Bab 16

750 45 0
                                    

Cinta itu sama seperti matematika. Karena sama-sama membuat otakku pusing untuk memikirkan semua itu.
~Muhammad Rifki~
____________________________________

Seorang lelaki baru saja keluar dari kamar mandi. Dengan memakai kaos pendek dan juga celana pendek, membuat tubuh kekarnya tergambar jelas. Hari ini, Irsyad sedang libur dan tidak ada tugas. Membuatnya ingin menikmati liburannya yang hanya di kamar saja. Ditambah pikirannya yang belum bisa melupakan ucapan sang gadis itu. Irsyad sudah melakukan Salat Istikharah, tapi belum ada tanda-tanda petunjuk dari Allah SWT. Lelaki itu tidak putus asa, ia terus saja berusaha untuk meminta petunjuk agar ia tidak menyesal di kemudian hari.

Irsyad melangkahkan kakinya menuju kasur dan menjatuhkan tubuhnya di atas kasur yang empuknya itu. Sembari menyalakan surat ar-rahma dari prosesnya, membuat suasananya menjadi tenang. Cahaya mentari yang sudah mulai masuk dari celah-celah jendela kamarnya, menandakan hari sudah semakin siang. Matanya pun melirik ke arah jarum jam kamarnya, dan benar saja ... sekarang sudah pukul 8 pagi. Waktu berputar sangat cepat, apalagi hari pernikahannya dengan Karin sudah di tentukan. Dalam waktu 3 bulan, ia berharap mendapatkan petunjuk agar ia tidak menikah dengan Karin. Karena ia merasa, jika Karin adalah wanita yang tidak benar.

Tiba-tiba saja, ada suara ketukan pintu dari luar. Dengan cepat, Irsyad pun bangkit dari tidurannya kemudian berlari menuju pintu untuk membukakannya.

“Eh, Bunda. Masuk, Bun,” ajak Irsyad.

Rani menggelengkan kepalanya. “Ada teman kamu, katanya dia mau bertemu.”

Irsyad mengerutkan keningnya. Ia berpikir, siapa yang mencarinya? Sepertinya, seseorang yang ingin menemuinya itu sangat penting. Dengan segera Irsyad mengangguk, kemudian berjalan menuruni satu persatu anak tangganya, tak lupa Rani mengikuti dari belakang. Dan sedikit terkejut, saat Rifki yang datang ke rumahnya. Irsyad pun berjalan ke arah Rifki yang sedang duduk di sofa nya.

“Ada apa, Ki?” tanya Irsyad sembari mendudukkan dirinya.

“Bisa bicara di kamarmu, tidak? Soalnya ada hal penting yang mau aku katakan,” pinta Rifki kepada Irsyad.

Sang dokter itu mengangguk paham. Karena ia juga bisa merasakan, jika sebuah rahasia yang dimiliki tidak akan mau jika orang lain mengetahuinya. Kedua lelaki tampan itu kemudian menaiki tangga menuju kamar.

Tiba-tiba saja, tanpa dosanya dan tanpa malunya, Rifki langsung membaringkan tubuhnya di kasur empuk milik Irsyad. Ya, keduanya memang bersahabat dekat sekali semasa putih abu-abu. Jadi, tidak heran Irsyad melihat tingkah sahabatnya seperti itu.

“Aku bingung, nih‼” teriak Rifki seketika. Lelaki itu langsung bangkit dan duduk di tepi kasur. Sambil mengacak-acak rambutnya itu, agar semua pikirannya tentang gadis itu hilang. Tapi, nyatanya tidak.

Irsyad yang sedari tadi sedang ada di meja tempat ia mengerjakan pekerjaannya itu pun langsung menoleh. Meninggalkan bukunya yang tergeletak di atas meja, karena tadinya ingin membaca buku tersebut. Tapi, melihat sahabatnya itu yang tiba-tiba saja berteriak membuat Irsyad menunda membacanya.

“Ada apa, sih?” tanya Irsyad sembari menaikan satu alisnya.

“Baru kali ini, ada mahasiswi yang membuat aku jatuh cinta, Syad.” Rifki menceritakan isi hatinya kepada sahabatnya itu.

“Yaudah, lamar. Gitu aja kok repot,” celetuk Irsyad.

“Ya, kali langsung lamar. Aku itu baru kenal dia kurang lebih seminggu, belum lama.” Rifki berdecak kesal saat sahabatnya itu tidak memberikan solusinya.

“Ki, aku juga lagi bingung sendiri. Karena cinta, hidupku jadi pusing tak seperti dulu,” balas Irsyad sambil memegang kepalanya yang terasa pusing. “Sudah usaha, tapi hasil istikharahku masih belum ada."

“Iya, sama. Sebelum merasakan jatuh cinta, hidupku tenang tak pusing seperti ini. Menurutku cinta itu seperti matematika.” Ucapan Rifki membuat Irsyad menoleh dan menatapnya bingung.

“Maksudnya?” tanya Irsyad bingung. Karena baru kali ini, ia mendengar cinta itu seperti matematika.

“Iya, karena membuat otakku pusing. Sama halnya matematika, yang selalu membuat otakku pusing dengan semua rumus-rumusnya.” Rifki pun langsung menjatuhkan tubuhnya kembali ke atas kasur.

Mendengar jawaban dari sahabatnya itu, Irsyad hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Karena bisa-bisanya Rifki berpikir sejauh itu mengenai arti cinta.

                                    ***

Di sebuah ruangan bercat dinding putih inilah tempat Irsyad bekerja. Dari sebuah cita-cita sewaktu sekolah dasar, sekarang bisa menjadi profesinya. Berlibur hanya sehari, dan itu membuat Irsyad menikmati hari-harinya bersama sahabatnya. Sahabatnya yang mengira jika cinta itu seperti matematika.

Sesekali ia terkekeh pelan saat membayangkan Rifki yang sedang dilema. Tiba-tiba saja, pintu ruangan terbuka dan terlihatlah seorang suster yang berpakaian putih itu.

“Permisi, dok. Ada pasien yang harus ditangani,” tutur suster tersebut.

Irsyad pun mengangguk mengiyakan. “Baik, nanti saya ke sana.”

Kemudian seorang suster itu keluar dari ruangannya. Setelah itu, Irsyad pun bergegas mengambil alat stetoskop. Alat ini berfungsi untuk mendengar bunyi jantung, paru-paru dan perut. Dengan langkah begitu cepat, akhirnya Irsyad pun sampai di sebuah ruangan. Tak membutuhkan waktu lama, lelaki itu pun langsung memeriksa keadaan pasien.

Setelah selesai, Irsyad pun kembali ke ruangan. Sungguh, pekerjaannya itu sangat membantu untuk kesehatan orang lain. Karena baginya, mementingkan kesehatan orang lain itu penting. Tapi, jangan sampai melupakan juga tentang kesehatannya.

Karena tugasnya sudah selesai, Irsyad memutuskan untuk segera pulang. Karena hari sudah sore, dan melihat matahari pun sudah sedikit terbenam dari luar jendela. Irsyad pun segera keluar dari rumah sakit. Cahaya senja memancarkan keindahannya saat lelaki itu sudah berada di luar rumah sakit.

Setelah siap, Irsyad pun menyalakan mesin mobilnya. Lalu menggerakkan dengan kecepatan sedang. Tak lupa juga, sebelum berangkat ia membaca doa agar Allah selalu memberikan keselamatan baginya.

Saat di tengah perjalanan, tiba-tiba saja netranya menatap seorang gadis yang tidak asing baginya. Ya, gadis itu adalah Laila yang baru saja pulang bekerja ditempat milik kedua orang tua Irsyad. Lelaki itu pun memberhentikan mobilnya, kemudian bergegas turun untuk menemui Laila.

“Assalamu'alaikum, Zah.”

Gadis itu pun menoleh tanpa tersenyum atau apapun. “Waalaikumsalam.”

Irsyad yang merasakan perubahan dari sifat Laila pun langsung terdiam. Gadis yang ia kenal ramah dan murah senyum itu, kini berubah menjadi cuek dan dingin terhadapnya. Tapi, lelaki itu tidak akan menyerah untuk mengembalikan sifat Laila yang dulu.

“Zah,” panggil Irsyad sembari sedikit menatap ke arah Laila.

“Maaf, Pak. Saya buru-buru ingin pulang. Terimakasih juga atas semua bantuan yang Pak Irsyad berikan kepada saya,” ungkap Laila.  Lalu gadis itu melambaikan tangannya pada sebuah angkot yang hendak lewat. Angkot pun berhenti tepat di depannya. Saat hendak menaikinya, tiba-tiba saja ....

“Asal kamu tau, Zah. Saya mencintai kamu saat awal kita bertemu.” Irsyad pun mengungkapkan perasaannya. Tak mempedulikan banyak sepasang mata yang menatapnya.

Laila yang hendak menaiki angkot, terdiam mematung saat mendengar ungkapan dari sang dokter itu. Ada rasa bahagia karena ternyata cintanya itu tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi, ada rasa sedih juga karena Irsyad akan menikah dengan Karin. Gadis itu langsung menaiki angkot dan tak merespon ucapan dari Irsyad.

Tak membutuhkan waktu lama, angkot pun jalan dengan kecepatan sedang. Laila pun menatap ke arah belakang yang ternyata Irsyad belum juga pergi dari tempat itu. Tiba-tiba saja, air matanya turun begitu saja. Dengan cepat Laila menghapusnya, dan bersyukur angkot yang ia tumpaki tidak ada orang. Hanya dirinya seorang.

-

-

-

-

Bersambung...

Cinta Sang Dokter {END}/ Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang