16. Unboxing Berdarah

313 63 7
                                    

16. Unboxing Berdarah

"Zi, jangan lihat aku."

Kiki menutup mata saat Ozi ada di atas, menindih tubuhnya sembari bagian bawahnya ditusuk-tusuk pisang tanpa salam lebih dulu. Main diusap, digesek, diterobos hingga Kiki jejeritan. Ditambah lagi Kiki menendang Ozi sampai laki-laki itu terpelanting ke lantai.

Ozi yang kesakitan pun merangkak kembali ke kasur. Mengusap pantat dan mengulangi usahanya kembali.

Giliran sudah masuk sedikit dan mencoba didorong masuk, Kiki malah memukul lengan Ozi karena kesakitan. Yah, mau tak mau Ozi berhenti lagi.

Setelah dirasa aman, Ozi berusaha lagi dengan sekuat tenaga dan berdoa dengan khidmat sebelum itu.

Meski diiringi teriakan, jambakan, juga cakaran, akhirnya masuk semua. Barulah Ozi bergerak keluar masuk diiringi desah nikmat yang otomatis keluar begitu saja dari mulut Kiki. Dasar! Sudah enak saja main desah-mendesah.

"Gimana mau nggak lihat? Emang mataku buta apa?"

Kiki meringis sambil menatap Ozi yang wajahnya ada di atasnya.

"Aku malu, juga takut. Merem kek, apa ditutup, Bang."

"Merem aja kamu. Nikmatin, biar aku yang gerak."

Ozi masih terus bergerak di bawah sana. Kiki akhirnya memejamkan mata. Baru saat Ozi makin mempercepat gerakan dan gundukan sekenyal cincau hitam dicucup pucuknya oleh Ozi, Kiki makin menggelinjang.

Tangannya meremas rambut Ozi dan jeritnya tak bisa ia tahan lagi. Oh, dirinya keluar juga. Meski begitu, Ozi masih terus bergerak. Makin membuat Kiki merintih.

"Bentar, Ki. Mau keluar. Jan gigit rambutku."

Kiki tak peduli. Ia juga tampaknya akan keluar lagi. Bahkan yang terakhir ini rasanya ah ... mantap. Bersamaan dengan Ozi pula. Kompak seperti lomba Agustusan saja.

Ozi menjatuhkan diri di samping Kiki yang terengah masih dengan tubuh berkeringat dan kaki setengah terbuka.

"Udah selesai, Ki. Tutup warungnya."

Kiki perlahan merapatkan kaki, tapi nyeri menyerang.

"Aduh, Bang, perih buat digerakin doang."

Kiki meringis, namun berhasil merapatkan kaki. Menarik selimut yang terlipat di dekat bantal, melebarkan dan menutupi dirinya agar tak masuk angin.

"Sakit kek gini kok orang-orang pada open BO perawan pas tahun baru. Nggak perih apa ya," komentar Kiki yang kini berusaha miring ke arah Ozi yang diam menatapnya.

"Kayak ngerti open BO aja."

"Denger doang, Bang. Aku nggak pernah loh. Buktinya dijebol tadi ada darahnya kan?"

"Hem."

"Duh, hilang sudah kegadisanku. Diriku tak suci lagi. Tubuhku dijamah."

Ozi berdecih. "Halah, lebay."

"Terus habis ini ngapain, Bang?"

Ozi bangun, lalu duduk di tepi ranjang.

"Mandi, Ki. Masa nyemil batako sih. Pakek nanya segala."

Ozi mengambil sarungnya. Memakai sembarangan sambil memegang miliknya yang sudah berhasil membobol gawang. Masih ada bercak merah di sana.

"Akhirnya, ada gunanya juga selain buat pipis." Kemudian ia usap manja untuk meredakan rasa sakit.

Maklum, baru pertama dan masih amatir. Butuh banyak latihan baru merasakan nikmat seperti kata orang-orang.

"Aku mandi dulu, Ki. Jan merem, bersihin badan baru tidur."

Dengan mata setengah memejam Kiki menjawab, "Iya, Bang."

Ozi melenggang kek kamar mandi. Sementara Kiki tertatih bangun dan turun dari ranjang sambil berpegangan. Sungguh sakit sekali ia rasakan. Memakai baju tanpa dalaman, ia tarik sprei kusut masai dengan bercak miliknya.

Membawanya ke belakang untuk direndam. Sambil menunggu Ozi berdendang dan beradu bahagia dengan pisangnya karena berhasil menunanaikan tugas, Kiki manfaatkan untuk membereskan kekacauan di kamar.

"Darah suci akuh," lirih Kiki menatap bercak di sprei yang lantas ia lepaskan dari ranjang.

"Diriku yang tak lagi polos. Diriku yang bercorak karena ulah jejaka."

______

LiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang