Hujan sedang deras mengguyur di luar. Tetesan air mengalir di setiap permukaan kaca jendela, membuat pemandangan sekitarnya tampak samar-samar. Jalan raya di bawah, masih penuh dengan kendaraan berlalu lalang, seakan-akan air yang jatuh dari langit bukan penghalang mereka untuk tetap melaju.
Aku menghirup susu hangat dari mug di tanganku. Selera makanku masih hilang. Belum ada sebutir nasi pun masuk ke perutku sejak kemarin. Semakin memperparah keadaan, kepalaku mulai terasa sakit sekarang.
Kantin kantor tampak sepi di jam-jam seperti ini. Aku melewatkan waktu istirahatku dan mengunci diri di dalam ruanganku hingga beberapa menit yang lalu. Aku bahkan mencabut line telepon untuk berjaga-jaga. Tubuhku tidak dalam kondisi baik dan sejujurnya aku sama sekali sedang tidak ingin bertemu siapapun, terutama Bian dan Theo.
Kejadian kemarin bukan termasuk kenangan menyenangkan, walaupun untuk sesaat aku menikmatinya. Theo adalah pria yang baik. Memang, wajahnya terlihat seperti seorang playboy, tapi aku tahu dia sangat sabar dan setia. Tidak baik untuk membawanya ke dalam masalah pribadiku dan bersikap tidak profesional padanya.
"Di sini rupanya." Sebuah suara mengalihkan perhatianku dari jendela dengan cepat. Theo tersenyum dan duduk di kursi di depanku. "Kamu nggak makan?" Dia mengerutkan dahi. "Jangan bilang sejak kemarin kamu nggak makan nasi?" Theo terlihat kesal.
"Saya sedang tidak ada selera makan."
"Kamu mau sekurus apa sih?" Theo melambaikan tangannya ke arah seorang pria yang dikenal sebagai salah satu pegawai kantin. "Mas! Soto sama kopi satu ya! Nggak pakai lama."
Theo kembali menatapku.
"Jadi, kamu benar-benar tidak ingin bertemu denganku hari ini?"
Aku mengernyit. "Saya tidak paham dengan maksud Pak Theo."
"Kamu mengunci diri di ruanganmu dan memutuskan line telepon? Jadi, kalau bukan untuk menghindariku lalu untuk apa?"
"Tidak ada apa-apa. Saya hanya sedang banyak pekerjaan." Secara tidak sengaja aku membuang muka. Aku memang tidak bisa berdusta dengan baik untuk urusan seperti ini.
"Berhenti berbicara formal padaku. Aku tidak setua itu. Cukup panggil Theo saja."
Aku hampir terjatuh dari kursi. Aku selalu merasa sangat aneh jika ada seorang pria mengatakan hal ini kepadaku.
Seorang pria berkaos oblong dan bercelana denim kasual menghampiri meja dengan nampan berisi pesanan Theo. Dia meletakkan secangkir kopi dan semangkok besar soto di atas meja. "Silahkan mas." Lalu dia berjalan berlalu.
Theo menggeser, memindahkan mangkok soto semakin dekat ke arahku. "Ayo makan."
"Saya sudah bilang, saya tidak lapar."
"Baiklah. Aku akan menyuapimu."
Aku terkejut saat Theo mulai menggapai sendok dari mangkok soto. "Baiklah. Saya akan makan." Dengan segera aku manyambar sendok di depanku. Aku tidak ingin hari ini membuat kesalahan lagi seperti kemarin. Aku harus tetap menjaga hubungan kami sebatas rekan kerja.
"Jadi, kamu tidak mau cerita tentang alasan kamu menghindariku?" Theo menghirup kopi dari cangkir di tangannya.
"Saya tidak menghindari Pak Theo. Saya harus menyelesaikan pekerjaan saya. Saya hanya ingin fokus tanpa gangguan telepon."
Theo meletakkan cangkir kopinya kembali ke atas meja. Dia menatapku. "Apa aku tidak punya harapan sama sekali untuk menjadikanmu milikku?"
Aku melempar sendokku dengan kasar ke dalam mangkok. Aku sedang menghindari pembicaraan ini seharian. Dengan cepat, aku menarik diriku untuk berdiri dan meletakkan selembar uang pecahan lima puluh ribu di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...