"Bagaimana keadaan Irvin?" tanyaku pada Kak Sam. Dia baru saja dihubungi oleh pihak kepolisian. Sepertinya, dia harus mengurus sesuatu yang berhubungan dengan penculikanku.
"Dia masih dioperasi karena pisau yang menusuknya mengenai organ penting," kata Kak Sam. Dia menatapku. "Kamu mengkhawatirkan penculikmu?"
"Tidak. Kupikir dia masih harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Hanya dia yang tahu lokasi jasad anak-anak perempuan itu." Aku tidak peduli Irvin mati atau tidak. Tapi, banyak keluarga korban lain yang masih menunggu kabar tentang anak-anak mereka. Terutama karena Irvin menganggap mereka semua sebagai penggantiku.
"Jangan menyalahkan dirimu. Mereka meninggal bukan karena kamu. Irvin yang membunuhnya. Titik." Kak Sam seperti bisa membaca pikiranku.
"Ya. Aku tahu." Tetap saja rasa bersalah itu terus menyerangku. "Bagaimana keadaan Mas Indra dan penjaga lainnya?" Tiba-tiba saja aku teringat saat detik-detik penculikan terjadi.
Kak Sam menggeleng pelan. "Mereka tidak selamat. Hanya Indra yang sedikit beruntung karena lukanya tidak terlalu dalam. Tapi, sampai saat ini dia masih belum sadar. Dokter bilang, kemungkinan besar penyebabnya karena dia kehilangan banyak darah."
Pintu kamar terbuka. Bian yang sejak beberapa saat lalu mengurus semua dokumen rawat inapku akhirnya kembali. Pria itu berjalan mendekati Kak Sam dan mengatakan sesuatu padanya yang tidak bisa kudengar. Urusan kedua pria itu pasti sangat banyak saat ini. Selain bertanggung jawab menjalankan perusahaan keluarga masing-masing, mereka juga masih harus mengurusku.
Aku sudah biasa untuk tidak tersinggung karena tidak diajak ikut bicara. Aku hanya merasa lega bisa melihat mereka berdua jauh lebih dekat setelah insiden tragedi ini. Kedua orangtuaku tampaknya juga tidak mempermasalahkan hubunganku dengan Bian. Kurasa aku terlalu awal untuk menyimpulkan. Tapi, setidaknya mereka tidak menampakkan penolakkan apapun pada Bian saat ini.
"Kakak akan mengurus sesuatu dulu," kata Kak Sam. Dia berjalan mendekatiku, lalu mengecup keningku. Matanya menatapku sendu. "Maaf, membuatmu harus mengalami semua ini."
Aku menarik tubuh Kak Sam dan memeluknya. "Kakak melarangku menyalahkan diri sendiri, padahal Kakak juga melakukannya." Banyak hal yang sudah dilakukan Kak Sam sebagai anak tertua di keluarga. Bebannya sangat berat dan dia menjalaninya dengan baik. Mungkin dia mencoba menghukum dirinya sendiri untuk kelalaiannya di masa lalu. "Aku menyayangimu, Kak."
Kak Sam tersenyum. "Kakak juga menyayangimu." Dia mengusap kepalaku. "Istirahatlah." Kak Sam melangkah pergi keluar kamar.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Bian yang sudah duduk di sisi ranjangku. Dia menyentuh leherku dengan wajah sedih. "Masih terasa sakit?"
"Sudah tidak terlalu sakit." Aku menatap wajah Bian beberapa lama. Entah kenapa terlintas ingatan tentang momen pertemuan pertama kami hingga sekarang. Seperti bergulung-gulung roll film yang diputar dengan sangat cepat. Dari penolakanku, ketidakdewasaannya, hingga tragedi ini. Aku masih tidak mengerti kenapa pria itu masih bisa bertahan di sisiku.
Tangan Bian berpindah menyentuh pergelangan tanganku. Jari-jarinya menelusuri bekas-bekas penganiayaan yang masih jelas terlihat. "Aku masih sangat marah." Dia mengangkat tanganku dan mengecupnya. "Sejujurnya, aku sangat bersyukur ada seseorang yang menusuknya seperti itu."
Sebelum bisa memberikan reaksi atas ucapan Bian, tiba-tiba saja kami berdua dikejutkan oleh suara pintu yang terbuka. Mengejutkannya lagi ketika seorang pria yang tak terduga muncul dari balik pintu. Pria itu tersenyum sambil melangkah mendekatiku dengan sekeranjang buah di tangannya.
Wajah Bian menegang. Aku segera menggenggam tangannya agar dia tidak melakukan hal-hal yang mungkin akan memperburuk keadaan.
"Bagaimana bisa kamu masuk ke sini?" tanyaku. Keluargaku melarang semua orang yang tidak berkepentingan mengunjungiku. Di lantai rumah sakit ini, ada beberapa penjaga yang ditugaskan untuk menjaga privasi pasien VVIP, terutama dari para media.
"Aku kenal dengan salah satu direktur di sini." Adam masih tersenyum, sama sekali tidak mengacuhkan kehadiran Bian di sampingku. Dia meletakkan keranjang buah di atas nakas di samping ranjangku. "Sebenarnya, aku ingin membawa bunga, tapi kata direktur, itu dilarang di sini. Jadi, aku membawa berbagai macam buah."
"Sebaiknya kamu pergi," kataku. Aku terlalu lelah untuk menghadapi drama lain saat ini.
Mata Adam beralih mengamatiku. Senyumnya memudar. "Kurasa keputusan tepat untuk membuat pria itu tidak bisa lagi menyentuhmu."
Aku terkejut. "Kamu yang melakukannya? Kamu menyuruh orang untuk menusuk Irvin?"
"Aku tidak menyuruh siapapun melakukan apapun. Banyak orang yang dendam padanya. Hanya perlu memberikan sedikit saran dan dorongan." Adam tersenyum kembali. "Bukankah dunia akan lebih baik tanpa hadirnya psikopat seperti dia?"
Entahlah. Tubuhku bergidik.
"Tentu saja. Apalagi jika sosiopat sepertimu juga ikut menghilang dari dunia ini." Bian membuka suara.
Senyuman Adam melebar diikuti dengusan ejekan. Dia menunjukkan sedikit gigi di sela-sela bibirnya. Sepertinya, dia menganggap ucapan Bian sangat lucu. "Kukira kita dari jenis yang sama." Pria itu melirikku. "Siapapun nanti pemenangnya, kuharap si pecundang tidak terlalu berkecil hati atas kekalahannya."
"Bisa kupastikan kamu adalah si pecundangnya," sahut Bian dengan tenang.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah Bian, takjub melihat pria itu begitu tenang saat ini.
"Status kalian bahkan bukan sepasang kekasih." Adam tampaknya terpancing dan kini menatap langsung Bian yang sedang menyeringai.
"Setidaknya, aku berada jauh di depanmu. Sangat jauh. Tidak semua hal bisa kamu dapatkan dengan mudah, sobat. Kamu harus belajar lebih banyak hal lagi."
Adam tertawa. "Tidak. Pada akhirnya, semuanya akan memilihku."
"Hentikan." Seorang dokter wanita tiba-tiba memasuki ruangan diikuti seorang perawat di belakangnya. "Ini rumah sakit. Berhenti mengganggu pasienku. Kalian bisa berdebat di luar."
***
Tanganku menyentuh ujung rambut Bian yang sedikit berantakan. Samar-samar, masih terlihat kantung di bawah matanya. Kumis dan janggutnya tumbuh tipis, meninggalkan sensasi geli di jariku.
Aku tidak tahu kapan Bian kembali. Saat pemeriksaan dokter, Bian dan Adam meninggalkan ruangan. Hingga Kak Rio tiba pun tak ada satupun kabar yang kudapat darinya. Lalu pagi ini, tiba-tiba saja pria itu sudah berbaring di sisiku sambil memelukku ketika aku membuka mata.
Entah apa yang Bian dan Adam lakukan setelah meninggalkanku. Wajah Bian tampak baik-baik saja, sehingga aku menyimpulkan tidak terjadi kekerasan fisik di antara mereka. Tapi, aku cukup penasaran dengan apa yang mereka bicarakan empat mata.
"Apakah aku setampan itu?" Suara serak Bian sedikit mengejutkanku. Matanya terbuka dan langsung menatapku.
Aku tersenyum. "Bagaimana bisa aku mengalihkan pandanganku jika wajahmu tepat di depanku? Tapi, kurasa kamu cukup tampan dengan kumis dan jenggot itu."
Terdengar suara orang lain yang sedang berdeham di belakang punggung Bian. "Karena sudah bangun, sebaiknya kamu segera menyingkir sebelum Kak Sam datang." Kak Rio segera mengusir Bian dari ranjangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sex Games with A Stranger
RomancePertama kalinya Ellen bertemu pria yang bisa mengintimidasi dirinya. Biasanya, dia adalah pihak dominan dalam hubungan sosial maupun soal berkaitan dengan sex. Mungkin sudah tak terhitung lagi berapa pria yang sudah jatuh ke pelukannya untuk sex. Ta...