Bab 15

862 48 0
                                    

Mengenalmu adalah suatu kebahagiaan dalam hidupku. Terimakasih telah hadir dalam kehidupanku.
~Muhammad Rifki~
__________________________________

Gerimis hujan membasahi kota Cirebon. Air hujan turun secara tiba-tiba, seperti dia yang datang tiba-tiba atas kehendak takdir dari Allah. Udara membuat tubuh seorang gadis itu kedinginan. Ya, dia adalah Laila. Ia berniat untuk segera pulang karena kelas kuliahnya sudah selesai. Tapi, tiba-tiba saja langit berubah menjadi gelap. Tak membutuhkan waktu lama, hujan pun turun secara tiba-tiba.

Laila yang kini sedang duduk di kursi depan kelasnya, sambil menunggu hujan reda. Gadis itu sesekali melihat sekitar kampusnya yang sudah lumayan sedikit mahasiswa-mahasiswi dikarenakan sudah pulang. Naura temannya pun sudah pulang duluan, dikarenakan katanya ada urusan keluarga.

"Laila, lo kuliah di sini?" Tiba-tiba saja seorang wanita bertanya seperti itu.

Laila yang sedang fokus dengan bukunya pun langsung menatap ke arah wanita itu. Sungguh terkejut, saat melihat Karin di hadapannya.

"Eh, Karin. I--iya saya kuliah di sini. Alhamdulillah karena bisa dapat beasiswa," jelas Laila sembari bangkit dari duduknya.

"Kenapa harus kuliah di sini, sih. Kan masih ada kampus yang lain." Karin mempertegas ucapan dengan sedikit kesal. Pasalnya, ia takut kalau Laila akan menyainginya kembali.

"Kalau Allah mentakdirkan saya kuliah di sini, saya bisa apa?" tanya Laila.

Sungguh pertanyaan itu membuat Karin terdiam. Ia seperti sudah kehabisan kata-kata lagi. Dengan wajah yang sudah sangat kesal, ia pun langsung menarik paksa tangan Laila dan mendorongnya. Alhasil, Laila terjatuh di bawah air hujan. Dengan pakaian yang sudah basah kuyup, dengan air mata yang sudah mulai turun. Beruntung ini hujan, jadi semua mahasiswa maupun mahasiswi yang menatapnya tidak tau kalau Laila menangis.

"Sudah sepantasnya lo seperti itu!" ketus Karin. Wanita itu pun langsung pergi meninggalkan Laila yang kehujanan.

Semua mahasiswa maupun mahasiswi yang melihatnya, tidak berani untuk menolongnya. Karena ia tahu nanti Karin bakal mengancamnya. Karin dan teman-temannya lalu meninggalkan Laila sendiri.

Laila terus menangis di bawah air hujan. Rasanya, dirinya itu tidak pantas untuk mendapatkan kebahagiaan. Lelaki yang ia cintai dalam diam, ternyata sebentar lagi akan menjadi milik orang lain.

Tiba-tiba saja, tubuhnya tidak terkena air hujan lagi. Gadis itu sedikit bingung, kemudian ia mendongakkan kepalanya dan ternyata ada seseorang sedang memayunginya.

"Kamu ngapain di sini, La? Di sini hujan, nanti kamu sakit." Seorang lelaki yang sedang berdiri memayungi Laila. Lelaki itu tidak mempedulikan dirinya yang sudah basah karena air hujan. Baginya, Laila lebih penting.

Laila berusaha untuk bangkit berdiri, rasanya kepalanya sedikit pusing. Tapi, gadis itu sungguh kuat. Ia menahan rasa sakitnya, karena ia tidak mau membuat lelaki itu khawatir.

"Pak Rifki, saya gak papa kok, Pak. Bapak gak usah payungin saya." Laila berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya.

Rifki pun sedikit tersenyum. "Saya juga gak papa, kok. Kamu gak usah khawatir." Rifki membalas ucapan dari Laila sembari tersenyum pada gadis itu.

Kemudian keduanya berjalan menuju depan kelas Laila. Dengan tubuh yang sudah basah kuyup, akhirnya tubuh Laila sedikit menggigil. Tangannya pun terus menggosok-gosokan karena kedinginan.

"Kamu tunggu sini, saya mau ke ruangan dulu." Sang dosen itu langsung berlari kecil meninggalkan Laila. Ia ingin mengambil sesuatu untuk gadis itu.

Gadis itu yang sedari duduk menunggu pun langsung berdiri saat lelaki itu datang sambil membawa jaket. Kemudian, dosen itu pun memberikan jaket ini kepada Laila.

"Pakai, ini?" tawar Rifki.

Laila pun menggelengkan kepalanya. "Engga usah, Pak." Laila menolaknya.

Tiba-tiba saja, tanpa persetujuan dari Laila, Rifki pun langsung memakaikannya. Sikap sang dosen itu membuat Laila terdiam di tempat.

"Sudah, maaf ya. Saya bukan bermaksud apa-apa. Hanya saja, saya takut kamu sakit. Kalau gitu, saya pamit, assalamualaikum." Lelaki itu langsung pergi meninggalkan Laila yang masih terdiam tak percaya.

Semua mahasiswi yang melihat kejadian itu, terbawa baper sendiri. Bagaimana tidak, Rifki adalah sosok lelaki yang menurut semua mahasiswi itu kriteria cowok idaman.

***

Menatap bintang-bintang di langit dari lantai atas, membuat suasana di malam hari menjadi indah. Ditambah dengan secangkir kopi hangat, membuat suasana jadi lebih hangat. Karena dari siang hujan begitu deras, membuat udara malam hari ini menjadi sedikit dingin.

Seorang lelaki yang masih menatap layar pada laptopnya, karena ada pekerjaan di kampusnya. Begitu cepat jari-jarinya itu mengetik pada keyboard laptopnya. Tapi, tiba-tiba saja ... bayangan seorang mahasiswi itu terlintas dalam pikirannya.

Dengan cepat lelaki itu menggelengkan kepalanya. Karena ia tahu, memikirkan wanita yang belum halal baginya itu akan membuat dosa. Tiba-tiba, pintu kamarnya pun terketuk dari luar sana. Lelaki itu menoleh kemudian bangkit lalu berjalan menuju arah pintu. Setelah membukakan pintunya, seorang wanita paruh baya pun berdiri di hadapannya.

"Eh, Umi." Lelaki itu memanggilnya dengan sebutan Umi. Ya, karena wanita paruh baya itu adalah Ibu dari lelaki itu yang bernama Sarah.

"Lagi apa, Ki?" tanya Sarah sembari berjalan masuk ke dalam kamar Rifki. Lelaki itu mengikuti langkah Uminya.

"Biasa, Umi. Kerjaan di kampus lagi banyak banget dan ditambah ...." Rifki pun menjeda ucapannya. Sesekali lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Karena ia bingung bagaimana bilangnya.

"Dan ditambah kamu sedang jatuh cinta?" tanya Sarah melanjutkan ucapan anak sulungnya itu.

Rifki mengangguk pelan. Karena terkadang feeling seorang ibu itu kuat. Sarah pun terkekeh pelan saat melihat anak sulungnya itu mulai jatuh cinta. Karenanya, setiap disuruh menikah ... pasti ada saja alasannya.

"Bagus, dong. Kenalin dong sama Umi," ucap Sarah yang sedikit menggoda anak lelakinya itu.

"Masalahnya, dia masih kuliah semester 1, Umi." Rifki langsung mendudukan dirinya, lalu membereskan barang-barangnya yang tadi ia pakai untuk kerja.

"Oh, gitu. Gak papa suruh main aja, Umi juga kan mau kenal sama dia." Sarah masih saja menggoda anaknya itu sembari tertawa kecil. Ia bisa merasakan bahwa anaknya itu sedang salah tingkah karena ucapannya.

"Gak mungkin, Umi. Karena dia masih mau fokus ngejar cita-citanya. Rifki sedikit salut sama dia, walaupun terkadang ada saja yang gak suka. Tapi, dia tidak pernah membalasnya." Rifki segera bangkit kemudian melangkah menuju meja untuk menaruh semua barang-barangnya.

"Tapi, kalau misalnya kamu suruh dia main ke sini, mau gak?" tanya Sarah sembari terkekeh pelan.

Rifki yang mendengar permintaan Uminya itu pun langsung terdiam. Ia tidak bisa berkata apapun. Karena lelaki itu berpikir, mana mungkin Laila mau diajak ke rumahnya. Dan bisa-bisa Laila nanti menanyakan alasan diajak ke rumah apa?

Sungguh, permintaan Uminya itu membuat sang dosen pusing. Kemudian, lelaki itu hanya membalasnya dengan mengangkat kedua bahunya itu.

-

-

-

-

Bersambung...

Cinta Sang Dokter {END}/ Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang