Bab 26

1K 54 0
                                    

Menjauh darimu adalah cara yang terbaik untuk melupakan. Karena, cinta itu tak akan pernah ada jika di dalam hatimu masih ada sebuah nama.
~Muhammad Rifki~
____________________________________

Laila dan Naura tengah menikmati waktu istirahatnya di taman kampus. Setelah beberapa jam menguras otak dengan mata pelajaran di kelasnya, kini keduanya sedang menfrees kan kembali pikirannya. Tiba-tiba Naura menghentikan langkahnya dan alhasil membuat Laila mengikuti sahabatnya itu.

"La, kita duduk dulu yuk. Sekalian aku mau bicara banyak sama kamu soal Pak Irsyad itu," ujar Naura. Wanita itu mendudukkan dirinya di bangku taman. Ia pun menarik lengan Laila agar gadis itu ikut duduk bersamanya.

"Tentang Pak Irsyad? Emang ada apa?" tanya Laila penasaran. Baru kali ini Laila dibuat penasaran tentang laki-laki.

"Sebenarnya ... Kak Irsyad itu saudara sepupu aku." Naura menoleh ke arah Laila.

Gadis berlesung itu membelalakan matanya. Ia menatap terkejut ke arah Naura. "Kok, kamu nggak pernah cerita sama aku, Ra? Pantas saja, kamu mengenal almarhum Ibu Rani."

Naura mengangguk. "Aku memang mengenalnya, La. Kalau masalah kenapa nggak cerita ke kamu, kan kamu nggak pernah tanya ke aku." Wanita itu terkekeh pelan.

"Terus-terus apa lagi yang mau kamu bilang?" tanya Laila.

"Aku memanggil Pak Irsyad dengan sebutan Kak. Dia anak dari Kakaknya Mamahku, La. Aku emang jarang banget sih bertemu dengan Om Faiz. Makanya, waktu itu Om Faiz tidak terlalu mengenaliku." Naura kembali menatap pandangannya ke depan.

"Jadi, almarhum Ibu Rani itu adalah Kakak dari Mamah kamu, Ra?" tanya Laila kembali.

Wanita itu menganggukkan kepalanya. "Iya, La. Oh, ya, kalau kamu sama Kak Irsyad ada hubungan apa? Kok bisa kenal banget gitu?" tanya Naura penasaran.

Laila hanya terdiam membisu. Gadis itu memikirkan bagaimana ia harus menjawab pertanyaan dari sang sahabatnya. Laila tak mau sampai mengetahui, jika ia mempunyai perasaan terhadap sang dokter tersebut. Gadis itu takut akan merusak persahabatannya dan membuat persahabatannya akan renggang.

"A--aku kenal dengan Pak Irsyad waktu dia merawat Bapakku di rumah sakit," balas Laila.

Naura mengangguk pelan. "Tapi, kayaknya nggak mungkin sedekat dan seperhatian ini deh. Ingat nggak waktu kamu keluar dari penjara? Nah di situ, Kak Irsyad sudah dulu menemui kamu. Seperti ...." Naura sedikit melirik menggoda kepada Laila.

"Seperti apa?" tanya gadis berlesung itu.

"Seperti pernah ada suatu hubungan gitu?" tebak Naura.

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Aku nggak pernah ada hubungan. Tapi, kita pernah saling mencintai," lirih Laila.

Mata Naura membulat sempurna. "Sejak kapan?" tanya Naura antusias.

"Sejak pertama bertemu. Namun, biarlah takdir yang mempersatukan." Laila bangkit berdiri dan diikuti oleh Naura.

"Aamiin, InsyaAllah. Tapi, aku setuju banget loh kalau kamu sama Kak Irsyad," goda Naura sembari mencubit pipi Laila.

Laila hanya tersenyum malu. Kemudian, gadis itu mengajak sahabatnya untuk pergi ke kantin. Ia tidak mau sahabatnya ini membahasnya secara terus-terusan. Tanpa mereka sadari, seseorang tengah memperhatikan Laila dan Naura.

***

"La!" sapa seseorang memanggil nama Laila.

Gadis yang tengah menunggu angkutan umum itu menoleh. Dari kejauhan, Rifki memberi kode agar Laila tak menaiki angkot terlebih dahulu. Lelaki itu berlari menghampiri Laila.

"Ada apa, Pak?" tanya Laila bingung.

"Maaf ya, waktu itu nggak ke rumah kamu. Soalnya ... ada urusan mendadak," jelas Rifki berbohong. Laila menyadari jika ucapan dari Rifki itu tidak benar. Jelas-jelas ia melihat Rifki yang sudah sampai, tapi malah pergi lagi.

Laila menundukkan pandangan. "Iya, nggak papa, Pak. Kalau boleh tahu, Pak Rifki dan Pak Irsyad saling mengenal?" tanya Laila kepada dosen mudanya itu.

"Saya sama Irsyad sahabat dari SMA. Tapi, kita terpisah karena pendidikan dan pada akhirnya di pertemukan kembali," balas lelaki itu.

Laila mengangguk pelan. "Saya izin pulang ya, Pak." Gadis itu memberhentikan sebuah angkot yang melintas di depannya.

Lelaki itu mengangguk kecil. "La." Rifki manggilnya membuat Laila menoleh ke arah lelaki itu.

"Saya sebenarnya ingin mundur, La. Karena mengharapkan cinta dari seseorang yang masih menyimpan sebuah nama di dalam hatinya itu tidak mungkin ada," ungkap Rifki sembari berlalu pergi meninggalkan Laila.

Laila mengernyitkan dahinya. Ia mencoba memahami perkataan dari sang dosennya itu. Namun, ia masih belum paham dengan ucapannya tadi. Laila bergegas naik ke angkot agar ia bisa segera pulang.

'Apa maksud dari ucapan Pak Rifki?' batin Laila bertanya-tanya.

***

Laila memasuki kamarnya. Ia langsung meletakkan tasnya ke tempat belajarnya. Pikirannya terus tertuju pada perkataan Rifki tadi siang. Karena tak ingin memikirkan lebih, gadis itu segera keluar untuk membantu sang ibunya yang tengah memasak. Karena jadwal kuliahnya pagi, jadi Laila bisa membantu sang ibunya di siang hari.

Laila berjalan ke dapur. Kemudian, gadis itu berdiri tepat di samping Ibu Sulis yang tengah memotong-motong bawang.

"Bu, biar Laila saja." Gadis itu meminta agar dirinya yang memotong bawang tersebut. Ibu Sulis memberikan pisau kepada Laila.

"Hati-hati," pesan Ibu Sulis. Wanita paruh baya itu mengambil nasi yang ingin dijadikan nasi goreng.

"Iya, Bu." Gadis itu terus saja memotong bawang, hingga keluar air matanya.

Ibu Sulis terkekeh saat melihat Laila. "Kalau motong bawang emang kayak gitu? Tapi, kalau sudah terbiasa pasti nggak seperti itu."

Laila segera mengusap air matanya itu. Kemudian, tertawa kecil

"Setelah itu di masukin ya, Bu?" tanya Laila. Ibu Sulis mengangguk mengiyakan.

Laila menatap apa yang dilakukan sang ibunya. Sesekali, Laila mencoba masakannya yang enak itu. Setelah selesai, Laila membantu membawakan beberapa piring ke meja makan. Setelah menyusun piringpiringnya, gadis itu beranjak ke dalam kamar Pak Roni untuk membantu keluar.

"Assalamu'alaikum," ucap Ayla yang tiba-tiba membuka pintu dari luar.

"Waalaikumsalam," jawab Laila dan kedua orang tuanya.

"Yah, aku telat nih bantu masaknya." Gadis berseragam SMA itu ikut duduk sembari menatap makanan yang telah jadi.

"Ngga papa, Sayang," ujar Ibu Sulis.

"Ayla bantu makannya aja," sambung Laila dengan terkekeh pelan.

"Oke, siap!" Gadis itu mengacungkan ibu jarinya yang membuat semuanya tertawa.

Di sela-sela tawanya bersama keluarga, entah kenapa pikirannya tertuju pada kata-kata Rifki, sang dosennya itu. Namun, hati ini sudah mencintai seseorang dan seseorang itu juga mencintainya.

-

-

-

-

Bersambung...

Cinta Sang Dokter {END}/ Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang