Bab 22

784 48 0
                                    

Bagaimana ingin melupakan, jika dirimu selalu ada dalam pikiranku.
Muhammad Irsyad Al-Fatih
__________________________________

Irsyad meletakkan bolpoinnya di atas meja. Ia sedikit meregangkan otot-otot tangannya yang sedari tadi menulis. Seharian ia hanya menghabiskan waktunya untuk bekerja, membuatnya sedikit membutuhkan udara segar. Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya, kemudian membereskan berkas-berkas dan meletakkannya dengan rapi. Setelah itu, ia beranjak keluar dari ruangan tersebut.

Irsyad menutup rapat kembalikan ruangannya. Di sepanjang jalan, ia hanya menundukkan pandangannya. Ia merasa tidak ada semangat lagi dalam hidupnya. Memikirkan waktu kurang lebih sebulan lagi ia harus menikah dengan wanita yang tidak ia cintai. Namun, Allah belum juga memberikan petunjuk dari istikharahnya. Ia melihat jam tangan yang bertengger di tangannya menunjukkan pukul 17.00, yang mana ia harus segera membantu menutup rumah makannya.

Bergegas lelaki berjas putih itu menaiki mobilnya. Ia menyalakan mesinnya dan langsung menjalankannya dengan kecepatan sedang. Di sepanjang jalan, Irsyad terus memikirkan bagaimana kabar Laila. Sudah hampir beberapa minggu ia tak bertemu dengannya. Kemudian, ia memutuskan untuk menemuinya besok di kampus. Ia sudah berusaha untuk melupakan bahkan mengikhlaskannya, tapi bayangan-bayangan Laila selalu muncul dalam pikirannya.

Mobil pun berhenti tepat di depan rumah makan milik kedua orang tuanya. Ia melihat sosok wanita paruh baya yang tengah berdiri menunggu dirinya. Bergegas ia langsung turun dari mobilnya dan menemui sang bunda yang sudah lama menunggu.

"Loh, Bunda kok ada di luar?"

"Bunda itu nunggu kamu. Ini juga sudah tutup," balasnya.

"M-maaf, ya Bun. Tadi, pekerjaan di rumah sakit baru selesai," lirih Irsyad.

Rani mengangguk paham. Irsyad menghela napas lega karena sang Bunda sangat memahaminya. Kemudian, lelaki itu menuntun Rani untuk masuk ke mobil.

"Syad, kamu tahu rumah Laila?" tanya Rani di tengah-tengah perjalanan. Irsyad yang sedari tadi fokus ke depan, ia pun menoleh sesaat.

"Irsyad tidak tahu, Bun. Soalnya terakhir bertemu Laila di rumah sakit, waktu dia sedang sakit." Lelaki itu kembali fokus ke depan.

Rani sedikit terkejut mendengar ucapan dari sang anaknya. "Tapi, sekarang bagaimana keadaannya?"

Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya. 'Oh, ayolah Bun, jangan bahas Laila sekarang. Aku lagi nyetir mobil, nanti pikiranku malah ke gadis itu.'

Irsyad berusaha untuk fokus untuk menyetir. Walau dalam hatinya ia ingin sekali bertemu dengan gadis itu. Entah mengapa, ada rasa ragu untuk menikah dengan Karin. Namun, ia berusaha untuk meyakinkan hatinya bahwa Karin adalah wanita yang baik.

"Waktu itu Irsyad bertemu dia sudah boleh pulang," balasnya.

Rani mengangguk paham. "Nanti cari tahu alamatnya ya? Bunda mau bertemu dengannya."

"Iya, Bun."

Setelah percakapan itu, keduanya saling terdiam dalam pikirannya masing-masing. Sesekali Irsyad memikirkan bagaimana ia harus mencari tahu alamat dari gadis itu.

***

Irsyad langsung membaringkan tubuhnya setelah perjalanan tadi. Sesekali ia pejamkan matanya untuk beristirahat sambil menunggu azan magrib. Tak membutuhkan waktu lama, sayup-sayup azan magrib pun terdengar dari masjid di dekat rumahnya. Segera ia bangkit, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Setelah selesai, lelaki itu bergegas untuk pergi ke masjid. Ia sudah sangat lama tidak pergi. Kali ini, Irsyad memutuskan untuk selalu pergi ke masjid jika sedang di rumah. Setelah beberapa menit menunaikan salat, Irsyad pun langsung bergegas pulang ke rumahnya.

"Irsyad," panggil Faiz saat ia hendak menuju kamarnya.

"Iya, Ayah."

"Mengapa kamu cuekin Karin kemarin?" tanyanya.

"Karin cerita?"

"Iya."

"Bagus deh, kalau Ayah sudah tahu. Irsyad nggak mau dijodohin dengan Karin. Irsyad sudah punya pilihan sendiri," ujar Irsyad penuh dengan penekanan.

"Apa sih yang membuat kamu memilih dia dibandingkan dengan Karin?" tanya Faiz tak kalah tegasnya.

"Karena dia berbeda dengan yang lain," sahut Irsyad.

"Karin itu sempurna. Dia cantik, apalagi coba yang kamu ragukan?" tanya sang Ayah.

"Cantik? Harusnya seorang muslimah tahu kata cantik itu apa. Apakah cantik itu harus membuka auratnya? Tidak, kan? Padahal berhijab itu wajib untuk seorang muslimah," jelas Irsyad kepada Ayahnya.

Sebagaimana perintah berhijab sudah di jelaskan di dalam Qs. Al-Ahzab ayat 59 yang artinya :

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Faiz terdiam membisu saat mendengar ucapan dari Irsyad.

"Irsyad lebih memilih wanita yang baik akhlaknya, dibandingkan cantik tapi tak punya akhlak." Lelaki itu beranjak pergi meninggalkan sang Ayahnya.

"Karin juga mempunyai akhlak yang baik, Irsyad!" teriak Faiz.

Lelaki berprofesi dokter itu tak menghiraukan teriakan dari Faiz. Ia paham betul mana wanita yang baik dan mana yang tidak. Dari cara melihatnya, Laila selalu menjaga pandangannya dari yang bukan mahramnya. Sedangkan Karin, baginya sangat berbanding balik dengan Laila.

'Maafkan saya, Zah. Sepertinya, saya tidak bisa mencintai Karin seperti yang kamu minta. Ya, Allah, pertemukan saya dengan Izzah kembali,' batin Irsyad.

Lelaki itu membaringkan tubuhnya menatap langit-langit kamarnya. Entah kenapa, hatinya sangat sulit untuk melupakannya. Lelaki itu sangat dilema oleh 2 pilihan yang selalu meminta pilih salah satunya.

'Semoga ada sebuah petunjuk yang Allah berikan kepadaku untuk memilih siapa diantara keduanya,' Irsyad membatin kembali.

-

-

-

-

Bersambung...

Cinta Sang Dokter {END}/ Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang