Sungguh sangat langka, melihat hari ini Kak Sam menjemputku pulang dari kantor. Biasanya, dia akan mengutus Kak Rio, ajudannya, atau orang kepercayaannya yang lain untuk melakukannya. Anehnya, perasaanku tiba-tiba menjadi tidak nyaman karena dia kali ini memilih untuk 'turun tangan' sendiri. Apapun itu, aku yakin ada kabar yang tidak begitu baik tentangku yang kemungkinan saja baru dia terima.
"Kakak baik-baik saja?" tanyaku saat mobil melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya. Rasanya sedikit canggung melihat seseorang yang biasanya diantar jemput supir, kini duduk di balik kemudi. "Terjadi sesuatu?"
Kak Sam melirikku. "Sesuatu apa?" tanyanya balik.
Entahlah. Mungkin Kak Sam bertindak seperti ini karena mendapat kabar tentang pria bernama Adam. Mungkin juga hal lain yang tidak kuketahui. Banyak hal yang dirahasiakannya dariku sejak dia mewarisi perusahaan keluarga. Aku tidak menyalahkannya, karena aku yakin tidak sedikit orang yang bermuka dua padanya. Banyak orang yang tidak bisa dipercayai di dunia ini.
"Aku hanya bertanya karena rasanya sangat aneh melihat Kakak menyetir mobil." Kualihkan pandanganku kembali ke jalan, berpura-pura tidak tertarik dengan misi rahasia yang mungkin sedang disembunyikan Kak Sam.
"Apa kamu melihat seseorang yang aneh akhir-akhir ini?"
Pertanyaan itu tiba-tiba membuat mataku melebar. Sudah kuduga, pasti ada sesuatu. "Kurasa tidak ada. Aku banyak menghabiskan waktu dengan Bian. Jadi, aku tidak memerhatikan hal seperti itu."
"Bisakah kamu meminta ijin cuti beberapa lama di kantormu?"
"Kenapa?"
"Bilang saja kamu harus kembali menjalani perawatan lanjutan karena penyakitmu sebelumnya."
Kedengarannya, terjadi sesuatu yang sangat besar. "Tapi, aku baik-baik saja." Aku menatap wajah Kak Sam yang masih fokus ke jalan di depannya.
"Ya. Kakak tahu." Kak Sam menatapku sekilas sambil menyunggingkan senyumnya. "Kalau begitu, biar Kakak sendiri yang mengatakannya pada Fabian. Dia pasti mengerti."
Mengerti apa?
"Mungkin sebaiknya kita mengunjungi orang tua kita. Aku yakin mereka akan senang dengan kedatangan kita," kata Kak Sam setelah hening beberapa saat di antara kami.
Beberapa waktu lalu, setelah kondisiku sedikit lebih baik, kedua orang tuaku memutuskan untuk tinggal di rumah peninggalan kakek-nenekku di pedesaan. Rumah itu cukup lama terbengkalai dan tidak berpenghuni. Sekarang, rumah itu sudah dalam kondisi yang sangat baik setelah kedua orang tuaku merenovasinya.
"Kenapa?" tanyaku.
Kak Sam terdiam. "Tidak apa-apa." Dia mengedikkan bahunya. "Hanya saja kita sudah lama tidak liburan bersama. Rio juga pasti akan menyukai ide itu."
"Jadi, haruskah aku mengajukan cuti?" tanyaku, mencoba memastikan lagi.
Ada jeda beberapa saat sebelum Kak Sam merespon pertanyaanku. "Apa Fabian sudah membicarakan tentang kamu yang akan tinggal bersamanya?"
Itu bukan jawaban dari pertanyaanku. Entah apa yang sedang dipikirkan Kak Sam saat ini. Dia seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu, tapi sama sekali tidak memberikanku clue tentang isi pikirannya.
"Kupikir, Kakak tidak merestuiku berhubungan dengan Bian." Beberapa waktu lalu, dia bersikap sangat keras pada Bian. Jelas sekali Kak Sam memberikan tanda 'No' besar saat itu. Atau itu hanya perasaanku saja? Lalu, aku teringat akhir-akhir ini, kedua pria itu bahkan Kak Rio sering melakukan percakapan rahasia di dalam ruang kerja Kak Sam. Membuat tanda tanya besar.
"Tidak juga. Kakak hanya memberi pelajaran untuknya. Dia lahir dengan kekayaan. Wajahnya juga cukup menarik. Dia pasti berpikir apapun yang diinginkannya akan sangat mudah didapat." Kak Sam menghentikan mobil saat lampu lalu lintas menyala merah. "Seseorang cenderung cepat bosan saat mendapatkan sesuatu dengan mudah. Begitu juga halnya dengan lawan jenis. Ini tantangan untuknya."
Aku semakin bingung. "Jadi?"
"Jadi, kakak sama sekali tidak melarangmu untuk berhubungan dengan Fabian." Kak Sam melirikku. "Kamu menyukainya?"
"Ya. Aku menyukainya." Seks bersama Bian sangat luar biasa.
"Kamu mencintainya? Apa kamu mau menikah dengannya?"
Pertanyaan beruntun itu membuatku terpana. Membayangkanku menikah dengan Bian dan hidup bersama dengannya selamanya rasanya tidak terlalu buruk. Kami bisa melakukan seks setiap saat. Bagaimana jika bukan dengan Bian, tapi dengan orang lain? Contohnya Adam Margo? Refleks, tubuhku bergidik ngeri. Aku tidak bisa jika itu orang lain. Apa itu berarti aku mencintai Bian?
"Mungkin," jawabku sekenanya. "Kenapa Kakak tiba-tiba menanyakannya? Apa ada hubungannya dengan percakapan rahasia kalian?" Akhirnya pertanyaan yang kusimpan sejak beberapa hari lalu kulontarkan.
Kak Sam hanya mengedikkan bahunya dengan santai. "Itu hanya urusan bisnis."
Aku mengernyit, tidak puas dengan jawaban singkat itu. Walaupun kucecar dengan pertanyaan serupa, jawaban Kak Sam pasti akan tetap sama. Padahal jelas sekali dia menyembunyikan sesuatu dariku.
Kak Sam melirikku sekilas, tertawa kecil melihatku gondok padanya. "Itu benar-benar tentang bisnis." Tangan kirinya melayang ke atas kepalaku, mengusapnya dan membuat rambutku menjadi sedikit berantakan. "Kamu tetap lucu sekali walaupun sudah sebesar ini."
Bola mataku berputar. Bukannya terhibur, aku malah semakin kesal rambutku mencuat di sana sini. Untung saja destinasi perjalanan mobil adalah rumah. Jika tidak, aku pasti sudah mengomel karena perlu mencatok ulang rambutku.
Aku segera membuka sun visor di hadapanku, memakai cermin kecil di sana untuk membenahi rambut. "Kesimpulan sebenarnya dari percakapan ini apa? Apa aku harus menikah dengan Bian?"
"Coba tinggal bersama saja dulu."
Jawaban itu sungguh membuatku terkejut. Aku tahu Kak Sam bukan tipe orang yang konservatif. Tapi, biasanya dia selalu ketat menyeleksi semua pergaulanku. Dulu, aku jarang keluar rumah karena akan selalu ada sesi omelan dari Kak Sam. Setelah mendapatkan gelar magister, mendapatkan pekerjaan di posisi bagus, aku juga bisa menabung lebih banyak. Kedua orang tua dan kedua kakakku tidak menyangka aku bisa membeli apartemen dua kamar dengan tabungan yang kukumpulkan diam-diam sejak masa sekolah.
Saat itu lah aku seperti terbebas tanpa pantauan. Work hard play hard, itulah konsepnya. Di kantor, aku hanya kutu buku yang culun. Malamnya, aku menjelma menjadi wanita yang suka memperdaya pria.
Sebenarnya, hobi itu sudah berjalan jauh lebih lama, yaitu sejak sekolah menengah atas. Banyak pria mendekatiku dan mengajakku kencan. Hanya saja karena semua keterbatasanku saat itu, seringnya aku dan para pria-pria itu melakukan kegiatan romantisme di dalam area sekolah. Setelah kuingat-ingat, dulu aku jauh lebih gila dan nekat dari diriku yang sekarang. Aku tidak tahu apa kedua orang tua dan kedua kakakku mengetahuinya.
"Kakak yakin?" tanyaku lagi, memastikan jawaban sekali lagi.
"Ya. Kalau pada akhirnya kamu merasa nyaman tinggal bersamanya nanti, kakak akan mengijinkan kalian menikah."
"Semua ini bukan karena bisnis yang kalian sembunyikan dariku, kan?" Kembali aku mengajukan pertanyaan agar merasa lebih yakin.
Kak Sam tertawa lagi. "Kamu sendiri yang bilang menyukainya kan? Jika pada akhirnya kamu tidak ingin menikahi Fabian juga tidak apa-apa. Bisnis tetap berjalan, tenang saja. Apapun pilihanmu, pastikan saja dirimu bahagia. Ok?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomansaPertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...