Bab 20

944 52 0
                                    

Berusaha untuk terlihat baik-baik saja. walaupun hati ini terasa sakit mendengarnya.
~Muhammad Rifki~
__________________________________

Pagi ini, Faiz menyuruh anaknya Irsyad untuk jalan bersama Karin. Sang ayahnya ini menyuruh seperti ini, supaya untuk mempererat keduanya bisa saling mengenal. Irsyad sempat untuk menolaknya, karena lelaki itu tahu jika berjalan berdua bersama perempuan yang bukan mahramnya itu tidak baik. Dan pada akhirnya, Bundanya juga mendukung untuk tidak jalan berdua. Lalu, Irsyad memutuskan untuk mengajak Rifki, sedangkan Karin mengajak temannya.

Keduanya memilih untuk bertemu di sebuah cafe yang tidak jauh dari rumah Karin. Sebelum berangkat, Irsyad menelpon sahabatnya itu untuk menjemputnya. Lelaki itu sengaja, karena lebih baik ia numpang menggunakan mobil milik Rifki. Setelahnya beberapa menit menunggu, mobil hitam pun terparkir di depan rumah sembari membunyikan klaksonnya. Lelaki berjas hitam itu keluar dari mobilnya. Kemudian melambaikan tangannya saat melihat Irsyad yang sudah ada di depan rumahnya.

“Assalamualaikum,” sapa Rifki. Kedua lelaki itu kemudian saling berjabat tangannya.

“Waalaikumsalam, terimakasih, Ki.” Irsyad kemudian meminta Rifki untuk bergegas untuk pergi.

Sepanjang di perjalanan, kedua lelaki berprofesi dokter dan dosen itu saling terdiam. Keduanya berlarut dalam pikirannya masing-masing. Rifki yang tengah fokus mengendarai mobilnya itu pun langsung menoleh sesaat Irsyad sedang mengambil sebuah barang dari laci mobil.

Sebuah gelang dengan inisial L itu, membuat Irsyad terdiam. Lelaki itu berpikir yang tidak-tidak.  Apa jangan-jangan Rifki menyukai gadis itu? Dengan cepat Irsyad menggelengkan kepalanya. Irsyad tidak mempedulikan masalah gelang kembali. Ia pun menaruhnya di tempat semula. Karena Irsyad tahu, jika bertanya takut membuat Rifki tersinggung.

Rifki menyunggingkan senyumannya. Ia merasa bersyukur, Irsyad tidak menanyakan perihal gelang tersebut. Jika iya, pasti sahabatnya itu menanyakan hal yang tidak-tidak. Jika gitu, ia bingung ingin menjawab apa? Terlebih lagi, pasti Irsyad akan mencie-ciekan dirinya.

Tak membutuhkan waktu lama, mobil yang dinaiki kedua lelaki itu telah sampai disebuah cafee. Bergegas kedua lelaki itu turun dari mobil, kemudian mencari keberadaan Karin dan salah satu temannya. Setelah mencari-cari, akhirnya kedua lelaki itu bisa menemukan Karin dengan seorang perempuan yang bernama Yana.

“Assalamu'alaikum,” sapa kedua lelaki itu.

Saat mendengar ada seseorang yang mengucapkan salam, kedua wanita menoleh secara bersamaan. Senyum pun terukir dibibir Karin karena akhirnya Irsyad datang juga.

“Waalaikumsalam, Mas Irsyad? Sini duduk, Mas.” Karin mempersilahkan calon suaminya itu untuk duduk tepat di hadapannya. Yana dan Rifki sengaja untuk mengawasi keduanya dari kejauhan agar mereka berdua bisa mengobrol.

“Na, bisa jangan ngikutin saya?” ujar Rifki dengan sedikit dingin saat melihat Yana mengikuti langkahnya.

Yana mengangguk pelan. Kemudian lelaki itu berjalan meninggalkan wanita itu sendiri. Yana mendengus kesal saat melihat perlakuan seperti itu dari sang dosennya. Kemudian, wanita itu mencari tempat duduk yang tak jauh dari Rifki dan juga calon pasangan itu.

“Mas,” panggil Karin.

Irsyad sedikit menoleh, kemudian menatap ponselnya kembali.

“Mas, gak ada niatan buat pilih-pilih baju pengantin, gitu?” tanya Karin dengan hati-hati.

Irsyad meletakkan ponselnya. Kemudian meminum meminum yang sudah dipesan oleh Karin. Lelaki itu kemudian menatap lekat ke arah Karin tanpa berekspresi.

“Kan, masih lama.” Sebuah jawaban singkat yang Karin dapatkan dari mulut Irsyad.

“Pernikahan kita 2 bulan lagi, loh. Masa Mas gak mikirin itu sih?" tanya Karin dengan sedikit kesal. Pasalnya, lelaki itu sangatlah sulit untuk diajak berbicara.

“Rin, dengarkan saya. Pernikahan ini bukan kemauan saya, jadi saya terserah saja.” Irsyad menegaskan kepada Karin dengan sedikit kesal.

“Oke, aku minta maaf. Kita bahas yang lain saja.” Akhirnya Karin mengalah untuk tidak membahas pernikahannya. Rasanya sedikit kecewa, karena Irsyad masih memikirkan Laila. Senyuman miring terukir dari mulut Karin dengan pikiran yang akan ia lakukan kepada Laila. Karena ia tahu, Irsyad seperti ini pasti karena saudara sepupunya itu.

                                    ***

Akhirnya, setelah berbincang-bincang bersama Karin ... Irsyad dan Rifki memutuskan untuk pulang. Waktu sudah semakin siang membuat cuaca di luar panas sekali. Ditambah lagi, rasa malas untuk berlama-lama dengan Karin membuat Irsyad sangat tidak betah.

Kedua lelaki itu berjalan menuju parkiran mobil, setelah itu menaikinya. Mobil pun berjalan dengan kecepatan sedang karena Rifki yang mengendalikan. Lelaki yang berprofesi dokter itu masih fokus menatap ponselnya.

“Syad,” panggil Rifki di tengah-tengah kesibukan Irsyad menatap ponselnya.

Lelaki itu menoleh, kemudian mengangkat alisnya. “Kenapa?” tanya Irsyad.

“Kamu kok, cuek banget sih sama Karin.” Rifki menanyakan hal tersebut kepada Irsyad.

Lelaki itu terdiam sejenak. “Kamu tahu sendiri, saya itu hanya cinta sama gadis yang saya temui di rumah sakit.”

Rifki mengerutkan keningnya. Kekepoan lelaki itu sudah mulai muncul. “Kalau boleh tahu siapa sih?” tanya Rifki sembari menggoda sahabatnya itu.

“Namanya Lailatul Izzah, dia mahasiswi di kampus yang kamu ajar.”

Jedar!

Hati Rifki berdetak sangat cepat. Rasanya seperti tidak mungkin jika dirinya dan sahabatnya mencintai satu wanita yang sama. Lelaki itu berusaha untuk terlihat baik-baik saja dengan menampilkan senyumannya. Walau ia merasa membohongi dirinya sendiri. Hati memang tak bisa dibohongi karena ia telah menyimpan rasa cinta kepada Laila. Rifki juga sudah berniat akan melamarnya, jika Laila telah lulus nanti. Tapi, ia tidak menyerah begitu saja. Toh, Irsyad juga bakal menikah dengan Karin.

“Oh ya, saya kenal dengannya. Dia mahasiswi yang sangat pintar di kelas.”

“Entah kenapa saya susah sekali buat melupakan dia, Ki. Padahal saya tidak mau menyakiti hati wanita. Tapi, kalau begini saya sendiri yang sakit.” Lelaki itu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela.

“Menurutku kamu harus lupain Laila. Bagaimana pun Karin adalah calon istrimu,” ujar Rifki.

“Bismillah, saya sedang mengusahakan.”

‘Maafkan saya, Syad. Saya mencintai gadis yang kamu cintai. Tapi, saya juga tidak bisa melupakan dia begitu saja. Rasa nyaman bila di dekatnya membuat hati ini memiliki rasa yang lebih padanya. Walaupun hati saya sakit saat mereka dengar jika kamu mencintai dia,’ batin Rifki sambil terus fokus menatap ke depan.

-

-

-

-

Bersambung...

Cinta Sang Dokter {END}/ Proses RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang