19- Sore yang Damai (Minhee's p.o.v)

9 2 0
                                    

cr

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

cr. to Pinterest

19. Sore yang Damai

“Aw!”
Aku mencubit pinggangku sendiri.

“Ini bukan mimpi kan? Karena akhir-akhir ini aku tidak bermimpi” Gumamku berjalan ke arah dapur

Melihat sosok yang aku sayangi memasak di dapur. Rambutnya digerai begitu saja dan sesekali menyelipkan anak rambutnya di telinga.

“Hai”
Sapaku canggung mendekati Jumin yang masih sibuk mengaduk sesuatu dalam panci

“Baunya harum”

Entah kenapa Jumin terlihat lebih menawan seperti itu, seperti yang biasa aku lihat dari masa depan, Jumin yang sedang sibuk di dapur.

Tuh kan jadi kangen.

“Selamat sore” Sapaku berdiri disebelahnya

“Oh hai, kau sudah bangun? Sejak kapan?” Tanyanya terkejut dengan keberadaanku

“Aku sudah bicara denganmu sejak tadi tahu” Kataku memeluk lengan kanannya kemudian menyandarkan dagu dibahu Jumin

“Minggir atau kusiram kuah panas! Kita terlihat seperti sepasang suami istri tahu”
Sifat asli Jumin muncul. Menghancurkan bayang-bayang indah tentang anggunnya gadisku beberapa menit yang lalu

“Kita memang sepasang suami istri” Aku tak bergerak dengan posisiku

“Aw!”
Jumin tak main-main rupanya, ia benar meneteskan air kuah panas ke kakiku

“Ah tidak asyik sekali, asal kau tahu saja dimasa depan kau yang selalu menempel padaku, seperti anak ayam yang tak ingin jauh dari induknya”

“Tidak mungkin. Kau hanya mengarang kan?”

Kemudian aku tertawa melihatnya bereaksi seperti itu dan aku pergi ke ruang tengah mau lihat televisi saja daripada kelahi dengan Jumin.

“Minhee cepat mandi! Sebentar lagi makanannya matang, loh!” Kabar gadis itu ketika bokongku baru saja mendarat diatas sofa

“Ck. Aku tak mau”

“10, 9, 8,7..ㅡ”

“ㅡiya iya iya sebentar aku sedang jalan ke kamar mandi ini”

Entah kenapa Jumin garang sekali sore ini.


__”


     “Kyaaaa! Minhee tolong aku! Aaaaa!” Jumin berlari ke kamar mandi dan menggedor-gedor pintu kamar mandi

Aku yang sedang memakai baju segera menyelesaikan aktivitasku dan membuka pintu kamar mandi.

Lalu mataku tertuju pada lengan ujung bajunya yang terbakar

Bagaimana tidak panik, segera aku mengambil air dan menyiramnya ke api tersebut sampai apinya mati.

Jumin hanya berteriak minta tolong dia bilang tak mau mati sekarang.

“Ya Tuhan tolong aku tak mau mati sekarang. Apinya masih ada di dapur, huhu” Rengeknya masih terkejut dan ia pun berjongkok

Aku segera berjalan cepat keluar dari kamar mandi setelah mengambil ember dengan isi air dan menyiramnya ke arah kompor yang wajannya terbakar api.

Berusaha tenang dan tidak panik tentu saja. Kemudian setelah itu dapur dalam keadaan kacau.

“Jumin kau dalam masalah” Ucapku setelah api sempurna mati dan lantai dapur yang tergenangi air

“Minhee aku takut” Ucapnya berjalan pelan dan berdiri dibelakang punggungku

“Sudah tak apa, sekarang lebih baik kita bereskan ini”

“Tidak ada yang meledak kan?” Ia masih ragu berjalan dibelakangku

“Tidak, tenang saja itu hanya api yang muncul karena kau memasak dengan minyak canola terlalu panas” Jelasku setelah melihat botol minyak canola disebelah kompor.

“Itu minyak canola? Aku kira minyak sayur” Gadis itu tersenyum khilaf

“Hahaha, lain kali hati-hati, itu bahaya” Ucapku berjalan mengambil kain pel dan mengelap lantai

“Jangan diam saja, ayo bantu” Ucapku melihatnya yang masih membeku menggigit ujung jemarinya

“Aku masih terkejut tahu”

Setelah selesai beres-beres dapur dan menyiapkan makanan diatas meja, kami pun makan bersama.
Jumin kembali seperti semula, wajahnya datar dan tatapannya malas.

Membuatku gemas sendiri ingin menjadi badut saja.

“Apa kau mau mengajakku berkencan? Sampai menyuruhku mandi segala” Tanyaku menyuapkan nasi kedalam mulut

“Entah kau terbuat dari apa sampai sepercaya diri itu” Jawabnya cuek

“Kalau aku yang mengajakmu berkencan bagaimana? Terima?”
Tanyaku berusaha membuat suasana menyenangkan

Jumin mengendikkan bahunya

“Hahaha, Entah kau terbuat dari apa sampai kau sok jual mahal seperti itu” Kataku menirukan logatnya

Kemudian sendok melayang


__”


Melihat sekitar membuatku lupa kalau aku sedang berjalan-jalan dengan Jumin.

Kota yang sama ramainya namun di masa yang berbeda, aku sedikit pangling.
Ah apa mungkin gara-gara terlalu lama sendiri, jadi sedikit belum terbiasa jika berjalan bersama seperti saat ini.

Apalagi aku memang jarang berjalan-jalan dengan Jumin, karena sibuk sekali. Kalau kalian menyangkaku tidak menyayangi Jumin kalian salah besar.
Aku bukannya tidak sayang dengannya, aku hanya lalai jadi seolah tidak peduli lagi.

Aku memang tidak berguna.

“Hei, berjalan yang benar! Mau mati?!”
Jumin menarik ujung kemejaku naik ke trotoar

“Galak sekali” Kataku bergidik mendengar suaranya yang mengagetkan

“Melamun saja sih, sudah kupanggil-panggil tak dengar” Jawabnya menyedekapkan tangan acuh

Tiba-tiba Jumin membelokkan arah jalan masuk kedalam gang.
Aku tak berkomentar dan mengikutinya saja.

Menatap sepatu putihnya yang bergerak karena kedua kakinya.
Terus dan terus berjalan sampai ke sebuah padang rumput yang sepi.

“Waah” Mataku otomatis berbinar, terpesona dengan matahari yang hendak pamit dan angin sore tak lupa menyapa kami

“Yang kalah belikan es krim!”

Jumin berlari meninggalkanku terjun ke padang rumput itu.

Disususul aku yang berlari dibelakangnya sampai ia menjatuhkan tubuhnya diatas rumput dan berbaring disana.

“Yah aku kalah”
Aku ikutan duduk disebelahnya dan menatap kolam ikan di hadapan kami

“Pernah kemari?” Tanyaku
Jumin mengangguk

“Aku kesini untuk menangkap belalang ketika dapat tugas saat SMP” Jelas gadis itu memejamkan matanya karena matahari yang menyilaukan

“Kalau malam apakah pemandangannya sama bagus?”

“Bagus, kalau tidak hujan”

Aku mengangguk dan akhirnya ikut berbaring disebelahnya.

“Jangan lupa bernafas, udara disini masih segar daripada di pinggir jalan banyak gas karbon monoksida” Kata Jumin mulai membuka matanya dan menatap langit

Aku menatapnya dari samping dan segera menyingkirkan rumput tinggi yang menghalangi wajahnya

“Jumin”
Panggilku

“Apa” Sahutnya

“Tidak apa, hanya ingin memanggil”

“Ayo menangkap ikan!”
Ajak gadis itu tiba-tiba terduduk, membuat kegiatan menghitung berapa kali Jumin berkedip terhenti

“Tidak mau, bukankah kita hanya akan menghitung mundur sampai matahari benar-benar tenggelam?” Tanyaku tetap pada posisiku, telentang dengan kedua tangan terlipat ke belakang kepala

“Memangnya aku nenek-nenek? ayolah kita harus menangkap ikan! Atau menangkap capung saja?”
Jumin berdiri dan berjalan santai menjauh


Setelah 2 menit mengumpulkan semangat, aku berdiri dan menyusul Jumin

Ternyata Jumin sedang memasukkan ranting pohon kedalam kolam ikan dan berbicara sendiri

“Ikan apa kau pernah tersedak air? Atau kau pernah kehausan? Beritahu aku”
Aku tertawa mendengarnya, jadi aku memilih tidak mendekatinya demi tidak mengganggu kegiatan mengobrol dengan ikan

Melangkahkan kakiku ke arah pohon yang tidak terlalu tinggi dan mengambil bunga yang berwarna putih itu.

Kemudian pandanganku teralihkan pada bunga yang berada dijajaran rumput, itu seperti bunga tapi berbentuk rumput, dia tumbuh bersama rumput.
Lalu mencabut bunga-bunga itu beserta tangkainya dan mengumpulkannya banyak-banyak.

Tidak tahu bunga apa, yang jelas bentuknya lucu.
Sebelun langit semakin gelap, aku menghampiri keberadaan Jumin yang kini sedang mencabuti rumput entah apa manfaatnya.

“Apa itu?” Tanya gadis bermarga Baek setelah aku menyelipkan bunga ditelinganya

“Wah, apa ini”
Jumin tersenyum setelah menyadari

“Bagus kan? Aku punya banyak” Kataku menunjuk bunga yang aku letakkan diatas rumput

“Kemarikan sini bunganya” pinta Jumin, aku memberinya beberapa dan duduk memeluk lutut disebelah Jumin

“Lebih baik kita buat ini” Tangan Jumin mulai bergerak merangkai 1 demi 1 bunga itu.

Beberapa saat kemudian setelah aku hanya bengong memperhatikan apa yang dilakukan Jumin

“Taraa!~” Jumin tersenyum lebar memamerkan hasil karyanya

“Wah keren sekali” Otomatis menepuk tangan dan menerima mahkota bunga yang diberikannya padaku.

“Aku biasa menyebutnya flower crown” Terang Jumin tek melepas senyumnya

“Wah bagus sekali, aku belum pernah lihat yang seperti ini, ini nyata”
Masih terkagum-kagum

“Anggap ini yang membuat adalah aku” Kataku kemudian memakaikan flower crown diatas kepala Jumin

“Tidak boleh, itu namanya hak cipta tahu, kau tidak mengerti hak cipta, pak tua?” Jumin terkekeh namun sekalian tersipu malu

“Kalau aku pak tua, kau ibu tua berarti” Jawabku menyandarkan kepala dibahunya

“Ah tidak-tidak aku tetap masih muda.” Ucapnya.

Aku tersenyum gemas

“Tapi kita akan menjadi tua bersama kan, Minhee?” Tanyanya ikut menyandarkan kepalanya diatas kepalaku

“Hm. Pasti” Jawabku tersenyum menatap pantulan bayangan kami diatas air kolam

“Lebih baik kita menghitung mundur sampai matahari benar-benar pulang”

“100.. 99..98..97ㅡ“ Jumin menghitung mundur lebih dulu

“ㅡjangan pernah tinggalkan aku ya”


__”

kok sedih





✔️(1) Kang Minhee - Suami dari Masa Depan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang