Bab 9

806 52 0
                                    

Sebuah takdir yang tak bisa dipercayai. Dua insan yang dipertemukan oleh takdir, kemudian dipisahkan oleh takdir. Tapi pada akhirnya dipertemukan kembali oleh takdir.
~Muhammad Irsyad Al-Fatih~
____________________________________

Tiada hari tanpa lelah bagi Laila. Setiap harinya Laila terus mencari sebuah pekerjaan, yang tak kunjung ia dapatkan. Tapi, gadis itu tidak pernah berputus asa. Setelah berjam-jam ia berkeliling mencari pekerjaan, tiba-tiba netranya melihat selembar kertas yang tertempel di pohon. Saat Laila membacanya, kertas itu berisi tentang lowongan pekerjaan di sebuah restoran menjadi pramusaji. Sebuah kesempatan bagi Laila untuk melamarnya dan beruntung restoran itu tidak jauh.

Setelah beberapa menit menaiki angkutan umum, Laila pun turun. Gadis itu langsung memberikan selembar uang Rp. 10.000 kepada supirnya. Bergegas ia pun langsung memasuki kawasan restoran tersebut.

“Permisi, Pak.” Ucapan Laila membuat satpam itu menoleh.

“Iya, Mbak. Ada apa?” tanya Satpam itu.

“Gini, Pak. Katanya, di restoran ini ada lowongan pekerjaan?” tanya Laila dengan sopan.

Satpam itu menganggukkan kepalanya. “Benar, Mbak. Mari, saya antar bertemu dengan pemilik restoran ini.”

Laila mengangguk mengiyakan. Kemudian, satpam itu melangkahkan kakinya dan diikuti Laila di belakangnya.

Begitu ramainya tempat ini. Laila yang sedari tadi mengedarkan pandangannya, melihat restoran ini cukup besar.

“Maaf, Bu. Ini ada seseorang yang katanya ingin melamar pekerjaan.” Satpam itu berbicara kepada wanita yang sudah berusia sekitar 50-an.

Laila tersenyum saat wanita paruh baya itu tersenyum. Kemudian, satpam itu pamit pergi saat Laila sudah bertemu dengan pemilik restoran itu.

“Saya Laila, Bu. Saya ke sini ingin melamar pekerjaan, jika Ibu berkenan menerima saya,” ucap Laila memperkenalkan diri dan menjelaskan maksudnya.

“Saya Rani. Kamu bisa panggil saya Ibu Rani. Sebentar ya, mari ikut saya ke ruangan saya?” ajak pemilik restauran itu sambil melangkah dahulu. Laila pun akhirnya mengikuti langkahnya dari belakang.

Setelah berada di dalam ruangan, Laila di suruh untuk duduk. Wanita paruh baya itu pun mengambil sebuah kertas, lalu memberinya kepada Laila.

“Kamu tulis biodatanya. Saya mau keluar sebentar karena ada keperluan. Tapi, nanti saya ke sini lagi.” Laila hanya mengangguk paham. Kemudian, wanita pemilik restauran mengambil beberapa keperluannya, lalu ke luar dari ruangan.

Setelah itu, Laila pun mengambil sebuah pensil yang berada di meja. Tangannya terus mengisi beberapa biodata yang harus Laila isi. Tanpa waktu yang lama, Laila akhirnya selesai menulis biodatanya. Sambil menunggu wanita pemilik restauran datang, Laila sesekali melihat ponselnya yang ternyata sebentar lagi waktu dzuhur.

Tiba-tiba terdengar suara seperti ada seseorang yang ingin membuka pintu. Laila yang masih terdiam, tanpa menoleh ke arah pintu. Gadis itu berpikir, jika yang datang adalah Ibu Rani.

“Assalamu'alaikum,” ucap seseorang. Laila bisa mendengarnya, bahwa yang datang bukanlah Ibu Rani. Tapi, melainkan suara dari lelaki.

Rasa takut sudah menghantui pikiran  Laila. Ia tidak berani menoleh ke belakang untuk mencari tau siapa yang datang. Suara langkah kaki pun semakin terdengar lebih keras, karena seseorang itu memang sudah dekat jaraknya.

“Maaf, mencari siapa ya?” tanya seorang lelaki tersebut.

Laila pun sedikit memberanikan diri, kemudian keduanya menatap secara bersamaan.

Deg!

Lelaki tersebut sedikit mengucek matanya, karena takut salah melihat. Tapi, ternyata penglihatannya ini benar. Keduanya masih saling menatap tak percaya, bahwa takdir mempertemukan kembali. Kemudian, Laila pun menundukkan pandangannya.

“Izzah?” tanya Irsyad memecahkan keheningan.

Laila sedikit mendongakkan wajahnya, kemudian menatap Irsyad. “I--iya, Pak Irsyad.”

Irsyad pun tertawa kecil saat mendengar panggilan 'Pak' dari Laila. Kemudian, lelaki itu menggelengkan kepalanya sembari menahan tawanya. Sedangkan Laila hanya menatap Irsyad dengan polosnya. Gadis itu bingung, mengapa Irsyad bisa tertawa. Padahalkan tidak ada yang lucu baginya.

“Kenapa, Pak? Kok tertawa. Apa ada yang lucu, ya? tanya Laila dengan polosnya.

“Zah, jangan panggil saya, Pak. Saya ini belum terlalu tua kok. Saya juga belum nikah, jadi masih muda.” Irsyad pun menjelaskan kepada Laila dengan jujur.

“Saya gak enak, Pak.”

“Yaudah, terserah kamu. Jujur saya mencari kamu, Zah. Semenjak kamu dan keluargamu keluar dari rumah sakit, saya mencari kamu ke mana-mana. Tapi, Alhamdulillah sekarang takdir mempertemukan kita kembali.” Irsyad mengakatan kepada Laila sesuai apa yang ia rasakan.

“Mencari saya? Kenapa, Pak?” tanya Laila yang masih tidak paham.

Irsyad hanya tersenyum lalu berkata, “Saya sudah dapat, informasi tentang beasiswa. Maka dari itu, saya mencari kamu, Zah.”

Laila tampak seperti mengingat sesuatu. Kemudian, gadis itu langsung tersenyum bahagia. Ia baru mengingat bahwa Irsyad akan membantu mencarikan beasiswa untuk kuliahnya. Sungguh, ia tidak percaya jika Irsyad akan menepati janjinya. Laila hanya berpikir, bahwa Irsyad hanya bercanda. Tapi, nyatanya ini serius.

“Pak Irsyad, beneran?” tanya Laila yang masih sedikit tidak percaya.

“Sejak kapan aku bohong, Zah?” Kini Irsyad yang kembali bertanya.

Raut wajah Laila tampak bingung. Gadis itu hanya terdiam lalu menggelengkan kepalanya. Sedangkan, Irsyad yang melihat tingkah Laila hanya tersenyum. Karena Irsyad berpikir, baru kali ini ia dipertemukan oleh gadis manis dan polos seperti Laila.

“Jujur, saya bersyukur bisa dipertemukan lagi sama kamu. Waktu itu, entah apa yang saya ucapkan waktu menawarkan untuk membantu mencari kan beasiswa, itu bakal ditepati atau tidak. Tapi, sekarang takdir mempertemukan kita kembali dan memudahkan saya untuk menepati janji,” tutur Irsyad dengan panjang lebar. Sebuah hal kebaikan yang ingin dilakukan oleh Irsyad, pada akhirnya Allah memudahkan semuanya. Informasi tentang beasiswa yang ia dapatkan melalui Rifki--seorang dosen di kampus. Dan sekarang, takdir mempertemukan ia dengan Laila kembali. Sungguh, takdir Allah memang sangat sulit untuk ditebak.

“Sebenarnya, saya gak terlalu berharap lebih, Pak. Saya juga sempat berpikir, bahwa saya tidak mungkin bisa kuliah.” Laila mengatakan semuanya sambil mencoba untuk tersenyum.

“Saya yakin, kamu bisa.”

“InsyaAllah, Pak. Terimakasih,” balas Laila sambil mengukirkan senyumannya.

“Oh, ya. Kamu di sini ngapain?” tanya Irsyad.

“Saya mau melamar pekerjaan, Pak.” Laila menjawab pertanyaan dari Irsyad sambil menundukkan pandangannya.

“Tapi, apa gak capek, jika kamu sudah mulai kuliah?” tanya Irsyad sambil mengerutkan keningnya.

Gadis itu menggelengkan kepalanya. “InsyaAllah gak, Pak. Laila juga mau kuliah sambil bantu Ibu dan Bapak. Karena, Bapak gak bisa jalan ... sekarang Ibu yang mencari nafkah. Saya gak mau membebankan Ibu dan Bapak. Jadi, saya butuh pekerjaan ini, Pak.” Tanpa Laila sadari, air matanya turun begitu saja. Irsyad yang melihat air mata Laila, langsung mengambil selembar tisu di meja. Kemudian, memberikannya kepada gadis itu.

“Zah, ini.” Irsyad pun memberikan tisunya kepada Laila. Tanpa membutuhkan waktu lama, Laila mengambil tisu itu dari tangan Irsyad.

‘Jangan menangis, Zah. Saya tidak suka melihatmu menangis seperti ini. Tapi, saya rasa ... jika saya mengutarakan semuanya sekarang, itu gak mungkin. Karena waktunya belum tepat,’ batin Irsyad.

-

-

-

-

Bersambung...

Cinta Sang Dokter {END}/ Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang