***
Suzy kini sendiri. Ibu dan Ayah masih mendiaminya, apalagi ketiga teman mainnya yang bahkan muak melihat Suzy. Well, sebenarnya tidak benar-benar 'se-sendiri' itu dia masih punya Myungsoo dan Jongsuk mungkin ditambah Woobin..? sedikit ragu pada kekasihnya itu kerena dari dua hari lalu Woobin sama sekali tidak mengabari dan Suzy pun tidak mencari tahu meski dirinya penasaran. Entah, Suzy merasa lega tidak bertatap muka dengan Woobin dua hari kebelakang ini.
Seperti keluar bebas dari belenggu yang selama ini menjeratnya, Suzy bahkan bisa tertawa lepas bersama Myungsoo di siang musim gugur itu. Apa ini merupakan sebuah jawaban dari tuhan kalau hidupnya tanpa Woobin lebih baik?
"jadi rumah di Daejeon kosong?" tanya Suzy pada Myungsoo siang itu di sebuah lapangan rumput taman kampus, Myungsoo fokus pada buku yang dibacanya sebelum membalikan tubuh ke arah Suzy di sebelahnya.
"tidak, Ibu tiri ku memilih tetap disana dan membuka restoran Iga sapi." Jelas Myungsoo ketika mereka berceloteh panjang perihal meninggalnya Ayah laki-laki itu.
"kau harus datang, masakan Ibu sangat lezat." Myungsoo melanjutkan ucapannya. Suzy seperti berpikir keras padahal tinggal jawab ya/tidak. Tapi Myungsoo tahu, perempuan itu meragu karena dia terus dikekang oleh Woobin yang tidak suka dengan kehadiran Myungsoo.
"datanglah bersamaku. Please, untuk sekali saja jangan turuti ego si Anak Anjing itu." Sewot lelaki di samping Suzy, matanya kembali fokus dengan buku Kamus Hukum di tangannya.
"hey.. anak anjing terlalu lucu untuk menggambarkan Woobin."
"terus apa dong? Anak Babi? Anak Setan?"
"..yang terakhir." Cicit Suzy, kemudian keduanya tertawa lepas.
Senyum lebar di paras Myungsoo perlahan memudar melihat Suzy yang tertawa. Ya Tuhan, kapan terakhir kali dia melihat Suzy sebahagia ini? debaran jantungnya masih seirama dengan dua tahun lalu ketika keduanya pertama kali bertemu. Waktu berlalu cepat, setiap manusia mengalami perubahan, namun rasa itu masih tetap sama. Tidak terkikis dan terukir abadi. Ah, jadi ini yang dinamakan cinta pertama? Myungsoo kini mengerti mengapa semua orang terkesan mengelu-ngelukan 'first love' karena rasanya sangat luar biasa.
"duck duck?"
"hm?"
"..bagaimana kalau, eung, kau pergi dari Woobin dan.. datang padaku? Mari jangan saling mengelak lagi soal hati, kita bahagia bersama."
Satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik. Suzy masih diam dan Myungsoo tidak berkilah kalau perkataannya sebuah candaan. Hembusan angin, daun-daun musim gugur yang berjatuhan dari atas pohon dan suara gitar di belakang mereka menjadi saksi pernyataan cinta Myungsoo kala itu di tahun dua ribu dua belas. Suzy tidak tertidur kali ini, keraguan pun tak menahan Myungsoo. Hanya sebuah spontanitas dan momen yang tepat membuat rasa yang laki-laki itu tahan selama dua tahun kebelakang ini akhirnya meluncur bebas dari bibirnya.
Semua akan terasa indah kalau saja nama Kim Woobin tidak melesat di kepala Suzy. Seakan mimpi-mimpi bersama Myungsoo yang sempat terpikirkan walau hanya empat detik itu seketika hancur lebur oleh kenyataan kalau kini Suzy hanyalah seekor burung dalam sangkar. Dia bisa saja melepas diri dari ikatan tali Woobin dan menghambur ke pelukan Myungsoo kalau dia egois, lantas, bagaimana jika Kim Woobin—orang yang memegang kartu As-nya menyebarkan semua hal-hal yang tidak hanya bisa menghancurkan hidupnya tapi hidup keluarganya juga?
Tidak sampai disitu, bagaimana jika lelaki itu mendatangi Myungsoo lalu melukainya?
Bagaimana jika, bagaimana jika, bagaimana jika.