Bab 15

10.1K 328 8
                                    

Setumpuk laporan sudah berada di atas mejaku. Hari ini baru hari pertama aku resmi masuk kembali ke kantor, dan sekarang kepalaku sudah sangat pusing. Bukan saatnya untuk memikirkan urusan pribadi yang entah kenapa terasa seperti telenovela. Siapa sangka semua orang di sekitarku tiba-tiba membuatku merasa seperti pemeran utama wanita.

Aku memejamkan mataku, mengatur napasku, dan menyingkirkan urusan pribadi di pikiranku agar dapat fokus bekerja. Apapun perasaanku saat ini tidak boleh mengganggu kehidupan profesionalku. Hanya pekerjaan-pekerjaan ini yang bisa kukendalikan saat ini.

Kuperiksa setiap laporan dengan teliti. Kuberi catatan untuk beberapa hal yang harus direvisi dan menghubungi beberapa orang terkait untuk konfirmasi. Kemudian, Theo muncul dari balik pintu.

"Hi." Theo menyapaku dan berjalan masuk ke dalam ruangan. "Makan siang?"

Aku melirik jam tanganku. Sudah cukup terlambat untuk makan siang. Ternyata, waktu berjalan sangat cepat saat aku fokus dengan pekerjaanku. Padahal beberapa waktu yang lalu aku merasa waktu berjalan begitu lambat. "Ok." Aku merapikan beberapa berkas sebelum berdiri dan berjalan ke arah Theo.

"Di kantin?"

"Di kantin saja. Pekerjaanku masih menumpuk dan harus mengurus beberapa hal lain."

Beberapa orang tiba-tiba berbisik saat aku dan Theo berjalan menuju kantin. Aku yang sudah tidak peduli dengan hal itu hanya berpura-pura tidak melihatnya. Aku bahkan memilih meja di tengah kantin. Sekalian saja agar mereka semua tahu tentang aku dan Theo.

Theo dan aku masing-masing memesan nasi campur dan sebotol air mineral. Kami menunggu dan hanya ada keheningan di antara kami.

"Kamu jadi lebih kurus dan pucat sejak beberapa minggu lalu." Theo menyentuh tanganku yang berada di atas meja. Lalu, dia menggenggamnya dan mengusapnya lembut.

"Aku baik-baik saja." Kutarik tanganku, merasa tidak nyaman.

Beberapa saat kemudian, pesanan kami diantar. Tiba-tiba sebuah tangan lain menarik piringku tepat sebelum aku menggapai sendok. Aku mengikuti arah tangan itu dan menatap pemiliknya. Bian menarik kursi di sampingku dan duduk di atasnya.

Aku hanya terdiam, masih tidak mengerti dengan sikap Bian. Dia muncul begitu saja, mengambil makananku dan duduk di sampingku. Ini sungguh tidak masuk akal, bahkan untuk seorang pimpinan. Aku masih cukup waras tidak memakinya di depan banyak orang.

"Ini untukmu." Bian meletakkan sebuah kotak makan di depanku. "Bukalah," katanya lagi saat melihat wajah ragu-raguku.

Kutatap kotak makan itu dan membukanya. Satu set menu  super sehat ada di depanku. Nasi merah, buah, sayur, serta lauk diletakkan di masing-masing kotak kecil yang berbeda. Sungguh, aku bingung harus memberi reaksi seperti apa.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah Theo. Tatapannya ke arahku seperti seorang yang menangkap pasangannya sedang berselingkuh. Posisiku sangat canggung saat ini. Untuk makan siang saja ternyata rumit sekali.

Mataku kembali melirik Bian yang dengan santai melahap nasi campur milikku. Sepertinya dia tidak keberatan dengan puluhan pasang mata yang melihat kami bertiga penasaran. Kurasa dia ingin menegaskan ke seisi perusahaan bahwa aku ada di dalam kendalinya.

Beberapa menit aku terdiam dan berpikir, hingga kuputuskan untuk menutup kembali kotak makan di depanku. "Aku tidak lapar." Bahkan semua ini membuatku sangat mual sekarang.

"Tapi kamu belum makan." Theo tampak terkejut dengan apa yang aku lakukan. Pandangan matanya kembali melembut. Kurasa dia tidak sadar telah membuatku merasa tidak nyaman.

Aku bangkit dari kursiku, bersiap berjalan meninggalkan adegan drama sialan ini.

"Duduk." Suara dingin Bian sejenak membuatku takut. Tapi, kali ini aku harus melawannya.

Aku berjalan meninggalkan meja dan terhenti saat Bian menarik tanganku.

"Aku bilang duduk."

"Lepaskan aku. Biarkan aku pergi. Aku tidak lapar."

Bian menarikku. Dia mengambil kotak makan miliknya dan kembali menyeretku keluar kantin. Aku yang mengerang kesakitan sama sekali tidak dipedulikannya hingga membawaku masuk ke ruanganku. Dia membanting pintu.

"Apa-apaan sih!? Ini di kantor!" teriakku.

Bian membanting kotak makan di tangannya di atas meja kerjaku. "Makan."

"Aku bilang aku tidak lapar! Dan berhenti bersikap kekanakan seperti ini!"

Bian tercengang menatapku.

"Tidak masalah jika kamu bersikap seperti ini di luar, tapi di sini kantormu. Kamu pimpinan di sini. Bagaimana bisa bersikap seperti ini dengan semua mata tertuju padamu?" Aku mencoba mengatur napasku. Kulirik tanganku yang masih dicengkeram Bian.

"Apa kamu tidak tahu kenapa aku selalu bersikap seperti ini padamu?"

"Karena aku milikmu?" Aku tertawa sinis. "Sudah kubilang aku bukan barang!"

Bian berjalan mendekat dan mencium bibirku dengan kasar. Aku gelagapan dan mendorong tubuhnya dengan tanganku yang bebas. Tapi, dia tidak bergeming. Lalu, kulangkahkan kakiku ke belakang untuk menjauh darinya dan akhirnya tersudut ke dinding.

Aku meronta-ronta, memukul Bian. Dia tetap tidak bergeming, bahkan kini dia sudah memegang kedua tanganku. Bibirnya tiba-tiba turun ke leherku, refleks membuatku menghirup udara dengan cepat.

"Hentikan!" Bian melepaskanku. Aku mengatur napasku yang masih tersengal-sengal. "Sebenarnya apa yang kamu pikirkan!?" Sungguh, saat ini aku benar-benar kesal. "Aku bisa saja menendangmu!"

"Lalu, kenapa kamu tidak menendangku?"

Aku terdiam, tidak bisa menjawabnya. Aku tidak tahu.

"Ellen?" Theo tiba-tiba muncul dari balik pintu. Dia tampak khawatir saat melihatku. "Kamu tidak apa-apa?" Dia berjalan mendekatiku.

Bisa kurasakan ketegangan di antara Bian dan Theo. "Makan makanannya." Bian berjalan keluar dari kantorku dan menutup pintunya dengan kencang.

"Pergelangan tanganmu terluka." Theo menyentuh tanganku.

Tanpa kusadari aku menepis tangannya. "Maaf." Kuusap pergelangan tanganku yang terluka. Masih tampak bekas merah dan sedikit luka cengkeraman Bian. "Aku baik-baik saja."

Kali ini pandangan mata Theo beranjak naik, lalu berhenti di leherku. Aku yang menyadarinya, segera menutupi area kiss mark di leherku. Pasti Bian tahu bahwa Theo akan melihatnya. Sial sekali hari ini aku memilih pakaian berleher rendah.

"Apa dia sering melakukannya?" tanya Theo.

Aku tertawa canggung. "Apa maksudmu? Dia tidak melakukan apapun padaku."

"Aku tahu dia pasti sering bersikap kasar padamu. Apa kamu takut dia akan memecatmu jika kamu tidak menurutinya? Dia tidak berhak memperlakukanmu seperti ini. Ini keterlaluan."

"Tidak. Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Maafkan aku."

"Kamu yang terluka. Kenapa selalu minta maaf padaku?"

Pertanyaan itu juga tampaknya sulit untuk kujawab. "Kembalilah ke ruanganmu. Aku tidak apa-apa. Sungguh. Masih banyak yang harus kukerjakan."

Theo hanya menatapku. "Setidaknya, biarkan aku mengobatinya. Lukanya akan membekas kalau tidak segera diobati."

Rasanya, aku seperti sedang naik wahana dengan para pria ini. Kadang seperti naik bianglala, lebih banyak seperti roller coaster. Sesungguhnya, bukan kehidupan percintaan yang akan diimpikan banyak orang. Aku sendiri tidak tahu kenapa mereka terpikat dengan wanita sakit jiwa seperti diriku.

Sex Games with A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang