Bab 28

3.8K 124 1
                                    

Mataku beralih pada sosok Bian yang memasuki kamar. Samar-samar, aku mendengar suara percakapan dari luar kamar diikuti isakan tangis wanita saat pintu terbuka.

"Apa itu Mika?" tanyaku sambil bangkit dari tidurku dengan bantuan Kak Sam.

"Ya. Rio sedang menjelaskan keadaanmu padanya," jawab Bian sambil berjalan mendekatiku dan mencium keningku. Pria itu tampaknya sudah berani melakukan hal intim seperti ini di hadapan Kak Sam.

"Kami harus menjelaskannya karena kamu hampir melukai dirimu sendiri tadi," kata Kak Sam. Kak Sam pun tampaknya tidak mengambil pusing dengan tindakan berani Bian itu.

Sekilas, muncul ingatanku saat aku merebut gunting dari tangan Mika yang sebelumnya digunakan untuk menodong Irvin. Tapi, aku sama sekali tidak bisa mengingat sisanya. "Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Mika berhasil mencegahmu sebelum kamu menusuk dirimu sendiri. Dia sangat shock saat kamu kehilangan kesadaran. Untung para security yang berada di dekat sana langsung bertindak cepat dan menghubungiku," jelas Bian. "Aku tidak tahu dia akan berani muncul di tempat umum."

Pintu kamar kembali terbuka. Kali ini suaranya cukup keras karena Mika masuk dengan sangat emosional dan tangisannya yang kencang. Wanita itu bahkan mendorong Bian menjauh dan segera memelukku. Kak Rio yang mengikuti di belakangnya hanya tersenyum lega melihat keadaanku yang cukup baik.

"Maafkan aku," kataku sambil mengusap-usap punggung Mika yang bergetar, mencoba menenangkannya.

"Aku nggak tahu kamu mengalami hal mengerikan seperti itu. Aku bahkan kesal padamu saat kamu nggak muncul karena janji nginep di rumahku saat itu," kata Mika.

"Kita masih kecil. Wajar saja kalau kamu nggak tahu."

Mika melepaskan pelukannya. Dia mengusap air matanya yang masih mengalir di sudut mata. "Setelah membunuh banyak anak, kenapa dia masih bisa bebas?"

Aku juga bertanya-tanya tentang hal itu. Sejak dulu, keluargaku tidak pernah menjelaskan tentang jalannya persidangan dan vonis hukuman yang diterima Irvin karena tidak ingin mentalku down.

Kak Sam menatapku. Dia seperti menimbang-nimbang sesuatu sebelum menjawab pertanyaan Mika. "Tidak ada bukti langsung yang menguatkan bahwa dia membunuh anak-anak itu. Polisi juga tidak bisa menemukan sisa jasad mereka. Jadi, jaksa hanya bisa menuntutnya dengan penculikan dan kekerasan seksual yang dilakukan pada Ellen."

"Apa dia kembali mencarimu untuk menuntaskan urusannya?" tanya Mika dengan histeris. Tangisannya kembali pecah.

Secara mengejutkan, potongan-potongan ingatan bermunculan seperti sebuah gelombang besar yang menghantamku. Seperti menemukan sebuah video lama, aku sama sekali tidak mengantisipasi isi video itu saat mulai dimainkan. Irvin menjadi tokoh utama di setiap adegannya dan aku merasa sangat terintimidasi.

"Dia tidak akan membunuhku," kataku setelah terdiam beberapa saat.

Semua orang di ruangan tampak terkejut dengan pernyataan yang kuberikan.

"Kamu mengingat sesuatu?" tanya Kak Sam yang tiba-tiba terlihat sangat panik.

Sejak dulu, banyak pertanyaan di benakku tentang alasan Irvin tidak membunuhku seperti anak perempuan lainnya. Karena trauma yang sangat berat, aku tidak bisa mengingat beberapa detail penting yang terjadi saat tragedi penculikan itu terutama setelah pertama kalinya Irvin melakukan kekerasan seksual padaku. Yang kuingat hanya kekerasan seksual itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya polisi bisa menemukanku.

"Ya. Dia bilang sejak awal aku adalah fantasinya. Semua anak perempuan itu hanya pengganti. Jadi, saat dia mendapatkan aku, dia menyingkirkan semuanya," kataku. Aku kembali tertegun sesaat dan merasakan air mata mengalir di pipiku. "Semua anak-anak itu meninggal karena aku."

"Tidak, tidak. Itu semua bukan kesalahanmu. Jangan coba-coba menyalahkan dirimu sendiri." Kak Sam segera memelukku. Tangannya mengusap belakang kepalaku dengan lembut seperti yang selalu dia lakukan setiap aku ketakutan. "Kakak mungkin tetap tidak akan bisa membuktikan pembunuhan itu. Tapi satu hal yang pasti, Kakak akan membuatnya kembali masuk penjara selama sisa hidupnya."

***

Angin menerpa diriku yang sedang berdiri di pintu balkon kamar. Langit tampak lebih gelap dari biasanya. Dipastikan beberapa saat lagi langit akan menjatuhkan titik-titik airnya ke bumi.

Sudah tiga hari diriku bersembunyi di tempat ini seperti tahanan rumah. Dua orang penjaga mengawasi keadaanku selama itu. Kedua kakakku juga selalu menjengukku sepulang kerja. Bahkan kedua orangtuaku yang memutuskan untuk tinggal di desa kecil, kembali ke kota penuh polusi ini karena mengkhawatirkan keadaanku.

Aku berjalan masuk ke dalam kamar saat air hujan turun semakin deras. Kututup pintu balkon agar percikan-percikan air tidak membasahi lantai kamar. Suara hujan tiba-tiba membuat ingatan lamaku kembali, bagaimana hari-hari terakhirku mencoba kabur dari Irvin.

Aku tidak bisa mengingat konsep waktu saat penculikan itu terjadi. Entah sudah berapa hari aku harus menerima kekerasan seksual dari Irvin. Tubuhku yang sangat kecil diperkosa, diikat, dicekik, bahkan melakukan hal-hal di luar nalar lainnya untuk memuaskan nafsu bejat pria itu. Itu benar-benar mengerikan.

Tak bisa lagi kubendung air mataku. Setelah bertemu kembali dengan Irvin saat itu, hal-hal yang dulu tidak bisa kuingat, kembali satu persatu. Semua ingatan itu jelas sangat traumatis hingga membuat Ellen kecil amnesia.

"It's okay. Aku di sini." Bian memelukku. Sentuhan hangatnya membuatku sedikit lebih tenang. Pria itu pun hampir tidak pernah meninggalkanku karena kondisi mentalku yang bagaikan roller coaster selama tiga hari terakhir. "Terapi-terapi itu pasti menyiksamu."

Setelah beberapa ingatan masa laluku satu persatu mulai kembali, aku meminta pada Kak Sam agar seorang psikiater bisa membantu menajamkan ingatan-ingatan itu. Walaupun awalnya Kak Sam tidak menyetujuinya, tapi aku bersikeras ingin melakukannya untuk mendapatkan fakta-fakta baru yang mungkin akan bisa kami gunakan untuk menuntut Irvin kembali.

Tentu saja proses itu sangat menyakitkan bagiku. Aku hampir terus-terusan menangis dan tidak memiliki selera makan. Semua orang di sekitarku khawatir dengan keadaan fisik dan mentalku yang kacau. Beruntung, dengan bantuan psikiater pula, aku bisa menerima semua hal itu dengan cukup baik. Tidak ada percobaan bunuh diri ataupun adegan penusukan pisau yang sudah pernah kulakukan pada Kak Sam serta Bian.

"Semuanya sangat mengerikan. Aku sendiri tidak percaya diriku bisa bertahan di kondisi yang sangat buruk itu."

Bian melepaskan pelukannya. Dia menyentuh daguku dan menengadahkan kepalaku. Tatapan matanya begitu lembut. Aku hampir seperti tidak mengenal pria yang berdiri di depanku saat ini. "Tidak semua orang bisa mengatasinya dan itu membuatmu sangat kuat. Jangan biarkan pria itu membuatmu kembali lemah. Dia tidak berhak atas hidupmu."

Aku memeluk Bian kembali. Penerimaannya atas diriku di masa lalu, membuatku merasa lebih aman. Dia sama sekali tidak mundur dan memilih tetap di sampingku. Itu membuatku sangat bersyukur.

"Aku akan membalas pria itu sebagaimana dia membuatmu menderita selama ini."

Sex Games with A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang