It's Just Us

1.3K 145 13
                                    

.
Selamat Membaca
.

Setelah melewati hari yang panjang dengan makan siang pertama yang terasa agak hambar, Enver akhirnya kembali ditinggalkan sendirian. Sebelumnya, Alby sudah menjelaskan tempat ini padanya. Seluruhnya dengan cepat dan sangat rinci. Alby memberik tur dengan penjelasan panjang yang rasanya akan sulit diingat setiap detailnya oleh Enver nanti. Tapi akan mengabaikannya untuk sekarang, ia hanya harus percaya pada dirinya saja. Percaya kalau ia akan baik-baik saja. Tur singkat itu selesai setelah mereka berhenti disebuah menara pandang agak tinggi yang merupakan bekas pohon besar. Tadi, Alby mengajaknya naik keatas dan sampai saat ini Enver masih disana. Duduk bersandar pada bekas batang pohon yang masih berdiri kokoh. Ia memperhatikan semua orang yang sedang bekerja.

Ia melihat anak-anak yang mencangkuli tanah dengan alat yang mereka pegang. Melihat anak-anak yang keluar masuk gubuk disebrang, disudut dinding di arah North West. Anak-anak juga terlihat keluar masuk dari hutan disebelah South West dengan membopong kayu dan membawanya kedekat gubuk di bibir hutan, dapur. Orang-orang ini terlihat sangat sibuk, hanya Enver saja yang masih duduk dengan kesibukan tidak berguna karena hanya melihat saja.

"Kenapa aku disini?" bisiknya pelan saat menatapi bagian dinding yang terbelah agak lebar dibagian tengah.

Sepuluh kali kalimat itu sudah diucapkan oleh bibirnya. Dengan sepuluh waktu ia tidak bisa memikirkan jawabannya. Juga sepuluh kali helaan penyesalan terdengar oleh telinganya sendiri. Kaki Enver yang semula diluruskan, ditekuknya kemudian. Badannya dibuat makin bersandar pada batang pohon yang menjadi bagian tengah dari menara itu. Menenggelamkan kepala diantara lututnya. Berfikir dan berfikir untuk sesuatu yang terasa sangat sia-sia.

Tidak ada jawaban yang kunjung keluar untuk menenangkannya. Yang ada malah pertanyaan-pertanyaan yang menyerangnya menjadi semakin banyak. Menimbulkan pusing yang tak tertahankan untuk lima detik yang tak sengaja terhitung dalam hatinya. Dada Enver berdebar kencang dan perlahan, ia menepuk-nepuk dadanya sendiri sambil mengatur nafas pelan-pelan.

Setelah merasa lebih baik, Enver menarik kepalanya dari lutut. Ia kembali memandangi dinding sampai kemudian ingat dengan mimpinya siang tadi. Mimpi buruk yang rasanya akan menghampiri lagi malam ini.

"Who the fuck are they?" bisiknya lagi. Pertanyaan lainnya yang tidak bisa ia jawab. Kepala Enver ditegakkan dan ia meluruskan kakinya pelan. Celana panjang ketat yang dipakainya masih cukup bersih. Ia melepas kemeja kotak-kotak berwarna merah dan hitam dari tubuhnya, menyisakan kaus putih polos ang terlihat agak ketat mencetak bentuk tubuhnya dengan jelas. Ia kemudian merotasikan matanya tanpa sengaja sampai ia melihat jari kakinya yang telanjang.

"Pantas dingin, ternyata aku memang tidak memakai sepatu."

Enver kemudian mengambil buku kecil berwarna hitam yang diberikan Gally padanya tadi siang bersamaan dengan balpoin hitam yang juga disodorkan. Buku itu tidak terlihat seperti buku baru. Tapi buku itu masih terlihat bersih dengan halaman buku yang tidak memiliki coretan apapun. Tangan Enver mulai bergerak menuliskan apa yang ia perlukan sekarang. Sambil berfikir apa-apa saja yang mungkin akan ia butuhkan kemudian.

[───ཹ🌹 ݇-݈]

Di pinggir hutan, diantara pepohonan, sekumpulan anak laki-laki berkumpul acak menyelesaikan pekerjaan. Satu dari mereka yang baru selesai membersihkan tubuh hewan yang mati, melamun menatapi lubang dinding yang terbuka secara misterus tadi pagi. Satu anak laki-laki yang matanya agak sipit dengan rambut hitam lurus yang agak panjang. Minho memang tidak akan pernah selesai dengan rasa penasarannya. Ia juga tidak akan bosan menatapi bagian dinding beton yang terbelah secara misterius untuk pertama kalinya. Rasa penasaran yang mendarah daging dalam dirinya menjadi semakin besar untuk setiap menit yang ia lewatkan hanya untuk memperhatikan pintu itu. Bahkan Winston yang berdiri disampingnya sejak tadi sampai menggeleng-geleng tiap kali mendapati Minho melamun menatapi pintu misterius yang terbuka untuk pertama kali.

LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang