Bab 21

5.6K 186 1
                                    

Aku menyesap kopi di mug di tanganku sembari mengamati pemandangan halaman belakang Bian. Suasananya terlihat sangat jauh berbeda dengan malam sebelumnya. Dengan langit yang cerah, menggodaku agar segera keluar dari rumah sambil mengenakan bikini untuk bermain air.

Sebuah tangan melingkari pinggangku. "Good morning." Bian menyingkirkan rambut yang tergerai di punggungku agar dapat mengecup tengkuk leherku.

"Kopi?" tanyaku, tidak begitu peduli dengan tangan Bian yang meraba naik hingga payudaraku.

"Aku sedang menginginkan hal lain." Tangan Bian meletakkan mug di tanganku ke atas kabinet dapur. Dia membalik tubuhku agar berdiri berhadapan dengannya. "Bagaimana bisa kamu membuat piyama biasa terlihat seperti pakaian tidur seksi?" Dengan mudah, dia mengangkat tubuhku dan mendudukkanku di atas kabinet. Bian berdiri di antara dua kakiku. Bibirnya mengecup lembut bibirku.

"Apa kamu akan melakukan ini setiap hari jika aku memilih tinggal serumah denganmu?" tanyaku, menatap pria di depanku yang terlihat sangat tampan di pagi hari.

Bian membenamkan wajahnya di leherku. "Tentu saja." Dia menyapu setiap jengkal kulitku dengan bibirnya. "Ini salah satu kegiatan yang menyenangkan." Salah satu tangannya menelusup masuk ke balik atasanku. Bian memijat lembut payudaraku.

Sensasi menyenangkan saat jari Bian memainkan putingku, membuatku mengerang pelan. Setelah benda itu menegang di tangannya, dia dengan tidak sabar melepaskan atasanku, melemparkannya sembarangan ke lantai. Kini terpampang jelas dua bukit kembarku di hadapannya. Bian dengan semangat, memainkan puting lainnya dengan lidahnya. Refleks, aku membusungkan dadaku agar Bian dapat dengan mudah menjamahnya.

Tangan Bian turun ke pinggangku. Dia menurunkan celanaku dengan cepat menggunakan bantuanku, menyisakan celana dalam renda berwarna biru langit.

Bian menurunkan tubuhnya hingga kepalanya berada tepat di depan pangkal pahaku. Dia tidak melepaskan celana dalamku, cukup menariknya sedikit agar lidahnya dapat menyentuh klitoris. Kedua kakiku diangkatnya. Sedangkan tanganku kini mengambil alih payudaraku sendiri.

Tidak hanya lidah, jari Bian pun kini dengan berani masuk ke dalam liang vaginaku. Satu jari, dua jari, kemudian tiga jari. Mulutku sama sekali tidak berhenti mengeluarkan desahan-desahan erotis. Setelah Bian mengetahui G-spotku terakhir kali, kini dia dengan mudah bermain di area yang sama. Sudah sangat jelas bahwa Bian benar-benar menguasaiku.

"Dapurmu nanti basah," kataku di tengah desahan.

"Seseorang akan membersihkannya nanti." Gerakan jari Bian semakin cepat.

Aku tidak bisa menahan keluarnya cairan dari dalam tubuhku. Bian pun membersihkan tubuhku yang basah dengan lidahnya. Tapi, aku memilih turun dari kabinet dan menurunkan sedikit celana Bian.

Tanganku mengeluarkan penis Bian yang sudah tegang. Benda itu terlihat lebih besar dari yang kuingat. Kumasukkan benda itu ke dalam mulutku. Mulutku yang kecil hanya bisa mengulumnya setengah bagian. Setengahnya lagi, hanya kupijat menggunakan tanganku. Pantas saja penis Bian selalu menyentuh dinding rahimku dan terasa penuh di vaginaku.

Aku mempercepat gerakan mulutku. Biasanya, tidak ada pria yang pernah tidur bersamaku bisa menahan ejakulasi setelah aku melakukan hal ini pada mereka. Beberapa dari mereka bahkan membuat permintaan khusus agar aku melakukannya di tempat umum, seperti bioskop atau di toilet umum. Tentu saja aku akan melakukannya jika aku memang menyukainya.

Tapi, penis Bian sama sekali berbeda. Dia bisa menahannya cukup lama bahkan saat tanganku merangsang area sensitif lain di tubuhnya. "Kemarilah." Dia mengangkat tubuhku kembali ke atas kabinet dapur. Bian mengangkat salah satu kakiku ke atas bahunya dan segera menghujamkan benda miliknya itu ke dalam tubuhku. "Seksi sekali," katanya saat dapur dipenuhi suara desahanku.

"Aku mau keluar," kataku setelah Bian menjadi bersemangat mengocok penisnya di dalam tubuhku. Tubuhku bergetar. Kurasakan dinding vaginaku menyempit sesaat sebelum akhirnya mendapat klimaksku. Tapi, itu semua sama sekali tidak menghentikan Bian.

Bian menurunkan kakiku dari bahunya. Dia melingkarkan tanganku di lehernya. Dia mengecup bibirku dengan rakus. Bersamaan dengan itu, dia mengangkat kedua pahaku dengan mudah dan membawaku bersandar di dinding.

Posisi ini membuat penis Bian terasa masuk semakin dalam. Gairahku kembali datang saat Bian menelusuri leherku dengan bibirnya. "Enak sekali, Bi," kataku saat Bian kembali menggerakkan pinggulnya semakin cepat. "Aku akan keluar lagi."

Bian tidak merespon ucapanku. Dia masih fokus menggerakkan pinggulnya, hingga kurasakan cairan hangat menyembur di dalam tubuhku. Rupanya, Bian pun akhirnya mencapai klimaksnya.

Bian menurunkanku. Kami berdua bertatapan sambil mengatur napas. Kurasakan cairan mengalir keluar dari vaginaku. Mungkin saja cairan itu sudah menetes hingga di lantai dapur.

Aku mengecup bibir Bian sebentar. "Terima kasih sarapannya." Aku mengambil pakaianku yang berserakan di lantai. Kuabaikan lantai yang basah itu dan segera berjalan pergi kembali ke kamarku.

***

Aku berjalan menuruni tangga. Rumah ini masih tampak sepi. Aku sama sekali tidak bertemu Bian sejak seks tadi pagi. Kami berdua bahkan melewatkan waktu sarapan. Entah bagaimana kondisi dapur sejak saat itu.

Kakiku melangkah ke arah dapur. Area itu sudah bersih seperti semula. Aku menoleh kesana kemari mencari seseorang yang bertanggung jawab telah membersihkannya. Mungkin saja ada seorang asisten rumah tangga yang tidak kuketahui, muncul di suatu tempat. Tapi, tidak ada siapapun. Sepertinya, Bian sendiri yang membersihkannya.

Lagi-lagi, aku bertanya-tanya tentang keberadaan pria itu. Bisa saja dia saat ini sedang sibuk di kamarnya dengan urusan pekerjaan. Aku tidak akan mengganggunya dan memilih menikmati waktu kesendirianku.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah meja makan. Sudah tersedia beberapa makanan di atasnya. Apa mungkin Bian tadi mengajakku sarapan, tapi aku tidak mendengarnya karena ketiduran? Semoga saja pria itu tidak kesal karena aku mengabaikannya.

Saat ini, makanan-makanan itu harus menunggu. Aku sudah bersiap untuk berenang dan memakai bikiniku. Pasti akan menjadi bencana jika aku memutuskan makan terlebih dahulu. Lagi pula, perutku tidak terlalu lapar. Mungkin, karena efek kopi yang kuminum tadi pagi.

Aku berjalan ke halaman belakang. Kubuka jubah mandiku dan meletakkannya di atas sun lounger, menampakkan bikini two piece bermotif floral yang jauh lebih terbuka dari yang kupakai kemarin. Kurasa tidak akan menjadi masalah jika aku memakainya di sini. Kemungkinan besar yang akan melihatnya hanyalah Bian. Toh, dia sudah melihat tubuhku tanpa busana.

Dengan pelan, aku mencelupkan kakiku di pinggir kolam. Cukup menyenangkan berada di kolam besar sendirian seperti ini. Aku tidak bisa seperti ini jika memakai kolam renang di rumah orang tuaku. Semua orang akan mengomeliku jika melihatku memakai bikini.

Kali ini, aku mencoba turun dari pinggir kolam. Aku mulai berenang dari ujung ke ujung. Aku bahkan tidak menyadari kehadiran Bian yang ternyata sudah berdiri di pinggir kolam renang. Dia tersenyum menatapku dan melepas atasannya. Tanpa peringatan, dia langsung menjeburkan dirinya ke dalam air, lalu berenang menghampiriku di ujung kolam.

"Bagaimana tidurmu?" tanya Bian.

"Kamu tahu kalau aku ketiduran?"

"Tentu saja. Kamu tidak mengunci pintumu. Bagaimana jika ada orang lain melihatmu tidur hanya mengenakan pakaian dalam seperti itu?"

Aku mengernyit. "Hanya kamu yang ada di sini."

Bian memeluk pinggangku. "Kenapa kamu tidak memakai ini saat di pantai? Bukannya kamu senang semua orang melihat kemolekan tubuhmu?"

Lagi-lagi Bian bersikap sarkastik.

"Haruskah aku memakai bikini saat ke kantor besok?" Aku menantang pria itu.

"Jangan coba-coba."

Aku tersenyum. Sebelumnya, Bian mencoba memperolokku dengan menyuruhku berpakaian seksi ke kantor agar membuatku jera. Kenyataannya, dia sendiri yang tidak bisa mengontrol emosinya setiap aku melakukannya. Dia terjebak di dalam permainannya sendiri. "Aku tahu kamu menyukainya. Bukankah begitu?"

Sex Games with A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang