Hurt So Good

237 19 6
                                    

Halo, udh lama yaa aku tidak upload. Maaf bgt baru sempet.
Kedepannya cerita ini ngga bakal boring lagi. Mari kita kasi bunbu-bumbu romance.
Selamat membaca ya semoga suka.

───ཹ🌹 ݇-݈

Enver tidak suka situasi ini. Tatapan tiga remaja ini menyebalkan sekali. Dua orang tidak ingin Enver kembali ke labirin jelas sekali mata mereka begitu mencerminkan isi hatinya, satu orang lainnya yang tersisa hanya berdiri sok keren sambil melihat-lihat miniatur peta labirin didepannya. Manusia tidak berguna ini.

Helaan nafas ringan terdengar. "Aku akan kembali ke labirin."

"En, serius?" Newt memutar Enver ke arahnya. Tatapan yang begitu mudah dibaca bahkan mungkin orang yang sama sekali tidak bisa melihatnya. Wajah yang tampak sedih itu. Alis yang tertaik kedalam sejelas itu. Belum lagi suaranya yang membuatnya semakin jelas. "Ah maaf," Newt menurunkan tangannya.

Dua orang lain diantara mereka membaca situasinya begitu saja. Newt yang sedih karena Enver memilih kembali dan membahayakan dirinya sekali lagi. Sementara Enver yang tampak terkejut dengan reaksi spontan Newt tetap diam, tidak mengatakan apa-apa.

Situasi ini mengguncang suasana sebelumnya. Keheningan yang menyelimuti mereka begitu saja. Enver menghela nafas sekali lagi. Membuka mulutnya lagi. "Tolong jangan berlebihan begini padaku. Kita hanya punya usaha dan harapan agar bisa bertahan. Tidak ada satupun diantara kita yang punya kekuatan super seperti hero yang diceritakan di buku-buku cerita itu. Jadi setidaknya, jika memang aku harus terluka lagi itu tidak masalah asal ada sesuatu yang bisa kita dapatkan sebagai imbalan. Itu cukup setimpal dari pada kita harus menebak-nebak sambil bersikap tenang seperti ternak yang akhirnya dikorbankan."

Enver menatap ketiga remaja didepannya bergantian. Mereka mengerti penjelasan Enver dan memang benar demikian. Meskipun akhirnya Alby paham, Newt tetap tidak senang dengan konsep pengorbanan demi imbalan yang katanya setimpal. Mata Enver menatap Newt yang memilih menundukan kepalanya.

"Karena bagiku, mati dengan kemenangan lebih membanggakan daripada mati kemudian menang. Itu dua hal yang sama sekali berbeda. Jadi, tolong percaya saja." Ia meyakinkan sekali lagi dengan menatap semuanya sekali lagi dan berakhir di Newt lagi.

Yang ditatap menoleh merasakan ada mata yang berusaha melubangi dirinya. Wajahnya berbeda, ekspresinya sudah berubah. "Itu tetap tidak adil bagiku. Apa salahnya menjadi serakah sesekali."

Apa maksudnya itu? Mata yang biasanya seteduh itu, entah mengapa menjadi dingin seperti di selimuti salju. "Tidak bukan itu maksudku. Itu tidak sa-"

"Memangnya kenapa jika kita bertahan dan menjadi ternak untuk dikorbankan seperti yang kau bilang. Bukankah sejak awal memang kita sudah ditumbalkan?"

"Newt?" Alby bersuara juga. Ia berusaha menengahi perdebatan mereka tetapi langsung terdiam begitu mata yang setajam pisau itu berotasi dengan kencang seolah siap memanggal. Sang ketua nomor satu jadi seketika diam.

"Memangnya sejak awal ada harapan?! Jadi berhenti mencari-cari alasan seolah-olah kau pemeran utama yang pasti menang. Enver kau cuma perempuan lemah yang harusnya diam saja dan bernafas."

Sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya tersentil begitu keras di dada Enver yang kembang kempis. Tidak pernah sebelumnya Enver begitu marah dengan candaan orang-orang padanya. Ini sangat spontan saat Enver mengangkat tangan dan melayangkannya dengan kencang. Suara seperti sabetan bilah dan angin, suara yang sekeras itu membuatnya bergetar kemudian. Tangan Enver seletika kebas seperti ditusuk-tusuk oleh jarum tumpul secara bersamaan, dan matanya juga menjadi panas seperti gunung api yang siap menyemburkan lahar. Dan air mata yang seperti mitos bagi Enver akhirnya lahir menjadi legenda yang akan diingat oleh semua orang.

LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang