30. Haruskah?

253 40 14
                                    

Daripada ia terperdaya lebih dalam, Ozi memutuskan untuk menghampiri Daru yang duduk bersama Nanda sambil mengambil foto secara selfie berdua. d
Dilihatnya Kiki berjalan ke arah mereka, duduk dekat Nanda. Ozi semakin dekat dengan mereka diikuti Ambar yang juga setengah berlari mengejar Ozi.

"Loh kalian udahan main basketnya?" sambut Daru melihat kedatangan teman-temannya.

Kiki yang melihat dua manusia kembali menempel jadi meresa bersalah. Kenapa ia larut pada permainan dan melupakan keberadaan suaminya yang harus dijaga ketat. Dasar masih bocah, ia malah tergoda mainan ketimbang menjaga suami. Kiki merutuki kebodohannya.

Duduk di samping Kik di paling ujung dengan pantat sebelah terkena kursi dan sebelahnya mengambang tidak kebagian.

Daru melirik dan menggeserkan tubuh. Nanda ikut menggeser begitu pula dengan Kiki, hingga akhirnya pantat Ozi sempurna duduk di atas kursi. Sementara Ambar duduk di samping Daru.

"Kamu udah main apa aja?" tanya Ozi pada sang istri yang terlihat melotot ke arahnya.

"Nggak main banyak sih, Bang, lebih banyak dimainin dari tadi," sindir Kiki menyeruput esnya.

"Siapa yang berani mainin kamu?"

"Nggak tahu, ada kok pokoknya. Mainin hati aku, kirain bakal singgah lama eh ternyata malah ngerumpi ke tempat tetangga," sindir Kiki makin tajam yang membuat Ozi merasa bersalah.

"Aku tadi diajak main basket aja sama Ambar, nggak ngapa-ngapain kok. Cuma main basket," kata Ozi membela diri sambil melirihkannya di dekat telinga.

"Main bola basket apa mainan bola dia? Kayaknya sama-sama bisa dipantulin deh."

Jawaban Kiki yang begitu sewot makin membuat Ozi ketar-ketir. Bisa-bisa ia dihajar sampai rumah melihat ekspresi Kiki yang tidak santai sama sekali. Ozi menggigit bibir resah.

"Beneran cuma main bola basket aja. Lama nggak main, Ki. Maaf ya, jangan ngambek dong." Ozi minta maaf pada sang istri.

Nanda yang melihat pertarungan dua manusia di sampingnya menoleh pada Daru dan berbisik pada laki-laki itu.

"Bang anterin aku toilet yuk, daripada di sini gangguin orang lagi merajuk."

Daru melirik paham pada pasangan yang tengah berselisih. Ia pun mengangguk dan mengantarkan Nanda ke toilet, meninggalkan Ambar yang jadi obat nyamuk di sana bagaimana Ozi tengah membujuk Kiki dengan sekuat tenaga.

Kesal melihat dan mendengar pemandanga tak biasa dari Ozi yang mengeluarkan mode manja merajuk, pada akhirnya Ambar pun angkat kaki dari kursi tersebut. Keluar membawa es teh, berdiri bersandar pada pinggiran balkon.

Padahal ia sudah mendapatkan kesempatan bagus beberapa saat lalu. Ambar mengeluarkan foto dari dalam sakunya yang ia ambil buru-buru setelah Ozi keluar dari PhotoBox. Melihat wajahnya dan Ozi di kertas tersebut, Ambar sedikit tersenyum sebagai penghiburan. Ia akan menyimpan foto itu kamar dan juga di dompetnya.

***

Nanda dan Kiki menukarkan tiketnya. Karena mereka berdua mendapatkan lumayan banyak, dibantu oleh Ozi Kiki menukarkan beberapa barang. Meskipun tidak banyak, tidak sampai mendapatkan barang yang diinginkan tapi Kiki sudah senang.

Mereka berlima jalan-jalan turun ke lantai bawah. Ozi menggandeng tangan Kiki, Daru berjalan beriringan dengan Nanda, sedang Ambar berjalana sendirian sambil wajahnya manyun merasa dirinya sendiri yang tidak bergandengan.

Ozi memilih salah satu tempat makan untuk mengisi tenaga setelah lelah bermain. Ambar terus menggigit jari melihat kemesraan Ozi yang begitu ditampakkan secara nyata, seolah-olah mengejek dirinya. Begitu pula dengan gigi yang entah kenapa bersikap manja minta disuapin makan dan balik menyuapi. Nanda dan Daru tidak melakukan hal serupa sampai saling berbagi lauk untuk diicipi, membuat Ambar merasa keberadaannya terabaikan.

Pulang ke rumah masing-masing, Kiki dan Ozi sudah berdamai. Daru mengantar Nanda pulang sementara Ambar juga pulang sendiri ke rumahnya.

"Gimana tadi mainnya, enak kan? Nanti kapan-kapan kita main lagi. Kamu kumpulin aja tiketnya jangan ditukar dulu biar sampai banyak baru dituker," saran Ozi.

Emangnya kamu pengen apa sih?" tanya Ozi saat mereka berdua sudah sampai di rumah, selonjoran di depan TV menikmati kipas angin menerbangkan rambut.

"Maunya sih dapetin tas, dapat, boneka sama dapetin rice cooker. Tapi kok poinnya harus ribuan. Padahal aku cuma dapat seratus lebih dikit. Emangnya boleh disimpan banyak nggak ada kadaluarsanya?"

"Bisa kok kumpulin aja, lagian ini bukan pempek yang ada kadaluarsanya disimpan di di kulkas."

"Iya deh nanti aku kumpulin satu ta."

Ozi merasa senang karena Kiki merasa bahagia hari ini. Ia juga sudah berdamai dan Kiki tidak mengungkit soal Ambar lagi. Karena kelelahan, mereka berdua pun tidur tapi di tempat yang berbeda. Ozi tertidur depan televisi sementara Kiki di kamar.

Menjelang sore, Ozi bangun lebih dahulu untuk ke kamar mandi. Ia lihat Kiki masih tidur. Ozi hendak membangunkan namun urung karena suara ponselnya berdering, tanda ada panggilan. Melihat nama Ambar di sana, Ozi meraih ponsel, memasang headset dan keluar rumah duduk di teras.

"Iya, Mbak."

"Kamu kok nggak bilang apa-apa waktu kita pisah pulang?"

Ozi mengernyitkan kening. "Emangnya aku harus ngomong apa? Kita kan juga udah pamitan bareng-bareng tadi."

"Kamu nggak tanya aku senang nggak hari ini atau sekedar bilang hati-hati di jalan. Biasanya kamu nggak pernah lupa ngucapin kayak gitu saat kita mau pulang."

Ozi diam sejenak. "Maaf, Mbar, aku lupa," sesal Ozi.

"Tau nggak sih gara-gara kamu nggak ngucapin kayak gitu aja, aku kepikiran sampai-sampai aku tadi jatuh keserempet pas mau nyampe rumah," adu Ambar yang membuat Ozi kaget.

"Kamu jatuh, terus sekarang gimana keadaannya? Kamu nggak papa kan, udah ke rumah sakit" tanya Ozi beruntun dengan nada suara yang begitu khawatir.

Ambar di seberang tersenyum. "Kamu, baru dengar aku sakit aja langsung bingung. Tahu nggak sih, itu tandanya hati kamu itu masih ada aku."

"Mbar, nawab dulu nggak usah bahas soal hati. Gimana keadaanmu sekarang?"

"Aku memang luka tapi udah diobatin. Tadi ada orang yang nganterin aku ke klinik terdekat tapi susah buat ngapa-ngapain karena kakiku yang kena."

"Astaga seberapa parah sampai kamu nggak bisa ngapa-ngapain?" cemas Fauzi.

"Parah sampai butuh kamu datang ke sini. Itu pun kalau kamu mau dan masih peduli sama aku. Aku benar-benar butuh bantuan seseorang," kata Ambar memelas membuat hati nurani Ozi langsung bergetar.

Ia tak bisa membayangkan Ambar yang hidup sendiri, sudah sakit pula tidak ada yang menemani.

Berdiri hendak masuk ke rumah berencana mengambil kunci, Ozi berpapasan dengan Kiki yang berdiri di dekat tembok ruang tamu.

"Kamu mau nemuin Ambar?" tanya Kiki tenang.

"Iya, Ki. Maaf, Ambar habis kecelakaan dan nggak ada orang di sana. Aku cuma mau lihat keadaannya aja boleh kan?"

Kiki berpikir lalu menggangguk.

Begitu Kiki menggangguk, Ozi langsung buru-buru berganti baju. Mengambil kunci dan dompet langsung bergegas menyalakan motor pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan Kiki yang entah kenapa meneteskan air mata di ambang pintu, seolah-olah ia sedang patah hati.

______

LiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang