9. Ada Yang Kacau

431 91 18
                                    

Kiki mengusap liur. Mengucek mata dan melirik ke samping. Tak ada manusia lagi selain dirinya. Oke, ia tatap jam dinding. Sudah subuh rupanya.

Membebat sarung menjadi kemben, ia melangkah ke kamar mandi. Tertutup. Sudah pasti masih di dalam. Kiki putuskan duduk dulu kursi kecil depan lemari es sambil bersandar manja.

Telinga Kiki makin terganggu lama-lama. Ia dengar desahan mendayu di balim kamar mandi. Suara erangan yang semakin lama kok malah semakin mengerikan.

Mata Kiki membuka lebar. Ia berdiri dan menempelkan telinga di pintu. Padahal niatnya hanya menempel. Namun rupanya ia malah nyeruduk jatuh karena pintunya tak dikunci rapat oleh Ozi.

Suara gedebug membuat Kiki nyungsep di lantai kamar mandi yang basah, sementara kakinya masih di depan pintu tersangkut pembatas.

Ozi yang tengah memegang sabun dan mengusapkan ke bagian terlarang untuk dipertontonkan, sontak kaget tak kira-kira melihat istrinya tersungkur di bawah kaki.

Ketika Kiki menoleh ke atas, perempuan itu kaget tak kira-kira.

"Kiki!"

"Abang!"

Dua manusia itu sama-sama terkejut. Kiki yang baru saja melihat benda horo di depan mata, sontak berusaha berdiri dan keluar terseok-seok. Kakinya kesleo. Menahan rasa sakit ia melarikan diri.

"Ya ampun, Tuhan. Mataku ternoda!"

Kiki menarik handuk di jemuran dan menutupi kepalanya. Duduk di lantai dapur sambil menselonjorkan kaki.

"Abang kenapa nggak kunci pintu sih. Itu juga, pisang Abang kenapa bisa bangun segitu panjang?" Kiki ngamuk sambil menutup wajah dengan handuk.

Ozi yang merasa dirugikan karena aurtanya dilihat oleh perempuan tersebut tak kalah murka.

"Ini semua juga gara-gara kamu, tahu. Kamu ngapain dorong pintu padalah tahu aku di dalem."

Kiki mana mau kalah dan salah. "Di dalem kedengeran suara aneh. Aku kira Abang lagi sembelit butuh bantuan."

"Sembelit mana yang butuh bantuan, Kiki? Emang kamu mau bantu pijat perutku biar eeknya keluar? Woy, kamu bukan dukun beranak."

Ozi mengomel sambil membersihkan diri. Kekagetan barusan ada hikmahnya juga. Pisangnya langsung lemas saking terkejut dan merasa syok.

Setelah selesai, ia keluar kamar mandi dan mendapati Kiki duduk sambil menutup wajah dan kepala dengan handuk.

"Ngapain kamu nutupin kepala segala."

Kiki sadar Ozi sudah ada di dekatnya. "Habis lihat penampakan aku, Bang."

Ozi menendang kaki Kiki hingga perempuan itu mengaduh. "Sembarangan ngatain penampakan. Belum tahu aja kamu rasanya gimana."

Sisi jantannya merasa tersinggung juga mengatakan benda paripurnanya dengan penampakan. Belum merasakan saja si Kiki ini gimana fungsinya selain buat pipis.

"Abang suka coli pagi-pagi ternyata," tuduh Kiki.

Ozi duduk di kursi. Menyenggol Kiki dan menarik handuk. Memperlihatkan dirinya sudah berpakaian.

"Sembarangan. Nggak coli tadi tu, cuma mandiin dia biar bersih dan wangi pakek sabun."

Kiki menatap horor ke arah Ozi. "Iyuh, Abang ternyata begitu."

Ozi ogah dituduh seperti itu. "Habisnya kamu diajakin juga nggak mau kan? Mau diapain lagi kalau udah terlanjur bangun. Kamu kira enak apa, tegang tapi nggak ada pelampiasan buat masukin."

"Masukin botol juga beres."

"Weh, mana cukup dia masuk botol. Tutupnya kan sempit."

"Masukin gayung."

"Kok jadi kamu yang ngatur. Ini kan punyaku. Makanya, sekali-kali ngerasain biar tahu enaknya. Terima dan sayangi dia lah, Ki. Enak loh dia."

Kiki menarik lagi handuk di tangan Ozi. "Iyuh, jorok. Enak dari mananya tuh barang."

"Eits, bisa dibuktiin nih sekarang. Mau dicoba di sini apa di kamar?" tantang Ozi sambil maju dan memegang ikatan sarung. Hendak melepas di depan Kiki.

Perempuan itu menjerit dan berlari setengah terpincang menuju kamar mandi. Ozi yang melihatnya hanya bisa terpingkal.

***

Ozi sudah berangkat kerja, dengan sarapan mi goreng pakaj sawi dan wortel, lauk telur dadar ditambah tepung biar jadi banyak. Kiki yang masak, karena Ozi sudah masak mi semalam.

Selesak cuci-cuci dan beberea rumah, Nanda datang sekitar pukul sembilan. Keduanya akan gegas mengirimkan barang.

"Sorry ya, Ki, semalem hujan. Mana gang rumahku banjir lagi ini tadi," sesal Nanda.

"Santai aja. Semalam ada Bang Ozi kok yang bantuin."

"Rame ya semalem, Ki," komentar Nanda begitu melihat tumpukan pesanan hari ini yang penuh.

Kiki mengangguk. "Iya. Makanya sebagian aku kasih kurir. Udah aku pilah kok. Kita anter yang deket aja, biar kurir yang jauh. Mumpung dia bisa."

Nanda mengacungkan jempol. Ia langsung membantu Kiki mengangkuti barang-barang ke motor. Menggunakan tas samping kanan kiri, semua barang pesanan siap diantar. Hanya saja Kiki belum berangkat karena menunggu kurirnya datang.

"Eh, Nan. Mau curcol nih."

Sambil menunggu, Kiki dan Nanda duduk di teras. Helm di peluk dalam pangkuan.

"Kenapa?"

"Ada nggak, orang yang takut sampai pingsan lihat barang milik pasangannya?"

Nanda mengernyit. "Barang apaan kok bikin pingsan?"

Kiki menjitak kepala temannya guna menahan rasa malu. Masa ia harus menjelaskan detailnya sih.

"Ih, Nan, barang itu loh. Onderdil. Media buat berkembang biak."

Nanda mengangguk sambil memegangi kepalanya. "Oh, burung Ozi maksudnya? Kamu udah lihat bentuk dan ukurannya nih, Ki? Gimana, bikin pingsan banget ya?"

Nanda malah terkikik geli membayangkan Kiki terkajoet-kajoet begitu dihadang benda yang belum pernah ia lihat secara nyata di depan mata sebelumnya.

Kiki beringsut mundur. "Ya nggak kaget segitunya sampek pingsan sih, Nan. Enak aja."

Nanda mengacungkan telunjuk. "Jadi, kalian udah sama-sama pamerin onderdil, Ki? Apa udah sampek tahap mendesah bersama?" tanya Nanda bersemangat. Pasalnya jika membahas hal seperti ini Nanda selalu berkobar semangat.

Kiki menggeleng. "Belum sih, aku masih takut gituan. Lagian Ozi juga nggak maksa, malah nakut-nakutin."

Nanda tampak berpikir. "Dia pengen kali, Ki, tapi nggak berani minta. Namanya laki-laki kalau bangun, bikin pusing kalau nggak dikeluarin."

"Nggak ah. Dia bisa sendiri, nggak perlu aku juga nggak masalah kayaknya. Udah bisa dikeluarin sendiri."

"Keluar di mana emang?"

Mengendikkan bahu, tanda Kiki tak peduli. Kurir sudah datang, Kiki langsung mengarahkan pada kuris membawa barang yang sudah ia siapkan. Giliran Nanda dan Kiki yang berangkat.

Nanda menjadi sopir, sementara Kiki dibonceng. Dalam perjalanan Nanda masih kepo dengan kegundahan Kiki.

"Coba deh, Ki, tawarin. Mau dibantu ngeluarin nggak? Kalau kamu belum siap dibobol perawan, suruh keluarin di mulut aja."

"Hah? Mulut? Jorok, Nan!"

"Ya minimal kamu bantu dia keluar dulu kek. Dielus, diremes, dijilat apa dicucupi terserah kamu."

Mendengar ide Nanda kok malah bikin Kiki pusing membayangkannya. Rumitnya jadi istri dadakan. Belum pro soal urusan pisang dan keluar masuk.

_____

LiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang