3. Pindah Rumah

373 96 57
                                    

"Sempit banget."

"Ya iya lah. Jangan diteken dong ya ampun, sakit."

"Lebay. Orang nggak kena kok."

"Tuh kan, kejepit. Pelan kenapa sih, Bang."

"Udah pelan ini. Salah sendiri kamu yang maksa. Kayak gini kan jadinya."

"Perdana, bikin sakit badan semua."

"Sama."

Kiki tak tahan lagi. Akhirnya ia yang mengalah pasrah, menerima hasil kesepakatan malam ini yang merugikannya. Tapi, mau gimana lagi. Daripada sepanjang malam suaminya mengomel dan makin menindasnya.

"Oke, oke. Aku tidur di bawah."

Kiki menyerah. Ia bangun dari kasur tak lebar milik Ozi. Membawa selimut untuk digelar di lantai berkarpet warna coklat - putih. Bantal diserahkan Ozi untuk Kiki.

Serasa sudah baring di tempat masing-masing, keduanya benar-benar nyenyak. Melepas penat akan kesibukan seharian ini.

***

Dua hari setelah menikah, Ozi pun memboyong Kiki ke rumah kontrakan yang sudah disiapkannya hidup bersama Kiki. Dulu sudah ia persiapkan untuk hidup sendiri. Tapi tak dibolehkan Helen.

Memang belum ada perabot, makanya isi kamar Ozi dipindah hari ini naik pick up bersama Kiki juga diangkut sekalian. Sementara Ozi naik motor di depan guna menunjukkan jalan.

Tak begitu jauh juga dari rumah Helen, namun sudah beda kecamatan.

Tak banyak barang yang dibawa Ozi dari kamarnya. Ada kasur, karpet, meja, lemari, TV dan sound system kecil untuk ia mendengarkan musik.

Ozi menyewa jasa angkut. Setelah semua masuk, Kiki teringat sesuatu. Ia hampiri Ozi yang sedang berpeluh sambil menggaruk kepala di teras rumah Helen.

"Bang, kalau barang-barang di rumah lama aku bawa sekalian ke rumah kita gimana? Soalnya kontrakan aku juga udah mau habis dan barang-barang di sana nggak ada yang pakai."

Ozi sebenarnya berniat ingin membeli perabot rumah tangga mereka sendiri. Namun ide dari Kiki tak bisa diabaikan juga.

"Ya udah nggak papa angkut aja. Emang ada apa aja di rumahmu?"

"Ada mesin cuci tapi agak rewel, mintanya dielus sama dipuji-puji dulu biar dia mau muter. Ada juga TV tapi udah mati, rencananya mau aku jual. Terus ada lemari juga. Baju-baju udah aku masukin kardus kok. Dan yang terpenting nih, Bang, peralatan dapur. Soalnya aku kan suka masak mie dan telur ceplok. Ad kompor, wajan, panci, semuanya lengkap daripada nanti beli baru kan lebih hemat."

Ozi mengangguk-angguk. "Ya udah kek gitu aja aman. Entar kalau rusak baru kita beli baru," putus Ozi daripada ia bingung-bingung.

Setelah dari rumah Helen, pick up bergerak menuju rumah kontrakan yang dulu ditinggali oleh Kiki dan mendiang orang tuanya. Barang-barang yang sekiranya besar diangkut semua sementara yang kecil-kecil nanti akan ia bawa bersama Nandra.

Tiba di rumah kontrakan, laki-laki itu lekas memberi aba-aba pada mobil di mana bisa parkir, karena memang jalannya tidak begitu lebar.

"Ini dimasukkan semua ya, Om. Lemari sama kasur masukkan kamar. Nanti biar sisanya kami yang sendiri yang tata," kata Ozi pada dua orang yang menurunkan barang-barang miliknya ke dalam rumah.

Kiki yang baru turun dari mobil sambil membawa tas ranselnya, ikut masuk dan langsung duduk di pojokan menatap lalu-lalang pekerja yang mengangkut barang masuk ke rumah.

Selesai semuanya, dua pekerja pamit. Tinggal Ozi dan Kiki. Sepasang pengantin baru yang sibuk menata rumah baru mereka.

"Ntar kamar kita di depan aja ya, Ki. Soalnya kalau di depan ada jendela, bisa sambil lihat orang lewat," kata Ozi menyuarakan ide.

"Ya terserah mau di depan apa belakang yang penting bisa tidur." Kiki malas menanggapi, toh mau kamar depan atau belakang tak ada bedanya.

"Kamu bawa kasur dari kontrakan, aku bawa kasur juga dari rumah. Enaknya kasur kita ditumpuk apa digabungin, Ki?" tanyanya tengah memikirkan posisi tempat tidur mereka berdua dalam satu kamar nanti.

CDisandingkan aja. Ogah aku kalau ditumpuk, ujung-ujungnya juga sama nanti lebarnya. Mana muat kita tidur berdua. Udah dua hari aku tidur di lantai lagi. Badan sakit semua. Pokoknya nanti malam aku mau tidur di kasurku sendiri!" kesal Kiki mengingat hari-harinya yang suram karena dibiarkan begitu saja tidur di lantai beralas karpet dan selimut.

"Atau gini aja, Ki. Kita beli kasur yang gedean terus kasur-kasur kita yang kecil ini taruh di ruang depan buat nonton TV gimana?" usul Ozi karena merasa lebar dan panjangnya dua kasus tersebut tidak estetik jika disandingkan.

"Terserahlah, yang penting aku tidur di kasur. Enggak mau lagi tidur di lantai!" jawab Kiki enggan berdebat.

Ia pun keluar kamar dan menuju ruang tamu, di mana beberapa barangnya ada di sana hendak ia tata.

***

"Kayak gini loh, Ki. Seru ini bisa main trampolin." Ozi mengusap permukaan kasur di hadapannya. Ia lantas duduk dan memantulkan tubuh, meraskan keempukan kasur yang hendak mereka beli.

Kiki menggeleng. "Enggak ah. Tinggi, kakiku gantung kalo duduk. Aku kan pendek, Bang."

Ozi bersikeras. Masalahnya kasur yang ia taksir ini empuk, harga lebih terjangkau."

"Nggak papa, Ki. Ntar aku kasih kursi kecil buat kamu naik dan duduk biar kaki tetep nyentuh. Bagus soalnya ini, Ki. Empuk aku dudukin. Eh, kita cobain yuk tidur berdua di sini. Pas nggak kira-kira ya?"

Belum sempat Kiki melarang, Ozi sudah merangkak naik ke kasur. Merebahkan diri di atas kasur berlapir plastik. Pegawai toko yang melihat hendak memperingati tapi Kiki cepat-cepat minta maaf.

"Maaf ya, Mbak. Maklum, anak goa. Baru ngerasain kasur empuk. Harap dimaklumi ya. Saya jamin nggak bakal lecet kok kasurnya. Buat tes drive bakalan pas apa nggak," jelas Kiki sambil menundukkan kepala merasa tak enak.

Sambil meringis kesal, ia tarik kaki Ozi agar lekas turun. Meski enggan karena terlalu nyaman, Ozi pun turun dari kasur.

"Enak loh, Ki. Pas buat panjangnya kakiku. Kalau buat berdua udah pasti pas. Bahkan nambah orang di tengah kita juga masih cukup. Buat genjotin kamu juga lumayan kuat ini ntar, nggak bakal jebol kok."

"Ya udah deh ambil aja. Tapi bener ya beliin kursi buat naik."

Ozi mengacungkan jempolnya. "Siap!"

Baiklah, saat malam ini keduanya akan tidur satu ranjang. Selesai membayar, pegawai memastikan barang diantar malam ini paling lambat. Hari masih sore, dan antaran masih ada beberapa tempat.

Setelah selesai dari beli ranjang, Ozi mengajak Kiki beralih ke toko peralatan rumah tangga. Namun sebelum masuk, Ozi ajak sang istri mampir minum es pisang hijau di seberang toko.

"Es pisang ijo?" ulang Kiki saag Ozi menawarinya.

"Iya. Doyan nggak kamu."

Kiki bertepuk tangan. "Doyan lah. Aku suka pisang soalnya. Pokoknya ya, Bang, segala jenis pisang aku suka. Dari pisang maulin yang kecil sampek pisang tanduk yang gede panjang aku suka."

Ozi mengangguk-angguk lalu menjentikkan jari. "Bagus deh kalau suka semua jenis pisang. Takutnya kamu kaget dan nggak bisa nerima jenis pisang punyaku. Yuk lah, haus nih."

__________

LiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang