Bab 21

760 46 0
                                    

Menerima yang pasti atau menunggu yang tidak pasti dan bahkan tidak mungkin bisa dimiliki
Lailatul Izzah
_____________________________________

Hari ini Laila sudah bisa melakukan aktivitasnya kembali. Ia juga sudah mulai untuk berangkat untuk kuliahnya. Nikmat sehat adalah nikmat paling luar biasa yang Allah berikan kepadanya. Pagi ini, Laila sudah bersiap dengan pakaian yang selalu terlihat sederhana. Dari kesederhanaannya, membuat Laila banyak disukai oleh teman-teman di kampus.

Setelah selesai, gadis itu beranjak keluar dari kamarnya untuk menemui kedua orang tuanya. Ia juga meminta izin kepada Ibu Sulis untuk pulang agak sorean karena ia ingin mencari pekerjaan kembali. Laila tidak ingin Ibu Sulis bekerja. Karena baginya, ia yang bertanggung jawab soal memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Baginya, menjadi anak perempuan pertama itu harus kuat dari segi apapun.

Laila berangkat ke kampus dengan berjalan kaki sampai depan gang rumahnya. Setelah itu harus menunggu angkutan umum untuk menuju ke kampusnya. Gadis itu masih menunggu angkutan yang belum juga lewat di hadapan. Melirik sekilas ke arah jarum jam yang hampir jam 8. Tiba-tiba saja, pandangannya melihat Karin dan kedua temannya mengarah ke arahnya. Mereka juga ternyata belum berangkat ke kampusnya.

"Kebetulan La, kita bertemu di sini. Gue ngomong sesuatu sama lo," ucap Karin yang tak lupa senyuman miringnya.

"Mau ngomong apa?" tanya Laila sedikit takut. Ia tidak mau sampai bertengkar dengan Karin tentang masalah Irsyad.

"Irsyad berubah menjadi dingin dan cuek sama gue itu gara-gara lo!" gertak Karin dengan mendorong Laila sampai hampir terjatuh.

"Rin, aku sama Pak Irsyad nggak ada apa-apa. Kamu jangan terus menyalahkan aku. Asal kamu tahu ya, sesuai apa yang kamu mau aku itu sudah nggak kerja lagi rumah makan milik orang tuanya Pak Irsyad." Gadis itu memberanikan diri untuk melawan saudara sepupunya yang sudah keterlaluan menuduhnya yang tidak-tidak.

"Oke, bagus deh. Tapi, sebelum lo pergi jauh dari kehidupan gue ... itu berarti lo masih mengharapkan Mas Irsyad, kan?" tuduh Karin dengan menunjuk jari telunjuknya tepat di hadapan Karin.

Laila menggelengkan kepalanya. "Jodoh, maut dan rezeki itu sudah di atur sama Allah. Jadi, kita sebagai manusia hanya bisa memperbaiki diri dan memantaskan diri. Karena jodoh juga cerminan dari diri kita."

"Gue nggak butuh ceramah dari lo!" bentak Karin sambil mendorong Laila hingga jatuh ke tanah.

Karin langsung mengajak kedua sahabatnya untuk pergi meninggalkan Laila sendiri.

Laila sedikit kesulitan untuk berdiri, tapi ia harus kuat karena jam kuliahnya sebentar lagi. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri tapi tak mendapati angkutan juga. Dengan terpaksa ia harus berjalan untuk mencari ojek. Setelah berapa meter jarak yang ia tempuh, akhirnya ada salah satu ojek yang sedang tak ada penumpangnya. Laila meminta kepada ojek tersebut untuk mengantarkannya ke kampus.

***

Laila berlari untuk sampai ke kelasnya. Dengan napas yang tak beraturan, gadis itu tetap saja berlari karena ia sudah telat beberapa menit. Saat sudah di depan pintu kelasnya, ia segera mengetuk pintunya. Dan tiba-tiba pintu pun terbuka.

"Loh, Laila? Kamu habis lari-lari?" tanya Rifki melihat keadaan Laila yang terlihat sangat melelahkan.

Gadis itu hanya mengangguk pelan sambil menundukkan pandangannya. "Maaf, Pak. Saya janji nggak akan mengulanginya lagi." Sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

Rifki hanya mengangguk sambil tersenyum sesaat. Kemudian, lelaki itu mempersilahkan Laila untuk menunggu di luar hingga kelasnya berakhir. Dengan ikhlas, Laila akhirnya beranjak meninggalkan kelasnya lalu menuju taman kampus.

Gadis itu duduk di bangku yang ada di taman itu. Ia pun langsung membuka buku pelajarannya dan membacanya. Laila mencoba memahami buku tersebut dengan seksama. Ia tidak mau waktunya habis dengan percuma. Baginya, belajar di ruangan terbuka seperti ini membuatnya nyaman.

Sudah hampir 2 jam ia menunggu. Tetapi belum ada perintah untuknya masuk ke kelas. Akhirnya, Laila berniat untuk menuju kelasnya kembali.

"Mau ke mana?" tanya seseorang saat melihat Laila bangkit dari tempat duduknya.

Gadis itu menoleh ke sumber suara tersebut. "Eh, Pak Rifki. Tadi niatnya saya mau lihat kelas sudah selesai belum."

"Kelas sudah selesai dari tadi," balasnya dengan datar.

"Kalau gitu, saya permisi, Pak. Karena nanti ada kelas lagi," ujar Laila.

"Tunggu!" cegah Rifki saat gadis itu ingin beranjak pergi meninggalkannya.

"Kenapa, Pak?" tanya Laila bingung. Gadis itu menatap sang dosennya yang seperti orang bingung juga.

"Minggu depan orang tua saya ke kota ini," ungkapnya.

"Lalu?"

"S-saya ingin ke rumahmu?"

"Mau ngapain, Pak?" tanya Laila sedikit gugup.

"Hanya main saja dan sekalian mau bertemu dengan orang tuamu," jawabnya.

Jantung Laila berdegup dengan kencang saat mendengar penjelasan dari sang dosennya. Pikirannya terus bertanya-tanya akan tujuan jelas bertemu dengan orang tuanya. Namun, Laila berusaha untuk bersikap seperti biasa di hadapan lelaki yang sudah seperti gurunya itu.

"Boleh, Pak. Kapan pun Pak Rifki mau main, InsyaAllah rumah saya selalu terbuka. Kecuali malam, ya, Pak." Laila mengatakan hal itu sambil menundukkan pandangannya karena ia tak berani menatap lelaki di hadapannya.

Rifki terkekeh pelan. "Saya juga tahu, La. Kalau malam kan waktunya istirahat."

"Iya, Pak."

"La, saya mencintai kamu."

Deg!

Laila langsung mendongakkan wajahnya dan menatap lekat lelaki di hadapannya.

"Saya tahu, kamu ingin fokus pada cita-cita dan keluarga terlebih dahulu. Saya akan menunggumu dan kamu tak perlu jawab sekarang. Tapi bolehkah saya main ke rumahmu sesuai janjiku tadi?" tanya Rifki.

Laila menganggukkan kepalanya. "Silakan, Pak."

-

-

-

-

Bersambung...

Cinta Sang Dokter {END}/ Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang