5. Bantuan

342 97 31
                                    

"Bang!"

"Apa?"

"Nganggur kan?"

Kiki sudah menemepelinya seperti cacing. Ozi yang asyik baring tengkurap sambil nonton film di Selegram, merasa sang istri pasti ada maunya. Tanda-tanda yang sudah Ozi hapalkan kalau Kiki sedang meminta sesuatu.

Satu. Kiki akan sangat murah senyum padanya. Bahkan saat ia mau masuk WC saja disenyumin.

Dua. Kiki akan tiba-tiba menempel padanya, menawarkan pijatan, tak lupa senyum dan kedipan yang tak ada genit-genitnya. Malah horor bagi Ozi.

Tiga. Kiki akan senang hati menggantikan tugas Ozi. Misal, cuci piring langsung diambil alih oleh Kiki.

Nah, sekarang Kiki ada di tanda-tanda nomor dua. Ozi cuek saja. Ia masih asyik nonton. Mumpung episode baru web series yang ia ikuti sedang update.

"Bang, tatap aku dong."
Kiki merajuk. Ia tangkup kedua pipi Ozi dan wajahnya diarahkan menghadap padanya.

"Apa sih!" Ozi melepas tangkupan tangan Kiki. "Repot, nggak ada nganggurnya."

Kiki tak mau kalah. Ia ikut tiduran di samping Ozi. Menempelkan tubuh, satu kakinya ia naikkan di atas pantat Ozi yang bersarung warna merah.

"Bang, sekali ini aja deh."

Ozi mem-pause tontonannya. Meletakkan ponsel dan melepaskan kaki Kiki di tubuhnya.

"Kali ini apa?"

Kiki girang. Ia duduk lalu bertepuk tangan girang. "Anterin barang."

"Jadi kurir lagi?"

Kiki mengangguk. "Iya. Aku live nya tadi kesorean. Kurir yang biasanya nggak bisa. Nanda juga nggak bisa. Satu-satunya orang yang bisa ya cuma Abang nih sekarang. Mau ya?"

Bibir Ozi sewot. Sudag tiga kali ini ia jadi kurir dadakan Kiki. Padahal dia kan capek habis kerja. Pulang jam lima, mampir jajan sama Daru sampai rumah jam enam. Magrib, makan, udah isya. Sekarang baru bisa rebahan tapi suruh anterin barang.

"Malem gini, kenapa nggak besok aja sih anterinnya?"

Kiki meringis. "Cuma dikit kok. Aku jualan bentar aja sore tadi. Yang laku juga nggak banyak."

Wajah Kiki yang merana, tak tega juga Ozi melihatnya. Derita jualan tak tentu jam terbang. Kadang laku banyak, kadang sedikit. Tapi Ozi salut juga dengan istrinya ini. Biar hujan badai menghadang, ia tetap jualan. Kalau kurir sibuk, ia dan temannya akan siap bertarung melawan debu jalanan, guyuran hujan, macet lampu merah, juga kamar berantakan yang membuat Ozi makin pusing lihat rumah.

"Ya udah ayo. Kamu ikut aja, sekalian kita makan di luar nanti."

Kiki langsung memeluk Ozi saking senangnya. Sementara yang dipeluk, ketar-ketir karena dirinya tak siap dengan gejolaj alami nan spontan yang terjadi padanya.

Begitu Kiki melepas pelukan dan pergi siap-siap di kamar belakang, Ozi menatap sesuatu di balik sarungnya. Oh nunu nana, dia bereaksi rupanya.

***

Hanya ada tujuh tempat tujuan saja. Kiki memang jualan sebentar tadi. Meski begitu, ia tetap bersyukur karena ada barangnya yang tetap laku. Kali ini ia jualan kerudung aneka ukuran. Dari balita hingga tua renta. Dua hari lalu sudah jualan baju. Akhir pekan ini ia akan jualan perabotan rumah tangga. Biasanya perabotan lebih banyak yang beli.

Selesai semua, Ozi mengajak mampir makan lalapan. Kiki setuju saja. Ia juga lapar berkeliling mengantar barang.

"Emang kamu nggak punya kurir tetap?" tanya Ozi setelah menyeruput es teh manis sambil menunggu makanan datang.

"Nggak ada. Soalnya dulu pernah dibawa kabur barang jualanku sama kurirnya. Kalau butuh kurir biasanya aku manggil tetangga kontrakanku. Tapi ya gitu, dia juga kerja di bengkel. Nggak bisa sewaktu-waktu dipanggil terus bisa. Akhirnya aku sama Nanda yang anterin langsung."

Ozi mengangguk-angguk. Ia tahu kalau Kiki dan Nanda yang sekaligus jadi kurir. Awal jumpanya dengan Kiki dulu juga karena barang milik Helen diterima Ozi.

Lalapan datang. Keduanya sudah fokus dengan piring masing-masing. Suara sendawa Kiki mengakhiri makan malam di warung tenda. Ozi yang sedang meneguk es teh sampai tersedak mendengar sendawa Kiki.

"Macam anakonda aja sih, Ki."

"Anakonda nggak ada yang seimut aku. Dah yok, pulang, Bang. Aku ngantuk."

Perjalan ke rumah masih ditempuh sekitae dua puluh menitan. Kiki yang kenyang, malah ngantuk di punggung Ozi. Membuat motor hampir oleng karena Ozi kaget si Kiki hampir nyungsep di parit.

"Ki, sadar. Bentar lagi nyampek rumah ini. Melek dong itu mata."

Ozi berhenti juga sambil ngomel pada Kiki yang malah mengelap liurnya.

"Ngantuk aku, Bang. Pengen rebahan."

"Makanya, biar cepet nyampek ya kamunya jangan tidur. Aku mana bisa ngebut juga."

Kiki menguap. "Iya deh iya. Aku melek nih."

Oke. Kiki akhirnya aman terkendali. Namun, begitu sampai di rumah, Ozi dibuat repot lagi dengan istrinya yang malah ketiduran di kamar mandi. Niatnya nongkrong karena perut kekenyangan, malah merem sekalian. Mana pintu tak ditutup pula. Ozi sampai geleng-geleng kepala.

Baru juga beres, Ozi hendak tidur. Ia matikan lampu dapur. Suara TV masih terdengar. Ia tengok, Kiki malah ditertawakan siaran televisi di depannya. Istrinya itu malah merem di lantai tanpa bantal dan kasur, karena kasurnya sudah dilipat sejak mereka berangkat tadi.

Ozi sampai memukul tembok saking kesalnya. Bisa-bisanya Kiki malah tiduran di luar. Padahal kamar mereka tingga selangkah lagi.

Menendang dengan kaki, Ozi membangunkan Kiki.

"Ki, bangun. Pindah kamar sana."

Kiki menggeliat. Melihat Kiki sudah melek dan menatap jam dinding, Ozi gegas ke kamar. Ia langsung berbaring. Seperti biasa, setiap malam ia atau Kiki akan menetapkan satu guling sebagai batasan merek tidur. Meski tiap pagi guling itu entah ke mana arahnya.

Ozi memeluk guling lain, bersiap memejamkan mata. Pintu dibuka. Kiki masuk dengan terhuyung dan mata setengah terpejam. Kepalanya digaruk sampai rambutnya mengembang.

Ozi memperhatikan istrinya itu. Melirik ke luar, rupanya sang istri lupa mematikan lampu tengah. Hendak mengomel, mata Ozi malah terbelalak. Ia sampai terduduk sambil meremas guling.

Di hadapannya, sang istri melepaskan baju baju atasannya kemudian celana tidur. Tinggal dalaman saja melekat di tubuh, Ozi sudah megap-megap. Apakah ini saatnya?

Ozi makin meremas guling di pangkuan. Bahkan ia sampai menutup mulut karena ingin menjerit kala Kiki melepas kaca mata kuda dan menjatuhkan di lantai. Disusul celana dalam yang sedang dilucuti.

Ozi tak kuasa. Ia menutupi mata dengan sepuluh jari yang direnggangkan. Punggungnya makin merapat ke dinding kala Kiki berbalik badan.

Sebentar. Ozi belum siap, Mak!

_____

LiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang