> 25 <

5.7K 100 49
                                    

Kia dan Murdi sedang berkunjung ke rumah orang tuanya siapa lagi kalau bukan rumah Pak Syametdi dan Ibu Julaysya. Entah mengapa dari kemarin Kia ingin sekali bertemu dengan orang tuanya, sudah lama sekali tak bertemu hampir lima bulan, sepertinya anaknya itu ingin sekali bersilahturahmi dengan Kakek Syametdi. Karena Murdi melarangnya, ia takut kenapa-kenapa dengan anak yang ada di dalam perut Kia.

Di kandungannya yang sudah sembilan bulan ini, Kia sering kali merasakan kontraksi palsu yang membuat suaminya itu panik setengah meninggoy. Padahal itu wajar saja, kata dokter juga tidak apa-apa. Selama hamil Kia selalu memeriksa kondisi anaknya walaupun Kia sampai saat ini belum tahu apa jenis kelamin anaknya itu, karena jika sedang diperiksa anaknya selalu menutupinya.

Kia duduk di sofa sambil menonton gosip di televisi. Menunggu suaminya yang sedang kangen-kangenan sama Pak Tejo.

Julaysya duduk di samping Kia dan mengelus perut buncit anaknya, mendapatkan tendangan. Julaysya tersenyum senang bisa merasakan kembali tendangan itu, saat hamil Kia ia jarang mendapat tendangan dasyat seperti ini.

"Anak kamu aktif banget kayaknya ya Sayang? Dulu Ibu jarang banget ngerasain tendangan begini waktu lagi hamil kamu," ucap Julaysya.

"Iya Bu, apalagi kalau ada Ayahnya lagi ngelus perut aku pasti dia langsung nendang-nendang bikin aku kesakitan."

"Wajar aja sih Sayang, kamu kapan waktunya lahiran?" tanya Julaysya menatap anaknya.

Kia mengelap keringat yang membasahi jidatnya. "Kata dokter sih seminggu lagi tapi gak tahu sih Baby mau keluar kapan."

Julaysya mengangguk. "Kamu rutin kan ngecek sih Baby?"

"Rutin Bu, tiap bulan Mas Murdi gak pernah lupa ingatin aku kalau udah jadwalnya. Tapi kadang dia suka males kalau aku lagi diperiksa soalnya dokter yang meriksa aku namanya juga Murdi."

Julaysya menganga. "Tapi kamu udah tahu jenis kelaminnya apa?"

"Boro-boro Bu. Mereka kalau lagi diperiksa malah malu-malu, kelihatanya pantat doang," jawab Kia. "Kayak Mas Murid mereka, malu-malu tapi mau," lanjutnya dengan terkekeh.

"Sama kayak Ayah kamu," balas Julasya.

Di lain sisi, Murdi dan Pak Tejo tengah berpelukan. Rasa kasih sayang antara Bapak dan anak, meskipun sebentar lagi Murdi akan menjadi Bapak dan sedikit bangkotan.

Pak Tejo melepaskan pelukannya, menatap anak semata wayangnya. "Kamu harus jadi Ayah yang baik dan berguna untuk anak-anakmu nanti. Jangan suka memarahinya, kasian mereka masih kecil dan belum mengerti."

Murdi mengangguk, menghapus air mata palsunya itu karena terharu dengan ucapan sang Ayah. "Iya Murdi janji akan didik mereka seperti Ayah mendidik Murdi tanpa seorang istri."

"Kamu bisa aja. Gimana setelah menikah? Enak bukan?"

"Enak tapi suka malu sama diri sendiri. Aku beruntung banget punya istri seperti Kia, gak malu punya suami kayak aku walaupun aku suka malu-maluin."

Pak Tejo menepuk pundak anaknya, bangga anaknya mau mengakui yang sebenarnya. "Beruntung banget kamu. Ayah kira kamu gak akan nikah seumur hidup."

"Emang Ayah kira aku gak laku apa? Jelek begini juga udah mau jadi Bapak loh anak dua lagi," balas Murdi dengan sombong.

Pak Tejo terkekeh. "Anak kamu cowok yah? Pasti nanti mirip sama kelakuan kamu."

"Gak tahu, kalau diperiksa malah dikasih pantat."

"Kamu dulu juga begitu waktu diperiksa malah ngasih tangan tengah, anak kurang ajar banget kamu waktu di dalam perut."

"Tapi anak aku pasti gak akan kayak aku kelakuannya, kan emaknya unggul pasti cakep."

Terpaksa Menikah Dengan Om Mesum (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang