PROLOG

48.2K 2.1K 29
                                    

"Anas, maafin aku. Hari ini aku ga dateng ke pernikahan kita. Aku tahu kamu pasti kecewa. Tapi sampe detik ini pun, orang tua aku terus bujuk dan menekan aku untuk ga nikah sama kamu. Kamu tahu kan, alasannya? Jangan cari aku, karena begitu kamu terima pesan ini, aku udah di Amerika."

Pernikahan. Anastasia masih ingat ketika mendengar apa yang dikatakan oleh teman-temannya mengenai satu kata penuh makna itu. Titik keseriusan paling tinggi dari sebuah hubungan - katanya. Hari yang paling sakral dan membahagiakan. Dimana seorang perempuan akan merasa seperti menjadi seorang ratu dalam sehari.
Anastasia menatap dirinya yang hancur dibalik balutan gaun full brokat berwarna putih ini. Sekarang, ia adalah seorang perempuan biasa yang bermimpi menjadi ratu. Tak tahu diri.

Rasanya sakit, sesak, dan membingungkan. Dipikirkan berulang kalipun, Anastasia tetap tak mengerti kenapa? Kenapa Dimas tega melakukan ini padanya. Tanpa bertemu langsung dengannya, tak memikirkan sedikit saja mengenai perasaannya, Dimas hanya berani mengatakannya setelah sang penghulu pergi dan para tamu juga pergi dengan kebingungan yang sama dengannya.

Apa salahnya menjadi seorang wanita biasa? Jika memang cinta, seharusnya Dimas bisa menerimanya, seharusnya laki-laki itu bisa meyakinkan keluarganya. Lalu apa yang selama ini Dimas katakan tentang ketulusan cinta yang menerima apa adanya? Toh sejak awal bertemu pun, Dimas tahu kalau dirinya hanya seorang staf kantor biasa lulusan SMA dan berasal dari keluarga sederhana. Lalu kenapa baru sekarang ia mempermasalahkannya? Apa cintanya sudah pudar? Atau keyakinan Dimas akan dirinya sendiri sudah hilang?

Anastasia masih belum mendapatkan jawaban. Hingga air matanya mengering, kepalanya terasa berat. Selain suara-suara dari dalam pikirannya, Anastasia juga masih bisa mendengar suara ribut-ribut keluarganya di luar kamarnya. Ia tahu, tak ada yang lebih parah dari perasaannya dibanding perasaan keluarganya yang malu dengan semua tamu undangan, sanak saudara, dan kerja keras mereka membantu digelarnya pernikahan ini.

"Dita... Dita udah-"

"Ga bisa, Ma! Ini keterlaluan!"

Seorang perempuan muda berkebaya biru tiba-tiba saja meringsek masuk ke kamarnya dengan raut wajah kesal. Ia membawa beberapa lembar kertas di tangan kanannya dan berdiri menatap Anastasia yang duduk di atas tempat tidur sambil memeluk lututnya.

"Telepon si brengsek Dimas itu. Kurang ajar banget dia, udah ga dateng ke pernikahan, terus dia seenaknya aja pergi tanpa ngelunasin biaya WO, katering, dan yang lainnya. Semuanya dibebanin ke kita!" pekik perempuan itu sambil melempar kertas-kertas itu di atas tempat tidur Anastasia.

"Sayang, udah cukup. Nanti aja kita bicarakan-"

"Ga bisa Mas!" sergah Anindita kepada suaminya yang berusaha menenangkannya. Kemudian perhatiannya kembali beralih kepada adiknya itu.

"Bukannya Dimas orang kaya? Selama ini, tuh anak sombong ini - itu tapi apa? Kalau ga jadi nikah, seenggaknya dia bantu kamu lunasin ini semua, Anas! Jangan mau diinjek-injek sama dia, minta tanggung jawab sama dia, Anas!" omel Anindita dengan kedua mata yang berair. Namun tetap saja, meskipun sudah dimarahi seperti ini, Anastasia tetap tak sanggup mengatakan apa-apa. Bahkan untuk menatap kakaknya pun, ia tak sanggup.

"Anas!"

"Dita, kita bicarain ini diluar," bisik Fahri sambil menarik istrinya itu keluar dari kamar Anastasia dan menutup pintunya hati-hati. Bagaimanapun, ia merasa sangat prihatin dengan tragedi yang dialami adik iparnya itu.

"Biayanya ga murah Mas! Ini hampir 75 juta! Dari mana kita lunasin?"

"Ya udah, nanti kita pikirin caranya. Sekarang lagi pada kacau, sayang. Kasian adik kamu. Liat kan tadi kondisinya? Dia yang lebih hancur."

"Dia ga akan begini kalau ikutin saran bapak sama ibu dulu!"

Benar. Anastasia mengakui itu. Jika saja dulu ia tak keras kepala. Seandainya ia tak terlalu menaruh seluruh hatinya kepada Dimas, mungkin ia tak akan berlari sampai sejauh ini. Ia bukanlah seorang cinderella, atau Geum Jandi yang akan menikah dengan putra pengusaha besar seperti Goo Jun Pyo. Harusnya ia menyadari itu sejak awal. Tapi semuanya sudah terlanjur hancur. Hidupnya, hatinya, semua dunianya.

Sambil memandangi kartu undangan pernikahannya dengan Dimas, Anastasia kembali menangis terisak hingga dadanya kembali terasa sesak. Entah apakah ia akan bisa melanjutkan hidupnya atau tidak setelah ini. Satu hal yang ia tahu saat ini, jika ia memang harus melanjutkan hidup, mungkin sampai mati pun, ia tak akan mau terlibat dalam sebuah hubungan percintaan lagi.

JATUH UNTUK MENCINTAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang