Bab 25

4.1K 145 3
                                    

Kuhabiskan semua makanan yang disajikan pelayan dengan setengah hati. Semua makanan itu lezat, hanya saja perasaanku sedang tidak baik saat ini, terutama saat melihat wajah pria yang sedang duduk di depanku. Pria itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum dan hampir selalu menatapku.

"Kamu menghabiskan semua makanan dengan cepat," komentar Adam. "Sebegitunya ingin cepat pergi dari sini?"

"Maafkan aku. Aku harus pulang tepat waktu sebelum jam malam," kilahku, mencoba tidak terpancing emosi dan tetap bersikap tenang. Saat seperti ini, aku merasa beruntung Kak Sam memberikan semua aturan-aturan itu padaku. Walaupun aku yakin jam malam yang ditetapkan Kak Sam masih cukup lama, tapi aku tidak ingin menghabiskan malamku bersama pria yang tidak kusukai.

"Jam malam, ya? Apa karena penyakitmu?"

Dia juga tahu soal penyakitku? Aku tidak tahu informasi apa yang Adam dapat tentang penyakit yang kuderita. Mungkin saja dia hanya mendapat informasi tentang penyakit palsuku yang kulaporkan untuk cuti, bukan penyakit asliku. Tapi, aku memilih untuk tidak merespon pertanyaan itu. Walaupun cukup terkejut, aku mencoba tetap tenang dan menjaga ekspresi wajahku. "Terima kasih untuk makan malamnya." Aku menyunggingkan sebuah senyuman bisnis. "Biasanya aku akan mengatakan 'sampai jumpa', tapi tidak untuk kali ini. Aku harap kita tidak akan bertemu lagi, karena aku sama sekali tidak menyukaimu."

Adam sama sekali tidak terusik dengan ucapanku. Senyum menyebalkannya masih menghiasi wajah cantiknya itu. "Tidak peduli kamu menyukaiku atau tidak, selama aku menginginkanmu, aku pastikan kita akan bertemu lagi."

Percaya diri sekali! "Selamat tinggal." Aku bangkit dari dudukku dan berjalan keluar dari restoran menuju lobi hotel. Langkah kakiku berhenti di depan seorang pria berseragam hitam yang sedang duduk membaca koran di salah satu sofa panjang berwarna merah.

Pria itu mengalihkan pandangannya dari lembaran kertas besar di tangannya ke arahku. "Sudah selesai?" Mas Indra pasti merasa aneh karena waktu yang kuhabiskan di restoran tidak selama perkiraannya.

"Ya. Ayo, kita pulang," kataku, tiba-tiba merasa kesal mendengar pertanyaan pria itu.

Terlihat jelas raut wajah Mas Indra tampak kebingungan. Aku yakin banyak pertanyaan yang ingin dia lontarkan dari benaknya saat ini. Tapi, dia mengurungkannya dan bangkit dari duduknya. "Saya akan mengambil mobil dulu. Tunggu sebentar, ya, Mbak."

Tidak perlu waktu lama hingga Mas Indra muncul dengan mobil yang dikemudikannya. Aku segera masuk di kursi di sampingnya dan memasang seatbelt. Mas Indra terlihat beberapa kali mencuri pandang ke arahku. Jelas sekali pria itu masih penasaran dengan apa yang terjadi.

"Tanya saja," kataku.

Mas Indra terkejut dengan ucapanku. Dia terdiam sebentar sebelum akhirnya mengeluarkan pertanyaan pertamanya. "Mbak Ellen nggak jadi makan?"

"Jadi. Aku makan dengan sangat cepat." Aku bahkan melupakan wine di gelasku.

Dahi Mas Indra mengernyit. "Biasanya Pak Samuel kalau makan malam dengan klien bisa sampai 2 hingga 3 jam." Kali ini adalah pertanyaan yang tersirat di dalam pernyataan.

"Sayangnya, aku tidak makan bersama klien. Kalau Kak Sam minta laporan, bilang saja Mika tidak datang dan aku makan sendirian."

"Mbak Ellen makan sendirian?"

Aku menghela napas panjang. "Anggap saja begitu," gumamku. Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela, menatap sepasang sejoli yang sedang berboncengan mesra di atas sepeda motornya. Diam-diam aku merasa iri dan kesal. Aku pun berharap malam ini akan terjadi hujan badai, sehingga pasangan sejoli itu bisa mengerti perasaan yang sedang kurasakan saat ini.

Tiba-tiba saja aku merindukan Bian. Padahal baru sore tadi dia mengantarku pulang. Dia juga berbicara cukup lama dengan Kak Sam. Aku penasaran apa yang tadi mereka bicarakan. Mereka berbicara empat mata di ruang kerja Kak Sam tanpa melibatkan aku. Itu membuat banyak pertanyaan di otakku. Tapi, aku sama sekali tidak berani menanyakannya pada Kak Sam maupun Bian.

Setibanya di rumah, aku memilih segera masuk ke dalam kamarku dan mengunci diri. Aku mengabaikan panggilan Kak Sam dan Kak Rio yang sedang berada di ruang tengah, menonton film. Mereka selalu melakukannya berdua seperti tim para jomblo kesepian. Kadang aku ikut melakukannya jika moodku sedang baik. Sayangnya, malam ini cukup dengan bertemu Adam membuat suasana hatiku menjadi buruk. Aku tidak ingin pertanyaan demi pertanyaan akan semakin memperburuk malam mingguku.

Dress di tubuhku segera kuganti dengan gaun tidur berenda tanpa lengan. Saatnya menghubungi Mika dan meminta pertanggung-jawaban atas pertemuanku dengan Adam. Aku harus yakin bahwa alasan dia melakukan semua itu bukan hanya karena masalah perusahaannya, tapi juga karena dia diperbudak gebetan barunya, Bayu.

Dering nada tunggu masih berlanjut beberapa lama. Berkali-kali panggilan teleponku sengaja ditolak, hingga panggilan ke-26 kalinya. Kali ini hanya operator yang menjawab bahwa panggilan berada di luar jangkauan. Jelas sekali gadis itu mematikan ponselnya, tidak ingin berbicara denganku.

Sebenarnya, aku tidak heran dengan situasi ini. Berkali-kali Mika dimanfaatkan para pria yang disukainya. Berkali-kali juga aku mengomelinya untuk segera menjauh dari para pria itu. Tentu saja, tidak satupun omelanku digubris karena dia sedang mabuk cinta. Pada akhirnya, hubungannya selalu kandas dan dia akan merengek meminta bantuanku.

Aku yakin kali ini endingnya akan sama. Cepat atau lambat, pria bernama Bayu itu akan mematahkan hati sahabatku. Tidak akan ada hubungan yang berjalan lancar jika hanya satu pihak saja yang mencurahkan hatinya. Bagaimanapun juga, aku harus berbicara dengan Mika secepatnya. Kuputuskan untuk mengirimkan beberapa pesan, berharap sahabatku satu-satunya itu membaca salah satunya dan segera meneleponku balik.

Kujatuhkan diriku di atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang dicat putih. Sangat kontras dengan lampu gantung yang berwarna hitam. Terbersit untuk meminta bantuan Bian. Aku rasa pria itu pasti tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi, dia pasti akan sangat marah jika mengetahui apa yang terjadi di restoran.

Baru saja aku mengurungkan niatku untuk menghubungi Bian, sebuah panggilan masuk muncul di layar ponselku. Aku mengangkat tanganku dan mendapati pria yang sedang kupikirkan itu menghubungiku. Dahiku mengernyit. Apa dia sudah tahu?

Aku bangkit dan duduk di pinggir ranjang sebelum menekan tombol hijau di layar ponselku. "Halo?" Entah kenapa perasaanku tiba-tiba menjadi gugup, seperti seorang murid yang ketahuan gurunya menyontek saat ujian.

"Kamu dimana?" Suara berat Bian terdengar tenang di seberang telepon.

"Di kamar. Ada apa?"

"Aku tahu, dua jam yang lalu, kamu makan malam bersama Adam."

Walaupun aku sudah bisa menebaknya, tetap saja mendengarnya langsung seperti ini membuat jantungku berdetak sangat cepat. Aku menelan ludah. Otakku mencoba berpikir cepat mencari respon terbaik yang harus kuberikan pada Bian. Terlepas dari hubungan tanpa nama di antara kami, aku tidak ingin dia mengira makan malam itu untuk mengkhianatinya.

"Adam mengirimkanku beberapa foto kalian berdua saat makan malam," lanjut Bian. "Tapi, sepertinya kamu tergesa-gesa menghabiskan makananmu."

Mataku mengerjap. Apa itu terlihat jelas di foto? "Karena aku ingin segera pergi," kataku pelan.

"Ya. Aku tahu. Pelayan yang melayani meja kalian mengatakan semua pembicaraan kalian berdua."

"Kamu menginterogasi pelayan itu?" Aku masih ingat pelayan berseragam hitam-putih yang hampir selalu berdiri di sisi meja untuk menuangkan wine ke dalam gelas Adam. Aku mengabaikannya karena terlalu fokus menghabiskan makananku.

"Ya."

Itu pergerakan yang cepat. Sepertinya Bian bisa membuka usaha sampingan lain menjadi detektif swasta.

"Tetap saja aku marah kamu bisa jatuh ke dalam perangkap konyol itu." Suara Bian terdengar dingin. "Seharusnya, kamu mengatakannya padaku terlebih dulu."

"Aku juga berpikir itu konyol."

"Sementara, tidak usah memikirkan Mika. Biar aku yang mengurusnya."

Sex Games with A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang