan mereka ke ruang meeting di lantai tiga. Aku akan segera ke sana. Terima kasih."
Theo menutup teleponnya. Dia menatapku yang kini terlihat begitu canggung di pelukannya. "Kita akan melanjutkannya nanti." Dia mengecup keningku. "Pergilah. Aku akan membelikan sesuatu untukmu untuk dimakan. Kamu akhir-akhir ini nampak lebih kurus. Lihat. Tanganmu saja sekecil ini."
"Maaf, Pak," gumamku. Sejujurnya aku setengah malu setelah menampakkan sikap asliku dan Theo tetap bersikap manis seperti ini.
Theo tertawa kecil. "Kenapa jadi gugup seperti itu? It's okay. Setidaknya, aku tahu kamu tidak benar-benar menolakku selama ini. Hanya saja aku masih tidak mengerti untuk beberapa hal. Tapi, aku akan menunggumu menceritakannya sendiri padaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...