Aku dengan tenang membaca secarik kertas di tanganku. Kertas itu berisi pesan dari seseorang yang mengirimkanku lukisan wajahku yang sekarang kusandarkan di dinding. Tulisannya tidak begitu banyak. Hanya sebuah kalimat 'hadiah untukmu' dan nama Adam Margo dengan tulisan tangan yang indah.
Sudah sangat jelas pria itu menaruh hati padaku. Bukan hanya melukis wajahku, tapi dia sampai repot-repot menyelidiki tempatku bekerja. Sebentar lagi, dia pasti akan dengan berani muncul di depanku. Aku sudah biasa menghadapi pria yang bersikap seperti ini padaku. Hanya saja aku ingat bahwa pria bernama Adam itu memiliki karakteristik yang lebih unik. Penolakan apapun tidak akan mempan padanya.
Kupikir-pikir, Adam dan Bian memiliki sisi yang sama dalam hal itu. Mereka berdua tidak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang mereka mau. Seperti yang sudah kutahu, Bian akan mengeluarkan jurus kejam-romantisnya, sedangkan Adam mungkin hanya akan bermuka tebal. Aku masih belum sepenuhnya mengetahui sifat aslinya. Kenapa sifat semua pria kaya itu serupa?
Aku menghela napas panjang. Firasatku mengatakan, aku harus menghindari pria bernama Adam itu. Tidak ada gunanya menambah daftar pria yang akan kutolak saat ini, terutama pria keras kepala dan semacamnya. Memang sudah waktunya aku bertobat. Semenjak penyakit mentalku kambuh, memang seks menjadi salah satu 'obat' yang berefek positif. Tapi, aku belum siap menghadapi rumitnya berhubungan dengan lebih dari satu orang. Saat ini, Bian sangat cukup untukku. Aku akan memikirkannya kembali jika hubunganku dan Bian memburuk.
Mataku beralih kembali ke lukisan di dekatku. Apa yang harus kulakukan dengan itu? Aku tidak bisa membuangnya karena lukisan itu adalah wajahku. Jika aku mengembalikannya, lukisan itu mungkin akan membuat kesalahpahaman pada orang lain. Memberikannya pada seseorang juga bukan solusi. Siapa yang menginginkan lukisan wajahku sebesar itu di dinding rumah mereka? Tentu saja, kecuali dia maniak atau bucin padaku.
Kak Rio atau Kak Sam pasti akan senang jika aku memberikan lukisan itu pada mereka. Tapi, deretan pertanyaan interogasi akan menyertainya. Jika aku tidak menjawabnya, mereka pasti akan mencari tahu jawabannya sendiri. Semua hal yang sedang kurahasiakan pasti akan terbongkar. Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku sakit.
Aku berjalan ke arah lukisan itu dan membaliknya menghadap dinding. Akan kupikirkan lagi nanti. Sementara, aku memilih untuk menyimpannya seperti ini di ruangan kantorku.
"Ellen." Seseorang tiba-tiba membuka pintu ruanganku tanpa mengetuk terlebih dahulu. Hanya satu orang yang melakukan hal ini di kantor. Bian.
Tanpa kusadari, aku segera meremas kertas di tanganku dan membuangnya ke tempat sampah di dekatku. Entah kenapa aku merasa sangat takut Bian akan mengetahui hal ini. Padahal, hubungan di antara kami belum jelas sama sekali walaupun dia sudah menyatakan perasaannya padaku. Bisa saja aku bersikap seperti biasa, seperti yang dulu sering kulakukan pada setiap pria yang mendekatiku.
"Ada apa?" tanyaku. Ada sedikit kegugupan di suaraku. Refleks, aku berdiri di depan lukisan, berusaha sedikit menutupinya, walaupun jelas sekali bingkai sebesar itu tetap akan terlihat oleh Bian.
"Kamu membeli lukisan baru?" tanyanya.
"Ada yang memberikannya padaku."
Bian menatapku, seperti sedang membaca pikiranku. "Dari pria?"
Aku mengalihkan pandanganku. "Ya."
Bian berjalan mendekatiku. Dia membalik kembali lukisan di belakangku. "Ini kamu." Pria itu mengamati lukisan itu dengan cermat. "Adam Margo." Dia membaca tanda tangan si pelukis di sudut lukisan. "Pria itu melukismu dan memberikannya padamu." Bian mengalihkan pandangannya ke arahku. "Aku akan mengambil lukisan ini."
"Mau kamu apakan?"
"Tentu saja memajangnya."
"Kamu nggak kesal?"
"Sangat kesal. Tapi, aku tidak bisa membuang lukisan ini. Ini kamu," kata Bian dengan tenang.
Ada apa dengan dia? Akhir-akhir ini Bian bersikap sangat baik padaku. Pasti terjadi sesuatu yang tidak kuketahui.
"Kemarilah." Bian memeluk pinggangku agar mendekat ke arahnya. Dia mengeluarkan ponselnya dari tangan lainnya. "Senyum." Rupanya dia mengajakku berswafoto dengan latar belakang lukisan. Dia tampak senang melihat hasil foto yang diambilnya sangat bagus.
"Foto itu untuk apa?" tanyaku, penasaran dengan apa yang sedang dipikirkan pria itu saat ini.
"Aku akan mengunggahnya di sosial media. Tentu saja aku harus tag sang pelukis." Bian kembali asyik dengan gawai di tangannya.
Refleks, tubuhku semakin mendekat ke arah Bian agar dapat mengintip apa yang sedang dilakukan dengan gawainya itu. Seperti yang dia bilang, dia mengunggah foto itu dan memberikan tag pada akun milik Adam. Sebelumnya, dia menuliskan caption berupa ucapan terima kasih atas hadiah yang diberikan sang pelukis.
Kulirik Bian sebentar. Pria itu tampak sangat senang sekarang. Dia masih kejam. Hanya saja kali ini dia melampiaskannya pada orang lain, bukan padaku. "Cute," gumamku. Entah kenapa sekarang aku menganggap sikap pencemburunya itu sangat manis.
"Apa?" Bian sepertinya mendengar gumamanku itu.
"You're so cute."
Bian memicingkan matanya ke arahku. Dia meletakkan gawainya kembali ke dalam saku jasnya dan kembali memeluk pinggangku. "Apa kamu akan berpikiran sama jika aku melakukan ini padamu?" Pria itu mencium bibirku dengan ganas.
Aku sedikit terkekeh di tengah ciuman itu. "Ya, you're still cute for me." Kubalas ciuman Bian dan merasa semakin bersemangat.
"Bagaimana dengan ini?" Bian mengangkat tubuhku dan melingkarkan kakiku di pinggangnya, membuatku semakin tertawa lebar. Pria itu membawaku ke atas meja kerja dan kembali menciumku.
Tangan Bian melepas kancing blusku satu persatu hingga menampakkan bra berwarna putih di baliknya.
"Ellen, kamu sudah tahu--" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang masuk ke ruanganku saat tangan Bian mulai mencoba menurunkan celanaku.
Aku dan Bian langsung mematung. Bian melepaskan ciumannya dan tampak menatap seseorang di belakangku. "Kami sedang sibuk, Alin." Wajah Bian mengeras. Bian versi lembut berubah menjadi Bian versi bos. Padahal, dia sedang tertangkap basah melakukan hal seperti ini di kantor.
"Ma-maaf." Aku bisa mendengar Alin tergagap. "Sa-saya tidak tahu Pak Fabian di sini."
"Lalu, kamu akan terus berdiri di situ dan melihat kami berhubungan seks?"
"Ti-tidak, Pak. Saya akan keluar sekarang juga." Terdengar pintu ruanganku kembali ditutup. Sepertinya, Alin sudah berjalan keluar ruanganku.
"Bukankah itu terlalu kejam?" tanyaku.
"Jadi, aku tidak cute lagi?" tanyanya balik.
Aku tersenyum dengan lelucon pria itu. "Kita akan melanjutkannya atau bagaimana? Jika ini berlanjut, sebaiknya salah satu dari kita mengunci pintu itu terlebih dahulu."
"Biar saja. Lagipula, mereka semua harus tahu kalau saat ini Bu Ellen sedang sibuk denganku." Kali ini, Bian langsung mengecup leherku. "Hari ini, kamu memilih pakaian yang konservatif. Tapi, pilihan pakaian dalammu sangat berbanding terbalik. Apa kamu memakai pakaian dalam menerawang untuk menggodaku?"
"Bukankah kamu lebih suka aku yang tidak memakai bra? Apa seleramu berubah?"
Tangan Bian menurunkan celanaku dengan cepat. "Tidak. Apapun yang kamu pakai atau tidak pakai akan selalu membuatku tergoda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...