"Tumben pagi-pagi udah rapi," sindir Kiki melihat sang suami yang rajin sekali di jam enam pagi sudah berdandan rapi.
Biasanya jam segini masih pakai sarung, menguap sambil menggaruk rambut, melamun di pintu belakang. Menatap rerumputan yang tidak bergoyang. Biasanya selesai buang air besar atau sedang menunggu cucian Kiki berganti air.
"Iya mau mampir sebentar ke rumah Ambar."
"Oh jadi mampir lagi pagi ini?"
Ozi yang sedang menyisir rambutnya di depan kaca menoleh. "Kok kamu tahu kalau aku mau mampir pagi. Semalam kamu nguping ya?" tebak Ozi.
"Bukan nguping orang kamu ngomongnya loh deket kupingku. Lagi pula semalam aku pas lagi merem melek, jadi masih kedengeran lamu ngomong apa. Kamu bilang kan ngapain aja di rumah Ambar. Terus mau izin pagi ini datangin lagi dan bilang kalau aku nggak boleh marah," rangkum Kiki tentang obrolan Ozi semalam yang masih teringat jelas di otaknya.
Ozi meletakkan sisir lantas mendekat ke arah sang istri. Menggenggam kedua lengan Kiki dan menatap matanya lekat.
"Kamu udah nggak marah? Kamu beneran percaya sama aku? Kamu beneran ngizinin?" cerocos Ozi menuntut jawaban dan kepastian dari Kiki.
"Buset, Bang nggak usah pakai depan muka banget deh. Tahu kok yang habis gosok gigi. Untung aja nggak bau terasi."
Ozi melepaskan cekalan pada pundak Kiki lalu meminta maaf dengan meringiskan gigi yang tidak putih-putih banget tapi cukup menawan. Jika dilihat bersih tanpa ada cabe yang menyelip di sana. Tentu saja karena memang Ozi belum sarapan. Sambal terasi juga belum dikunyah.
"Iya aku izinin dan aku juga berusaha percaya kalau Abang cuma punya niatan bantuin Ambar. Awas aja kalau abang macam-macam. Aku sunat lagi sampai nggak punya pisang."
Ozi berdecap. "Ah, yakin mau dipangkas habis. Nanti kamu kalau pengen gimana?"
"Gampang itu, Bang tinggal buka aplikasi ijo aku kasih harga murah. Nanti juga banyak pisang yang datang menghampiri."
Mendengar hal itu Ozi langsung mengeplak kening Kiki sampai perempuan itu kesakitan. "Sembarangan aja kamu mau open BO. Nggak ada ya, nggak boleh main pisang yang lain. Harus pisang aku aja ini. Udah kujaga baik-baik mainnya sama kamu aja nggak main sama yang lain," marah Ozi.
"Iya iya udah sana sarapan dulu sambel terasiku enak banget pokoknya."
Ozi berjalan ke dapur diikuti Kiki yang tadinya sedang menyapu tapi ia tinggalkan.
"Sambal terasi bedanya apa. Kan rasa-rasa juga sama, masa sambal terasi rasa melon."
"Pokoknya enak, Bang. Hari ini tuh aku bikinnya pakai terasi pilihan dengan udang-udang berkualitas tinggi, diproses dengan sentuhan para profesional. Makanya trasi ini akan terasa beda lebih istimewa, nikmat dan pastinya bikin Abang ketagihan. Nggak bakal ada sambal terasi enak ini di luar sana. Cobain deh," promosi Kiki membuat pagi di rumah mereka terasa lebih menyenangkan.
Melupakan sejenak emosi semalam yang sempat menggoyahkan rumah tangga mereka.
Ozi pun menurut. Ia mengambil nasi, mengambil sambal lebih banyak karena promosi Kiki yang menggiurkan, telur dadar, tempe goreng dan lalapan berupa kemangi, timun serta terong goreng.
"Kamu sarapan juga sini bareng-bareng kita."
"Abang duluan deh aku mau lanjutin sapu dulu," kata Kiki yang kemudian meninggalkan dapur melanjutkan kegiatan menyapu yang belum tuntas di depan televisi.
***
Daru rupanya datang lebih dahulu ketimbang Ozi. Laki-laki itu memang dari kemarin tidak datang karena sudah ada Ozi yang mengurus Ambar. Jadilah ia datang pagi ini. Dihatnya Ambar sedang menikmati sarapan yang dibawakan oleh Daru. Untung saja Ozi belum membelikan Ambar sarapan, karena niatnya tadi ia ingin datang melihat kondisi Ambar lalu bertanya apa yang ingin dimakan Ambar untuk sarapan pagi ini.
"Baru datang apa dari tadi," tanya Ozi yang menghampiri mereka berdua dalam kamar.
"Baru aja sih. Ambar aja baru nyuap dua sendok kamu datang ini."
Ambar menikmati sarapan nasi kuning yang dibawakan oleh Daru. Nasi kuning dengan lauk ikan haruan dibumbu merah, mie goreng dan kering tempe dikunyah perlahan oleh Ambar.
"Kalian datang ke sini pagi-pagi padahal kerja kalian loh masih nanti," kata Ambar melihat dua temannya sudah parkir di rumahnya.
"Ya makanya kita mampir dulu ke sini. Habis itu lanjut berangkat kerja," jawab Daru yang mengambil gelas di samping kasur. Menuangkan air mineral ke gelas tersebut agar Ambar mudah meminumnya.
"Makasih banget loh kalian udah datang, udah bawain sarapan juga," kata Ambar pada dua teman laki-lakinya tersebut.
"Iya nggak apa-apa. Lagian kayak kita siapa aja. Udah kamu makan aja, habis itu minum obat," kata Daru yang melirik ke bungkusan obat di plastik. Mengambil dan mendekatkan ke arah piring milik Ambar.
"Tadi kamu gimana masuknya, Ru? Ngetok jendela?" tanya Ozi.
"Iya aku lewat jendela. Teleponin Ambar lama banget baru bangun dia."
Ozi menoleh pada Ambar. "Nanti kalau kita berangkat kamu gimana ntar?"
"Nggak apa-apa dikunci aja kayak semalam. Kuncinya aku bawa di sini. Kalian nggak usah khawatir, aku udah bisa jalan meskipun agak sakit kaki. Tapi nggak masalah, tadi pagi juga udah ke kamar mandi sendiri."
Ozi mengangguk-nganggukkan kepala. Ia khawatir dengan keadaan Ambar tapi kalau dilihat tidak mungkin Ambar akan terkapar terus-menerus, kalau tidak dilatih dan sedikit dipaksa untuk bergerak.
Keduanya masih mengobrol menemani Ambar sampai perempuan itu selesai sarapan, minum obat, lantas membantu merapikan tempat tidur sementara Ambar sendiri ke kamar mandi berjalan sambil memegangi tembok sekadar mencuci muka, menggosok gigi agar dirinya terlihat segar. Jika harus mandi ia tidak bisa mengguyur tubuhnya sekaligus. Takut jika air akan mengenai lukanya di kaki.
"Ya udah kita berangkat dulu ya. Hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa telepon," kata Daru berpamitan.
Daru keluar lebih dahulu lalu diikuti Ozi yang mengunci rumah lantas berjalan ke samping untuk menyerahkan kunci lewat jendela kamar Ambar.
"Aku tinggal dulu ya. Kalau ada apa-apa kabari. Semoga cepat sehat kembali."
Ambar tersenyum lalu memegang tangan Ozi yang tengah menjulur lewat jendela. "Kamu juga hati-hati ya kerjanya."
Tanpa Ozi duga, Ambar malah memegang tangannya lantas mencium punggung tangan. Sontak laki-laki itu terkejut dan menarik tangannya. Hal yang dilakukan Kiki kenapa harus Ambar lakukan juga.
"Kamu kenapa cium tangan aku. Udah ah aku berangkat dulu," pamit Ozi buru-buru takut Ambar semakin minta yang lebih. Misal minta cipokan, mengingat Ozi tadi habis sarapan sambil terasi buatan Kiki.
"Iya. Semangat ya kerjanya."
Ambar melambaikan tangan dengan senyuman. Membayangkan seolah ia tengah mengantar kepergian sang suami bekerja, mencium tangannya sebagai bakti seorang istri.
Dulu ia hanya bisa membayangkan, sekarang ia bisa merasakan.
________
KAMU SEDANG MEMBACA
Live
Humor"Barang ready, Say. Kepoin aja yuk. Gercep pokoknya. Naikkan no WA biar admin catat sekalian pesanannya ya." Kisah Kiki, pedagang online yang mengadu nasib di kota berjuluk pesut Mahakam. Dipaksa nikah hanya dengan alasan 'biar ada yang jagain'. Ad...