Bab 18

6.2K 201 1
                                    

Bian tampak sedang fokus dengan notebook di depannya, hingga tidak menyadari aku yang terbangun dan sedang duduk menatap punggungnya. Dia mengetik sesuatu dengan hanya menggunakan celana pendek tanpa atasan, menunjukkan otot-otot punggungnya yang menawan. Bahkan lengannya terlihat tidak cocok bersebelahan dengan benda elektronik itu.

"Aku sudah menyuruhmu untuk kembali ke kantor, kan?" tanyaku, membuat Bian terkejut. Dia hampir menjatuhkan ponsel yang dia letakkan di samping tangannya.

"Aku akan menyelesaikan ini sebentar lagi."

Ini mungkin hari libur untuk karyawan sepertiku, tapi tidak untuk Bian. Aku tahu dia harus menyelesaikan pekerjaannya walaupun hari ini adalah tanggal merah atau hari raya keagamaan. Sulit bagi seseorang yang menjadi calon pemimpin perusahaan di masa depan untuk tidak bekerja di hari libur. Aku mengetahuinya karena itulah kehidupan yang dijalani Kak Sam seumur hidupnya. Tidak heran hingga saat ini Kak Sam belum memutuskan untuk mencari pasangan.

Aku mendapati diriku masih memakai bikini yang sama, hanya saja Bian sudah membersihkan pasir-pasir yang menempel di tubuhku. Tetap saja tubuhku terasa lengket dan gerah di ruangan ber-AC ini.

Tanpa mengacuhkan kehadiran Bian di kamarku, aku melepas bikiniku begitu saja tanpa selembar kain penutup apapun. Aku yakin, mata Bian kini sudah tidak lagi fokus dengan layar di depannya, melainkan menatapku secara terang-terangan. "Aku tidak melakukannya untuk menggodamu," kataku saat tatapan mata biru itu mengarah dengan jelas ke payudaraku.

Aku berjalan masuk ke kamar mandi dan segera membersihkan diriku di bawah shower. Sisa-sisa pasir di rambut dan tubuhku mengalir bersama air, membuatku merasa lebih nyaman. Kuarahkan wajahku tepat di depan shower. Dengan mata terpejam, aku bisa merasakan titik-titik air hangat itu menyentuh kulit wajahku.

Kudengar pintu kamar mandi terbuka dan mendapati sebuah tangan memijat payudaraku tidak lama setelahnya. Aku menoleh dan melihat sosok Bian di balik bahuku. "Aku sudah bilang, aku tidak melakukannya untuk menggodamu."

"Ya. Aku tahu." Aku merasakan benda tegang di pantatku. "Sayangnya, adik kecilku tidak bisa mendengarnya."

Aku berbalik dan menatap kedua mata biru itu dengan air yang masih mengalir di atas kepala kami. "Ini liburanku bersama Theo. Seharusnya, kamu tidak di sini."

"Aku mengizinkanmu kencan bersamanya bukan berarti aku akan mundur dan mengalah. Kamu tetap milikku. Walaupun Kak Sam menyuruhmu menikah sekalipun, kamu tetap milikku. Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuhmu selain aku."

Bian membuatku berjalan mundur hingga punggungku menyentuh dinding marmer dingin. Mata biru itu masih menatapku dengan lekat. Salah satu lengannya bertumpu di dinding di dekat kepalaku. Aku bisa melihat lengan itu terbentuk sempurna dengan titik air yang membasahinya.

Jantungku berdegup dengan cepat. Siapa mengira aku merasa sangat tergoda dengan tubuh di depanku. Rasanya seperti sedang menatap cokelat yang sudah sering kumakan, tapi selalu membuat ketagihan dan ingin memakannya lagi.

Aku tidak bisa mengingat hari terakhir haidku. Sepertinya sejak aku kembali tidak waras, haidku juga menjadi tidak teratur. Mungkin sebentar lagi, aku akan mendapat haidku kembali. Kurasa itulah alasan kenapa hormon estrogen di dalam tubuh membuatku seharian ini merasa bergairah.

"Lihatlah bagaimana tubuhmu bereaksi sekarang." Bian menyeringai. Dia menyentuh puting payudaraku dengan jarinya. Sepertinya dia menyadari bagian sensitif itu sudah menegang sejak tadi. "Bagaimana kamu bisa menyembunyikan hal seperti ini di hadapan pria lain?"

"Hentikan." Aku mencoba menyingkirkan jari Bian sebelum tubuhku menginginkan lebih dari sekedar sentuhan. "Kumohon pergilah."

"Tidak akan." Bian mencium bibirku.

Tubuhku yang menginginkan kembali sentuhan Bian, bereaksi membalas ciuman itu. Aku bisa melihat senyuman di sudut bibirnya. Dia tahu aku tidak akan bisa menolak dirinya.

Samar-samar, terdengar sebuah ketukan pintu dari arah luar kamar. Ketukan itu bersamaan dengan namaku yang terus dipanggil berulang-ulang oleh si pengetuk pintu. Aku sedikit mendorong tubuh Bian yang tidak ingin berhenti menciumku. Tanganku pun mematikan kran air agar mendengar suara itu lebih jelas.

"Itu Theo," kataku. "Aku harus membukanya." Aku segera mengambil handuk baru dari rak di atas closet dan melilit tubuhku. "Bisakah kamu bersembunyi di sini untukku?"

Bian berkacak pinggang dan menatapku tidak percaya. "Biarkan saja dia tahu kalau aku sedang bersamamu."

"Ini cuma dua minggu. Kamu harus sedikit mengalah padanya. Please? Aku akan mengabulkan satu permintaanmu, ok?" Rasanya, aku tidak pernah memohon pada Bian seperti ini. Mendengar ketukan dan panggilan terus menerus yang dilakukan Theo berkali-kali di balik pintu membuatku menjadi semakin tidak sabar mendengar jawaban Bian. "Please?"

"Dua permintaan."

Aku membelalak pada Bian. Bisa-bisanya dia menawar di saat seperti ini. "Baik. Dua. Jadi, tolong tetap di dalam sini sebentar." Aku berlari mencari barang-barang Bian yang tercecer di sekitar kamar, seperti pakaian miliknya, notebook, dan sandal yang dia gunakan. "Sebentar!" seruku saat Theo terdengar hampir menyerah mengetuk pintu. Kumasukkan semua barang Bian ke dalam lemari kosong hotel. Saat itu, aku terkejut melihat leherku yang penuh dengan kiss mark dari pantulan cermin besar di dekat lemari. Aku berlari kembali mengambil handuk lain dan menutupi leherku.

Sedikit gugup, aku membuka pintu kamarku. Theo yang sebelumnya tampak khawatir, kini dia tersenyum lega melihatku dengan tubuh basah dan hanya tertutup handuk. Mungkin dia mengira aku marah padanya, atau lebih buruk, aku meninggalkannya pulang.

"Sorry, aku sedang mandi dan tidak mendengarmu tadi. Mau masuk?" tanyaku.

"I'm fine. It's okay. Aku hanya memastikan keadaanmu karena kamu tadi pergi begitu saja. Kamu bahkan tidak menjawab ponselmu. Jadi, aku sedikit khawatir."

Aku merasa sangat buruk sekarang. Di saat pria di depanku mengkhawatirkanku, aku malah asyik bersetubuh dengan pria lain. Liburan ini benar-benar kacau.

"Maukah kamu makan malam bersamaku nanti?" tanya Theo. "Kurasa kita menjadi sedikit canggung setelah kejadian tadi. I'll fix it."

Aku mengangguk pelan. "Ya. Baiklah."

"I'll pick you up at 7, ok?"

"Ok."

Theo menutup pintu kamarku dengan senyuman lebar tersungging di wajahnya. Sedangkan aku yang sedari tadi berpura-pura tersenyum, merasa lega karena Theo sama sekali tidak menyadari kehadiran Bian sama sekali. Aku benar-benar wanita jahat. Kakiku lemas dan terduduk di dekat pintu. Mungkin aku harus mengakhiri hubungan dua minggu ini dengan cepat.

Bian muncul dari kamar mandi dengan lilitan handuk di pinggangnya. Dia menatapku beberapa lama. "Aku akan memakai satu permintaanku." Dia berjalan mendekat ke arahku. "Batalkan makan malam itu dan makan malamlah bersamaku."

Aku mendengus kesal. "Kenapa kamu melakukan hal ini padaku?" tanyaku.

"Kamu hanya akan terus memberikannya harapan kosong. Sebaiknya hentikan semua ini sekarang dan kembali pulang bersamaku."

"It's only two weeks! Aku janji, setelah itu aku akan menjauhinya. Benar-benar menjauhinya."

"One week! I'll only give you one week! Setelah itu, aku akan berbuat sesukaku. Walaupun kamu memohon dan berlutut, aku tidak akan bersembunyi seperti tadi lagi."

Sex Games with A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang