1.Alasan Menikah

578 115 25
                                    

Alasan sepele sebenarnya, tapi dibesar-besarkan. Seperti itulah menurut Kiki. Namanya sih Riski, tapi biasa dipanggil Kiki. Asli keturunan Jawa, merantu dengan orang tuanya saat ia lulus SD. Sekarang sedang jadi mahasiswa tinggal tunggu wisuda.

"Enak loh, punya suami. Bisa ada yang jagain," kata Nanda, teman karib Kiki sejak sama-sama masuk kuliah.

"Ah, ada yang jagain ya. Pak Satpam juga bisa kalau itu sih."

Nanda memukul pipi gembil Kiki dengan gantungan baju plastik. Perempuan dengan hidung pesek dan bibir tipis itu mengaduh.

"Beda, Ki. Pak Satpam nggak bisa diajak kelon. Kalau suami kan bisa. Sah dan halal lagi."

Kiki mendesah pasrah. "Aku belum siap nikah, Nan."

Nanda tahu. Tapi, daripada melihat perlakuan adik ibunya yang menyiksa batinnya selama ini, Nanda makin tak tega.

Orang tua Kiki meninggal dalam kecelakaan pesawat setahun lalu. Karena keluarganya di Jawa sudah merantau semua, ia pun dititipkan pada adik ibunya yang juga merantau di Samarinda.

Sayang, nasib Kiki bukannya disayang malah dimanfaatkan untuk mengais belas kasihan dari saudara lain. Om Imuh dan Bulek Tari, memang memperbolehkannya tinggal di rumah. Tapi tidak membiayai kuliahnya lagi. Merasa, anak-anak mereka masih kecil, sekolah dan tentunya lebih diprioritaskan. Makanya Kiki nekat jualan secara live di sosial media dibantu Nanda.

"Disiap-siapin aja lah, Ki. Katanya dia baik kan? Kita kenal kakaknya juga. Bu Helen baik, pasti adiknya juga baik."

Nanda terus saja memberi semangat Kiki. Toh, jodoh yang disiapkan juga Nanda pikir tak buruk-buruk amat. Pegawai PLN, laki-laki tulen karena sudah sunat, punya penghasilan tapi rumah masih kontrakan, wajah ... Nanda belum tahu pasti. Cuma Kiki yang pernah ketemu. Tapi, Bu Helen, dosen mereka saat semester awal itu terbilang cantik dan baik hati. Tak pernah memberatkan mahasiswanya.

"Enak aja. Kamu aja sana. Lagian aneh aja sih, Nan. Zaman sekarang kok ada cowok mau dijodohin. Jangan-jangan dia nggak tulen lagi, makanya buat nutupin itu dia dipaksa nikah." Kiki bergidik sendiri membayangkannya.

"Tes drive dulu deh biar kamu yakin."

"Amit-amit, Nan."

Nanda terbahak. Memang iya sih, masak zaman udah pada main tiktokan gini nyari jodoh kok nggak nyari sendiri. Mana usia calonnya Kiki ini udah dua pulug tujuh.

"Ya udah, maunya gimana? Om sama tante kamu dah setuju. Besok lamaran kan. Dah lah, siap-siap yuk di rumah. Jangan kelayapan kek gini kita."

***

"Ih, kok kayak termos sih orangnya? Nggak ada seksi-seksinya," keluh Ghazy begitu acara lamaran berlangsung.

Helen menyenggol adiknya yang duduk. Laki-laki dengan mata sipit tapi hidung mancung itu melengos. Bisa-bisanya ia terjebak dalam pernikahan paksa seperti ini. Padahal ia kan nggak suka sama calon istrinya yang tak menggairahkan. Mana dia pendek lagi.

Kalau berdiri sandingan, Kiki memang hanya sebatas dada. Ironis sekali. Ia lebih sering menunduk nantinya saat bicara.

"Hust, nggak usah komen. Kamu udah setuju loh. Nggak usah bikin malu. Terima aja, lupain mantan kamu yang nggak jelas itu."

Ghazy bersedekap. Ia tampak ogah-ogahan. Bahkan kala cincin yang ia beli kapan hari harus tersemat di jari macam ceker ayam menurutnya. Kecil semua, cincinnya malah kebesaran.

Selesai acara lamaran dan keluarga Ghazy pulang, ia bermalas-malasan di kamar. Merangkai lagi kisah keputusannya menikah. Dengan orang yang ia temui sekali, sebelum perjodohan paksa itu terjadi.

Apalagi pertemuan mereka punya kesan aneh pula. Sama anehnya dengan calon istrinya. Membawa panci presto dan dalaman ukuran 37 ke rumahnya. Padahal Ozi, panggilan akrabnya tidak merasa pesan. Masa sih, dia pesan dalaman kaca mata kuda dan panci presto.

"Kenapa? Nyesel? Udah sepakat loh kita. Kamu boleh kontrak sendiri kalau setuju nikah. Lagain, Kiki anaknya baik kok. Dia mahasiswi yang rajin juga," hibur Helen menghampiri sang adik di kamarnya.

Ia dan Ozi memang tinggal satu rumah. Helen dengan suaminya dan anak yang sekarang kelas dua SD. Sudah sejak orang tua mereka meninggal, Ozi ingin tinggal sendiri. Ia kan sudah kerja, bukan anak yang ditanggung Helen.

Tidak bisa. Helen tak mau adiknya malah merasa bebas tanpa pengawasannya. Apalagi mantan pacar Ozi terlalu blangsak. Takutnya Ozi meraba dan berakhir menhujamkan benih di luar nikah. Bisa pingsan Helen. Untung saja mantannya sudah tak tahu rimbanya. Helen sujud syukur.

"Tapi dia pendek gitu. Nggak asyik ah," komentar Ozi.

"Yah kalau pendek, udah takdir. Kamu setinggi tiang listrik juga udah takdir."

Ozi mengembungkan hidungnya. "Kenapa harus dia sih, nggak mahasiswa Mbak yang lain."

Helen tersenyum. "Soalnya kalian cocok."

"Dih, kenal aja nggak. Gimana tahu bakal cocok."

Helen menangkup kedua pipi adiknya. Menekan hingga mulut Ozi mengerucut. "Terima aja, nggak usah banyak alesan. Daripada kamu coba bunuh diri minum air kobokan, ngulek mata, lilitin dasi biar sekarat. Tidak, Zi. Mbak harus lihat kamu beranak pinak biar keluarga kita rame. Dan tentunya sama perempuan baik-baik, nggak kayak mantanmu yang suka ngajakin mabok dan minta digerayangi."

_____

LiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang