Who Are They?

747 83 8
                                    

Yaa memang belum 200 sih tapi makasih buat yang udah vote. ini aku update lagi spesial buat kalian yang sudah tidak bosan datang. 


Selamat Membaca

───ཹ🌹 ݇-݈


Kertas yang dibawa Enver sudah penuh tak ber-ruang. Dan masih kurang. Perhitungan Enver belum selesai tapi kertas yang disimpannya sudah tidak lagi tersisa. Gadis itu langsung sadar dan mampu merasakan seluruh indranya tiba-tiba. Padahal sebelumnya senyap, ia bahkan tidak dengar suara nafasnya sendiri. Kini semuanya hidup. Kertas-kertas besar yang dikerjakannya tadi berserakan membuat Enver berdiam sebentar, berfikir. Apa yang aku lakukan.

Gadis itu berusaha mengingat bagaimana ia menorehkan tinta dalam kertas coklat muda itu, namun nihil. Semuanya seolah menguap dan terbawa angin. Akhirnya Enver melipat lembaran-lembaran yang terserakan tersebut. Lembaran yang sudah diberikan urutan diujung kanan atas agar mudah dibaca nanti, jika ia ingat dari sebelah mana dirinya memulai sebelumnya.

Enver membuang nafas dan bersandar pada dinding beton yang melindunginya dari sinar matahari. Gadis itu tiba-tiba tidak punya apapun untuk dipikirkan. Semuanya berputar dengan kata apa. Menanyakan apa yang sebelumnya terjadi, menanyakan apa yang sedang dia lakukan, menanyakan apa yang harus dia lakukan selanjutnya.

Diamnya Enver dengan benang kusut dikepala membuat Minho tertarik. Ia menoleh dan memutar tubuhnya. Memperhatikan satu-satunya gadis yang sanggup ia ingat sekarang. Ia tidak tahu apakah ia pernah mengenal gadis lain sebelum semua ini. Diamnya Enver sangat cantik. Pahatan wajahnya presisi seolah-olah memang sudah diukur dengan perhitungan matematika yang rumit. Ia memperhatikan bagaimana luas dahinya bisa sangat pas, alisnya natural agak panjang runcing kebelakang yang sedikit tebal, mata besar berlipat ganda, hidung sedang yang agak runcing dan bibir yang sangat cantik, sesuai dengan proporsi bentuk wajahnya. Minho tidak sadar sampai mengigit bibirnya sendiri. Ia menyeringai tipis, masih sambil memperhatikan Enver.

"Kau. Apa yang kau pikirkan sampai tidak dengar panggilanku."

Alis Enver menukik tajam sekali. Gadis itu berfikir. "Apa? Aku tidak dengar apapun."

"Kau mendengarku," kata Minho.

"What?"

"See, kau mendengarku."

Enver tambah bingung dengan kalimat-kalimat Minho. Remaja laki-laki itu tidak menjelaskan apa maksud kalimatnya. Setidaknya secara langsung menggunkan kalimat yang jelas. Hingga akhirnya ketika ia mengulangi apa yang baru saja didengar, ia jadi paham. Kalimat Minho memang tidak lebih dari celoteh sampah untuk sekedar mengerjainya. "Tentu saja aku mendengarmu, aku punya telinga. Sepasang telinga." Enver seperti dendam sekali saat menyuarakan kalimatnya. Geram hingga membuang muka.

Tanpa bersalah sedikitpun, Minho hanya mengangkat bahunya sekalian dengan kedua tangannya keudara, sejajar. Wajahnya memimikkan ekspresi menyebalkan seperti yang biasanya dilakukan. "Tidak salah, kan."

"Uh, can't disagree."

Minho bergeser sedikit dan menekuk kakinya. Ia menyandarkan kepalanya pada dinding beton dibalik punggunya. Begitupun dengan Enver yang masih merasa kesal. Ia menyandarkan dirinya pada dinding beton berwarna abu terang yang bersih. Gadis itu memandangi langit yang tampak biru terang dan tak berawan sambil beralih menuju kakinya dan berpikir pelan mengenai apa yang terjadi padanya. Ia jadi merasa aneh mengetahui fakta bahwa kakinya baik-baik saja. Jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya malah. Ia memejamkan mata kemudian, bersandar pada dinding dibelakang punggungnya, merasakan hangatnya yang terasa dari permukaan dinding beton yang mulus. Kepalanya pusing sekali setelah berhasil melakukan perhitungan rumit yang tiba-tiba muncul dikepalanya. Padahal sebelumnya baik-baik saja. Meskipun ia masih belum bisa mengingat dari mana angka dan persamaan-persamaan tadi muncul dengan sangat lancar hingga mengalir pada jari-jarinya.

LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang