Bab 19

758 46 0
                                    

Maaf jika bertemu denganku itu hanya membuat hidupmu menjadi penuh luka dan air mata.
~Muhammad Irsyad Al-Fatih~
__________________________________

Hari ini, di mana Laila sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah membaik. Rasa syukur yang terus terucap dari mulut Laila, tak henti-henti. Gadis itu sangat bahagia karena Allah mengumpulkan keluarganya di jalan-Nya seperti dulu lagi. Semua ini berjalan atas kehendak dari Allah SWT.

Ayla, gadis cantik memakai hijab itu sedang mengemasi barang-barangnya. Ia juga bersyukur karena Allah telah memberikan petunjuk ke jalan yang benar kembali. Tak hanya kedua gadis itu, Ibu Sulis dan Pak Roni juga merasa senang karena Ayla telah berubah. Berharap, anak bungsunya itu tidak mengulangi perbuatannya kembali.

“Bagaimana, sudah semua?” tanya Ibu Sulis.

Laila dan Ayla menganggukkan kepalanya dengan serempak membuat Ibu Sulis terkekeh pelan. Kemudian ketiga wanita itu pun keluar dari ruangan tersebut. Ya, Pak Roni tidak ikut menjemputnya dikarenakan beliau masih dalam keadaan belum bisa berjalan. Jadi, Ibu Sulis menyuruh suaminya itu untuk tidak ikut menjemput Laila di rumah sakit.

Gadis berhijab hitam itu menepukkan jidatnya. Ia selalu saja melupakan sesuatu sampai meniggalkan sebuah barang. Laila pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke ruangan tersebut untuk mengambilnya.

“Bu, sepertinya tas kecil Laila ketinggalan.” Laila pun segera pamit. Awalnya Ayla menawarkan untuk ditemani tapi Laila menolaknya karena dirinya bisa sendiri.

“Yaudah, Ibu tunggu di depan, ya?” usul Ibu Sulis. Laila hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Kemudian kedua wanita itu kembali berjalan menuju luar.

Setelah tasnya ditemukan, Laila bergegas untuk ke luar. Tanpa disengaja karena tidak memperhatikan jalan, akhirnya Laila menabrak dada bidang seorang lelaki berjas putih.

“Astaghfirullah, maaf, Pak.” Laila menunduk merasa bersalah.

“Tidak papa, saya juga salah karena jalan buru-buru." Seorang dokter tersebut pun ikut menundukkan pandangan.

Keduanya pun sama-sama terdiam. Mungkin karena suara diantaranya itu tidak asing. Laila akhirnya memutuskan untuk menatap kelawan bicaranya dan ternyata kedua netral mereka saling menatap satu sama lain. Lelaki itu langsung membuang mukanya dan begitu juga Laila.

“Maaf, Zah. Saya kira tadi siapa,” ungkapnya.

Laila hanya mengangguk pelan. Gadis itu tidak mau banyak bicara kepada lelaki dihadapannya itu. Karena jika berlama dengannya hanya akan membuat hatinya semakin sakit.

“Kalau gitu, saya pamit, Pak. Assalamualaikum,” ucapnya seraya melangkah melewati Irsyad.

“Tunggu, Zah.” Ucapan Irsyad membuat Laila menghentikan langkahnya. Kini keduanya saling berdiri membelakangi tanpa menoleh satu sama lain.

“Maaf, jika pertemuan kita ini membuat hidupmu sakit. Karena saya tahu kamu juga mencintai saya, kan?” ungkap Irsyad.

Laila yang mendengarnya sontak membuka matanya dengan lebar. Karena ia berpikir bagaimana lelaki itu bisa mengetahui isi hatinya yang sedang sakit gara-gara dia.

“Kalau menjauh itu mau kamu, InsyaAllah saya akan berusaha. Kalau gitu saya pamit, assalamualaikum.” Irsyad pun melangkah meninggalkan Laila yang masih berdiri di tempat. Dengan hati yang sedikit sedih, Irsyad tetap berusaha tegar dan ikhlas. Karena lelaki itu juga menyadari bahwa cinta tak harus memiliki.

Gadis itu diam-diam menoleh melirik ke belakang sambil menatap kepergian Irsyad. Rasanya lelaki itu telah membawa luka dihatinya. Sungguh, jika berani mencintai maka harus berani untuk sakit hati.

‘Biarlah takdir Allah yang menyatukan kita, Pak. Karena ini yang terbaik buat kita. Jangan sampai rasa cintaku ini merusak hubungan antara keluarga,’ batin Laila.

Kemudian, gadis itu pun melangkah menuju luar. Karena ia tahu, pasti Ibunya dan juga adiknya itu sedang menunggu dirinya. Tanpa disadari, air matanya turun begitu saja. Karena tidak mau Ibu Sulis dan Ayla mengetahuinya, dengan segera Laila menghapusnya.

                                    ***

Melupakan seseorang itu membutuhkan waktu. Karena itu adalah suatu yang tidak mudah. Jadi, salah satu caranya adalah mengikhlaskan seseorang tersebut agar bisa melupakan dia. Seperti halnya Laila, seorang gadis cantik yang baru saja mengenal apa itu cinta. Kemudian, ia juga mengenal apa yang namanya sakit hati. Berharap sesuatu kepada manusia itu hanya membuat kecewa.

Gadis itu memutuskan untuk mengambil ponselnya. Lalu mencari nomor Naura--teman sekampusnya dan sahabatnya. Dikarenakan ini adalah masa pemulihan Laila, jadi gadis itu memutuskan untuk izin tidak masuk. Setelah selesai, ia pun menaruhnya kembali. Menatap suasana di pagi hari dari jendela kamarnya, membuat hatinya sedikit tenang. Tiba-tiba saja, terdengar ketukan dari luar pintunya membuat Laila sedikit terkejut.

“Masuk aja!” teriak Laila. Kemudian seorang tersebut masuk dan ternyata itu adalah sang adiknya.

“Kak, lagi mikirin apa sih?” ujar Ayla sembari menggoda sang kakaknya.

“Gak papa, kok. Cuman kangen aja sama kampus,” ucap Laila asal. Karena ia tidak ingin Ayla mengetahui perasaannya.

“Kejar cita-cita dulu, jangan mikirin cinta. Toh, kalau dokter Irsyad ditakdirkan sama Kak Laila, pasti Allah menyatukan.” Gadis itu mendudukkan dirinya di atas kasur Laila.

Ayla mengetahuinya bahwa Laila ini sedang memikirkan tentang Irsyad. Ia juga tahu tentang Irsyad dari Ibu Sulis. Saat gadis itu berniat untuk mengikuti sang kakaknya mengambil sesuatu di ruangan tersebut, ia melihat sang kakaknya sedang berbicara dengan seorang dokter. Kemudian Ayla memutuskan untuk kembali dan menanyakan hal tadi kepada Ibu Sulis.

“Tahu dari mana, kamu?” tanya Laila sambil mengerutkan keningnya. 

Ayla terkekeh pelan. “Dari mana, ya?” Gadis itu berpura-pura berpikir membuat Laila mendengus kesal.

“Yaudah, kalau gak mau kasih tahu juga,” ketus Laila. Gadis bergingsul itu menoleh ke arah jendela kembali.

“Dari Ibu, karena waktu Kak Laila mau ngambil barang yang ketinggalan, aku sengaja nyusulin karena Kak Laila lama. Lalu gak sengaja lihat kakak sama seorang dokter tampan, mana masih muda lagi. Terus aku balik lagi deh ke Ibu dan menanyakan hal ini kepada Ibu.” Mendengar penjelasan dari sang adiknya, mata Laila membulat sempurna. Kemudian Laila beranjak menghampiri Ayla, lalu mencubit lengannya.

“Sakit, kak.” Ayla merengek kesakitan akibat cubitan sang kakaknya.

“Jadi, tadi kamu dengar pembicaraan kami?” tanya Laila sedikit khawatir.

Ayla mengangguk mengiyakan. “Jelas dong. Kan aku ada di situ.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Ayla pun tertawa karena melihat wajah sang kakaknya yang sangat tegang.

“Ish ... yang benar. Gak lucu tau!” tegur Laila.

“Hehe ... gak kok, bercanda. Aku tadi gak dengar apapun,” jelas Ayla. Gadis itu kemudian memeluk sang kakaknya sembari meminta maaf karena telah membuatnya marah.

Laila melonggarkan pelukannya, kemudian menatap Ayla sang adiknya itu. “Gak papa, kamu dengar semuanya pun gak papa. Kakak sudah gak peduli lagi dengan perasaan ini. Karena jika semakin perasaan ini selalu kakak ingat, yang ada bikin sakit dan luka.”

Ayla menatap sang kakaknya dengan sendu. Rasanya, ia juga bisa merasakan berada di posisi sang kakaknya.

“Biarlah takdir Allah yang menentukan. Terimakasih sudah mengingatkan kakak untuk tidak terlalu berharap kepada manusia, Ay.”

-

-

-

-

Bersambung...

Cinta Sang Dokter {END}/ Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang