14. Perjanjian Damai

407 74 9
                                    

"Ehm, yah dikit lagi, Bang!"

Kiki merintih kala remasan pada dua bukit kenyal diiringi hujaman bertubi dari laki-laki di atas, begitu membuatnya gila. Apalagi saat badai memporak-porandakan musim semi yang tadi sempat menerpa.

Ozi tak ketinggalan. Ia terus bergerak untuk keluar masuk daerah terlarang yang sudah diidamkan. Apalagi melihat sang kekasih di bawah sana merintih nikmat.

"Yes, yes. Tahan, Ki. Keluar bareng biar banjir bandang kasurnya."

Kiki mengangguk kecil. Ia terlalu fokus pada kenikmatan yang belum pernah ia rasakan. Membuainya makin lama malah menerjang sanubari. Tak tahan juga menahan gelombang yang akan menerjangnya.

Ia mendesah panjang, diiringi erang nikmat laki-laki yang membobolnya. Banjir bandang yang diharapkan Ozi pun terjadi.

Merubuhkan diri di samping Kiki, Ozi mengatur napas. Dirasanya hangat di kasur, lengket di tubuh karena keringat. Memejam mata sejenak guna meredam lelah, ia sontak terkaget saat bunyi alamr membangunkannya.

Ozi mengerjap. Menatap sekeliling, masih ada di kamar. Ia duduk untuk meregangkan tubuh. Menguap, dan baru disadari sarungnya basah. Menoleh ke samping, ia melihat Kiki tak ada di sana. Bibirnya tersenyum simpul mengingat hal yang mereka lakukan barusan.

Memperhatikan lagi pada sprei, ada bercak merah di sana. Ozi menutup mulut tak percaya. Semalam ia benar-benar sudah memeranwani Kiki? Oh astaga, ia berani juga.

Mendengar suara air bergemericik dari belakang, Ozi bergegas turun sambil membenarkan sarungnya. Mencari Kiki yang rupanya sedang mencuci daster di kamar mandi, sementara pintu kamar mandi dibiarkan terbuka dan Kiki sendiri memakai kemben handuk bersiap akan mandi kemudian.

Ozi yang melihat Kiki di sana, menggeleng tak percaya. Mengira bahwa Kiki sedang membersihkan baju yang ternoda setelah percintaan mereka. Dan istrinya itu akan mandi besar di subuh buta seperti ini karena dirinya.

Oh, Tuhan. Ozi merasa bersalah sekaligus enak juga jika mengingat kejadian tadi.

Kiki merasa ada yang mengawasi. Menoleh, ia dapati Ozi bergeming di depan kamar mandi.

"Astaga bikin kaget aja, Bang. Mau ke kamar mandi? Bentar, nyuci baju dulu. Kena darah soalnya. Kasurnya ntar nyusul kalau udah pagi," kata Kiki santai.

Berbeda dengan Ozi yang begitu terharu. Momen ia dan Kiki saling melepas segel akhirnya terjadi. Dan bercak darah yang sering ia dengar sebagai hal banyak dibincangkan itu akhirnya bisa Ozi lihat sendiri.

"Ki, maaf ya. Sakit banget pasti baru pertama kali."

Kiki menoleh. Mengernyitkan kening. Akhirnya, suaminya mau ngomong juga dengan dirinya. Kesambet apa semalam dia.

"Ya gimana lagi, Bang. Udah takdir sebagai perempuan ya gini."

Menurut Kiki datang bulan kan sudah kodrat perempuan. Mana ada laki-laki datang bulan. Jadi repot dan sakit seperti ini sudah hal biasa yang dilakukannya sejak SMP kelas dua.

"Darahnya bikin sakit?" tanya Ozi lagi penasaran.

"Ya gitu deh, kalau pertama kayak gini emang sakit. Nanti juga berikutnya biasa aja."

Ozi merasa tak enak dan bersalah pada Kiki. Sudah membuatnya repot di pagi buta begini.

"Kamu pemulihan dulu aja, Ki. Habis hilang perawan nggak usah mikir yang berikutnya. Aku bisa tahan kok," kata Ozi menenangkan.

Lah, Kiki yang tak paham. Ada apa bawa-bawa datang bulan dengan perawan segala subuh-subuh gini.

"Bang, maksudnya siapa yang hilang perawan?" Kiki butuh pemahaman dong, dari pada ia makin pusing nanti.

"Punya kamu lah. Kan semalam kita habis ngelakuinnya. Aku bobol perawan kamu sampai darahnya netes di kasur."

Kiki menghentikan kucekan. Ia berdiri dan menghadap Ozi. Garuk-garuk payudara berbelut handuk yang gatal.

"Kayaknya Abang masih belum kumpul nyawanya deh. Gini, aku dan Abang semalam itu ngorok bareng. Dan darah di kasur itu darah datang bulanku yang tembus."

Giliran Ozi yang membelalak terkejut. "Jadi, kita semalam nggak nganuan?"

Kiki menggeleng. "Ya nggak lah, orang aku mens gimana mau jebol perawan. Gimana sih."

Ozi menggigiti bibirnya resah. Jadi, yang ia banjir bandang itu hanya mimpi basah semata?

"Jadi, bukan kenyataan ya."

Tanpa Kiki menjawab, Ozi sudah berjalan lagi linglung menuju kamar. Membaringkan tubuh meratapi kekecewaan akan kejadian halu yang ia alami. Sementara Kiki balik dengan cucian dan segera ia jemur, baru kemudian mandi bebersih.

***

Sarapan kali ini masih diwarnai raut kecewa di wajah Ozi. Hanya saja interaksi keduanya sudah mulai mencair. Ozi sudah mau menjawab pertanyaan Kiki.

"Bang, jangan ngelamun ya ampun. Nasi dimakan, bukan sendoknya. Bukan Limbad ya," peringat Kiki melihat suaminya yang aneh sejak bangun tidur.

"Kenapa sih? Mimpi basahnya nggak seru? Tapi banjir tuh sarung."

Ozi mendesah. "Ya gitu deh."

"Tenang, ntar juga mimpi lagi. Bayangin artis cantik biar dapet pasangannya punya muka," nasehat Kiki.

"Mana enak cuma mimpi. Enak beneran."

"Ya ntar lah, tunggu aku selesai dulu. Ntar aku temenin."

Mendengarnya, Ozi langsung menjatuhkan sendok ke piring dan menoleh antusias pada Kiki di sebelahnya.

"Serius? Kamu udah ngizinin dibobol sama aku?"

Kiki meringis takut. "Belum sih. Tapi ya, gimana ya. Nggak debut-debut ntar Abang jajan di luar."

Ozi berdiri. Melempar tas kerja yang ia taruh di sebelah. Melompat, berguling, menepuk tembok saking senangnya. Akhirnya Kiki ngasih izin juga.

Kiki melihat kebahagiaan Ozi jadi miria sendiri. Memang segitu ngebet apa gimana sih suaminya ini. Sampai baju kerjanya kusut lagi dibuat atraksi.

Setelah kembali ke tempat duduknya, Ozi masih melebarkan senyum.

"Live jualan nggak ntar malem? Aku bantuin. Kapan pun kamu mau, ajak aku jadi modelnya nggak papa," janji Ozi menyatakan ketersediaan dan balas jasa pada Kiki.

__________

LiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang